webnovel

Bujuk Dia

"Aku suka jawabanmu. Secepatnya kau akan menikah. Ada yang mengurusmu. Dan nenek tidak perlu teriak-teriak setiap malam." Tujuan utama Victoria menikahkan Erland supaya dia tidak lagi melakukan kebiasaan buruknya. Victoria sudah lelah menasehati Erland yang kerap keluyuran malam dan tidur dengan sembarangan wanita.

"Oke tidak masalah, pastikan wanita itu sesuai kriteriaku Nek!" sahut Erland.

"Pasti, dia akan memuaskan mata nakalmu itu." Victoria sudah tahu seperti apa Erland di luar sana. Cucunya itu sang casanova yang tidak puas dengan satu wanita. Hanya wanita bermental baja yang akan mampu menaklukkannya.

Erland hanya tersenyum tipis. Seperti apa wanita yang akan dijodohkan dengannya. Paling hanya wanita cengeng dan manja.

Erland masuk ke dalam setelah bicara dengan Victoria. Dia berpapasan dengan Renata yang mengenakan lingerie berwarna merah. Lekuk tubuhnya tampak terekspos sempurna. Buah dadanya terbuka di bagian atas begitupun dengan pahanya terlihat jenjang karena lingerie yang dikenakannya di atas lutut.

"Erland." Renata mendekati Erland.

"Jaga jarakmu dariku! Kau kakak iparkukan?" Erland bersikap dingin pada wanita cantik di depannya.

"Tapi aku mencintaimu Erland. Aku tidak pernah mencintai Bara." Renata beralasan yang sama setiap Erland mengingatkan statusnya.

"Hubungan kita sudah berakhir. Jangan sampai ada yang tahu. Apalagi Bara." Erland berjalan melewati Renata begitu saja.

"Erland, aku dengar kau akan dijodohkan? Kau akan menikah dengan wanita itu?" tanya Renata.

"Bukan urusanmu." Erland naik ke tangga tak memperdulikan pertanyaan Renata. Sudah sangat sakit hati setelah apa yang dilakukan Renata padanya.

"Erland kau itu milikku, siapa pun tidak boleh memilikimu!" tegas Renata. Dia tidak rela Erland dimiliki orang lain. Apalagi sampai Erland mencintainya. Bagi Renata cinta Erland hanya untuknya seorang.

***

Safira duduk di teras sambil merapikan tas rajut yang akan dibawa ke pasar. Semalam dia sudah menyelesaikan beberapa tas rajut model terbaru. Beberapa hasil rajutannya sudah dipesan toko oleh-oleh yang ada di pasar, ada juga pesanan orang dan beberapa harus dijualnya sendiri.

"Safira!" Raditya berdiri tak jauh dari tempat Safira duduk.

"Radit." Safira terperanjat melihat mantan suaminya ada di depannya. Sudah sangat lama mereka tak bertemu. Terakhir saat melahirkan Arisha.

Safira langsung berdiri dan berkata, "Dari mana kau tahu tempat tinggalku?"

"Apa yang tidak bisa ku lakukan? Sangat mudah untuk mendapatkan alamat tempat tinggalmu," jawab Raditya. Dia memiliki banyak uang sangat mudah untuk sekedar mencari informasi. Tinggal mengutus seseorang, dalam hitungan jam dia sudah menemukan alamat rumah Safira.

"Kau mau apa? Kenapa kau datang ke sini? Kau mau mengambil Arisha?" Pertanyaan demi pertanyaan ke luar dari mulut Safira. Tangannya gemetaran. Matanya berkaca-kaca. Apakah dia mampu mempertahankan Arisha jika dulu saja dia terpaksa memberikan Arisha pada Raditya.

"Aku datang ke sini untuk bicara denganmu. Tidak untuk mengambil Elina."

Safira terdiam. Menatap lelaki yang pernah menjadi suaminya itu.

Mereka berdua pun pindah ke dalam rumah. Duduk di ruang tamu. Safira terlihat tegang sedangkan Raditya tampak angkuh. Duduk dengan menyilangkan kakinya. Layaknya seorang bos di depan bawahannya.

"Kedatanganku ke sini untuk membicarakan perjodohan Elina," ucap Raditya.

"Perjodohan?" Safira tidak tahu perjodohan seperti apa yang dikatakan Raditya. Dia tidak ingin gegabah. Pasti kedatangan Raditya membawa tujuan tersendiri.

"Papa ingin menjodohkan Elina dengan cucu sahabatnya."

"Arisha sudah besar, dia berhak menentukan jodohnya sendiri. Siapa pun tidak bisa mengatur hidupnya. Termasuk itu kau!" sahut Safira. Raditya tidak bisa mengatur hidup Arisha anaknya. Arisha berhak bahagia dengan pilihannya sendiri.

"Safira, aku bisa memberitahu Elina tentang rahasia besarmu. Kau tahu akibatnya jika dia tahu itu? Dia akan kembali padaku."

Safira terdiam. Kepalanya langsung menunduk. Apa yang dikatakan Raditya seperti sebuah ancaman untuknya.

"Lebih baik kau bujuk dia, agar dia mau menerima perjodohan ini." Raditya memiliki kartu As yang bisa digunakannya untuk mengendalikan Safira agar mau membujuk Arisha. Atas permintaan Safira, Arisha pasti mau dijodohkan dengan cucu sahabat kakeknya.

Safira terdiam. Mengerutkan alisnya. Dia kebingungan dengan apa yang dikatakan Raditya. Tangannya mengepal meski gemetaran.

