webnovel

Sebuah Lara untuk Zara

Sebuah lara yang tak ada habisnya, mungkin memang sudah jadi takdir untuk selalu menemani Zara. Tak ada yang benar-benar menerimanya, baik keluarga atau dalam lingkup pertemanan. Terlahir dengan kulit kusam, dan jerawatan, sepertinya dianggap terlalu memalukan oleh kedua orang tuanya. Mama artis, Papa pun juga begitu. Intinya, keduanya terkenal. Tak urung identitas Zara sudah ditutup rapat sejak ia kecil. Zara kira ... kisah percintaannya lebih baik. Nyatanya semua tak sesuai harapan. Zayn Arielo tak bisa ia gapai karena alasan ... dirinya si gadis buruk rupa. Ya, ia kira sampai kapan pun, gadis buruk rupa sepertinya tak cocok bersanding dengan sang pangeran tampan seperti Zayn. Sepertinya, sampai kapan pun, bahagia tak akan pernah ada dalam sejarah hidupnya.

Intanworld · วัยรุ่น
Not enough ratings
207 Chs

Alasan Zayn

Citra menuruni anak tangga satu per satu. Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir. Ia menatap nyalang sosok Zayn yang berbicara empat mata dengan Zara. Sebenarnya, siapa yang ingin lelaki itu temui?

"Zara, awas lo!" Kedua tangan Citra mengepal, ia menatap Zara dengan penuh kebencian.

Gadis itu, lebih memilih untuk berbalik. Kembali menaiki anak tangga satu per satu. Menghiraukan sosok Zayn yang sejak tadi sudah mengamatinya namun enggan memanggilnya.

"Oh, Kak Zayn mau panggil Kak Citra?" Suara Zara terdengar.

Namun, bukannya anggukan yang Zara dapatkan, Zayn malah menggeleng pelan.

"Gue mau ketemu lo," ujar Zayn.

Dahi Zara mengernyit, "Mau apa?" tanyanya.

Langkah Zara mundur tatkala Zayn malah melangkah maju. Puncaknya, saat Zara tak tahu ada meja di belakangnya. Ia nyaris terhuyung ke belakang jika saja Zayn tak menahan pinggangnya.

Satu detik, dua detik berlalu, Zayn tampaknya masih betah menatap manik mata Zara. Begitu juga dengan gadis itu.

"Kak tolong lepas." Zara berusaha bangkit, dan segera melepas tangan Zayn dari pinggangnya.

"Mata lo cantik."

Zara terpaku, pipinya bersemu. Akui saja, setiap orang pasti akan melayang tatkala mendapat pujian. Termasuk Zara sendiri. Apalagi ia bisa dikatakan jarang mendapatkan hal-hal positif mengenai dirinya.

"Gue nggak bohong." Zayn kembali bersuara.

Dan Zara tersadar, gadis itu mengerjapkan matanya. Ia merasa canggung setelahnya. Zayn memang sudah berbeda sejak sepulang sekolah saat itu.

"Em, a-aku i--"

"Bullshit, mata lo sekarang siwer, Zayn?"

Dua cucu adam dan hawa itu menoleh, mendapati sosok Agra yang melangkah menuju mereka sembari bersedekap dada. Tak urung sesekali matanya menatap tajam sosok Zara yang memilih untuk menunduk dalam.

"Setelah baperin adek gue, sekarang pindah haluan ke dia?" Agra menatap Zayn dengan alis terangkat.

"Dipelet?" lanjut Agra masih dengan kalimat tanya.

Zayn berdehem, ia melirik Zara sekilas, sebelum akhirnya membuka suara.

"Hm, dari dulu gue cuma nganggep Citra teman," ujar Zayn tenang.

Agra mengepalkan tangan, ia beralih menatap Zara penuh ketajaman, "Tinggalin kami berdua."

Zara paham, ia buru-buru memundurkan langkahnya dan berbalik. Lantas berlari menuju kamarnya. Walau rasa penasaran mendera, sekuat mungkin keinginan untuk menguping ditahannya.

Ia membuka pintu kamarnya, namun ketegangan langsung mendera saat tahu ada Citra. Percayalah, Citra yang menampakkan diri di depannya itu layaknya tanda bahaya.

"Kak Citra ngapain di sini?" Zara membuka suara, tangannya sendiri memegang kuat kenop pintu.

Citra berdiri, ia buru-buru menarik Zara masuk sebelum akhirnya mengunci pintu dari dalam.

"Gimana? Seneng, bangga, atau bahagia karena sekarang Zayn ada di pihak lo?" tanya Citra dengan tampang angkuhnya.

Zara menggelengkan kepala pelan, ia memundurkan langkahnya penuh waspada.

"Aku nggak ngerti, Kak Zayn nggak ada di pihakku," jawab Zara.

Citra tertawa, kencang, tangan kanannya menarik bingkai poto Zara dan Kai. Lantas mengangkatnya dengan tinggi-tinggi.

"Dulu, waktu Kak Kai pindah ke pihak lo, lo juga ngomong gitu." Citra mengakhiri kalimatnya dengan seringaian tajam.

Zara menggeleng kuat, karena pada dasarnya, Kai ada di pihak netral. Lelaki itu menyayangi tiga adiknya dengan setara. Hanya saja, Kai memang selalu membelanya tatkala Citra dan Agra menyakitinya. Itu wajar, jika saja Citra yang ada di posisi itu, Kai juga akan melakukan hal yang sama.

Pyar.

Tubuh Zara menegang, ia menatap bingkai poto yang baru saja Citra lemparkan dengan pandangan nanar. Tanpa menunggu lama lagi, gadis itu segera berlari, meraih kertas poto.

Namun, Citra tetaplah Citra, ia tak akan membiarkannya begitu saja. Gadis itu menarik kertas poto di tangannya sebelum akhirnya menyobeknya. Zara tak terima, poto itu adalah poto satu-satunya yang ia punya.

"Kak Citra jahat! Itu poto terakhir aku yang Kak Citra sobek!" mata Zara berkaca-kaca.

Citra tertawa, tanpa rasa bersalah sedikit saja, "Bodoamat," ejeknya.

Kedua tangan Zara terkepal, kali ini--amarah tak bisa ia bendung lagi. Citra sudah beberapa kali merobek potonya dengan Kai. Dan ini, kenangannya dan Kai nyaris tak bersisa. Hilang.

"Kak Citra kenapa, sih selalu gangguin aku?!" Zara mendorong pelan kedua bahu Citra.

Namun, ia tak tahu jika dorongannya bisa membuat Citra jatuh ke pecahan bingkai tadi.

"Kak!"

"Sialan lo, Kak Agraa!" Citra menjerit. Matanya yang berkaca, menatap perih tangannya yang penuh darah.

Zara sendiri ... hanya bisa diam di tempat sampai pintu kamarnya didobrak dari luar.

"Lo apain adik gue, hah?!