"Jangan lupa pikirkan perkataanku tadi. Kau mengertikan!" Raditya merapikan jas hitam miliknya. Kemudian bangun dan ke luar dari rumah itu. Tinggal Safira yang masih diam di tempat. Air mata yang tadi dibendungnya mulai menetes.

"Kenapa aku tidak bisa jadi ibu yang kau banggakan? Aku selalu lemah dan tidak bisa mempertahankanmu." Safira menangis. Dia merasa gagal sebagai ibu. Tidak bisa menolak keinginan Raditya dengan lantang.

***

Arisha berdiri di depan lobi. Dia menunggu hujan reda. Akan basah kuyup jika memaksakan berjalan ke luar. Dia tidak membawa payung atau jas hujan. Apalagi flat shoes milik Maya pasti luntur kalau kena air hujan. Tiba-tiba Erland menarik tangannya.

"Bos! Ngapain?" tanya Arisha sambil berjalan mengikutinya.

"Aku laper, temani aku makan!" sahut Erland masih menarik tangan Arisha. Dia membawa Arisha masuk ke mobil yang sudah siap untuknya. Arisha duduk di kursi belakang bersama Erland.

"Kita mau ke mana Bos?" tanya Arisha. Dia belum tahu Erland mau mengajaknya ke mana.

"Makanlah apalagi? Atau kau mau yang lain? Mumpung lagi hujan." Erland menatap Arisha dengan tatapan mesumnya.

"Gak usah Bos, makan aja." Arisha tersenyum.

"Siapa tahu kau mau yang lain. Aku akan mengajarimu sampai ketagihan."

Arisha hanya menggeleng mendengar ucapan Erland. Tak disangka menjadi sekretaris seorang casanova harus terus menjaga diri dari serangan mesumnya.

Sampai di restoran Erland dan Arisha duduk di kursi sambil melihat daftar menu yang ada. Erland terlihat tenang sedangkan Arisha terlihat kebingungan.

"Harga makanan di sini mahal. Dulu aku sering memakannya tapi sekarang aku punya ibu." batin Arisha. Dia tidak tega jika makan enak sendirian.

"Bos!" panggil Arisha.

"Ada apa?" tanya Erland sambil meletakkan daftar menu itu di meja.

"Bisa tidak kalau aku bungkus aja. Aku belum lapar." Arisha berpikir mungkin kalau dibungkus ibunya bisa ikut makan juga. Namun suara perutnya tidak bisa berbohong.

"Kau dengar perutmu berkata apa?" Erland mendengar suara perut Arisha yang sudah keroncongan.

"Aku?" Arisha bingung harus alasan apa pada Erland.

"Biar aku pesankan. Aku tahu semua makanan enak di sini." Erland tidak menerima alasan Arisha untuk membungkus makanannya.

Arisha hanya diam melihat setiap makanan di atas meja. Namun dia tak berselera. Meski makanan itu terlihat enak dan harum tapi hatinya ada di tempat lain.

"Ayo makan!" titah Erland.

Arisha mengangguk. Dia mengambil sendok dengan ragu dan mulai menyendok sayuran di tepi piring.

"Apa aku tunggu sampai Erland selesai makan ya?" batin Arisha. Dia tidak bisa makan makanan enak itu.

Erland terlihat lahap memakan makanannya sedangkan Arisha hanya memakan nasi, bawang, cabai dan sayurannya. Dia membiarkan dagingnya tetap utuh.

"Kau diet?" tanya Erland. Melihat makanan di piring Arisha masih utuh.

Arisha menggeleng.

Erland mengambil daging di piring miliknya dengan sumpit. Kemudian mengangkat ke udara. Tepat di depan mulut Arisha.

"Makan! Kalau tidak aku akan menyuapimu dengan mulutku."

Mendengar ocehan mesum Erland, Arisha meringis lalu membuka mulutnya. Membiarkan suapan itu masuk ke mulut dan mulai mengunyahnya.

"Enak?" tanya Erland.

Arisha mengangguk.

"Lebih enak lagi kalau malam ini tidur denganku."

"Ugh ... ugh ... ugh ..." Arisha langsung terbatuk mendengar ucapan Erland. Tangannya memegang leher. Melihat itu Erland memberi Arisha air minum. Dia membantu gadis berhijab itu sampai dia minum dan dan tenang kembali.

"Aku pulang dulu. Kalau berubah pikiran telpon aku!" Erland bangun. Meninggalkan tempat itu.

"Astagfirullah. Harus sabar setiap hari dengannya." Arisha mengelus dadanya sampai merasa membaik.

"Tapi makanan ini masih utuh. Aku bisa memakannya dengan ibu." Arisha tersenyum melihat makanan yang tadi dipesan Erland masih banyak dan sebagian utuh. Dia meminta pelayan restoran untuk membungkus makanan itu.

***

Arisha sampai di rumah. Dia tersenyum sambil membawa makanan dari restoran di plastik putih yang dijinjingnya. Dia membuka pintu sambil mengucapkan salam. Meletakkan plastik putih di atas meja kemudian mencari keberadaan ibunya.

"Bu!" Arisha menghampiri Safira yang duduk di dapur.

"Kau sudah pulang Nak?" Safira menatap Arisha dan tersenyum tipis padanya.

"Ibu kenapa?" Arisha melihat mata ibunya bengkak seperti habis menangis. Arisha tidak tahu apa yang sudah terjadi pada ibunya.

"Tidak apa-apa. Kita makan dulu. Kau pasti belum makankan?" Safira tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi sekarang. Arisha pasti belum makan.

Arisha mengangguk. Mencium tangan Safira seperti biasa saat dia berangkat atau pulang bekerja.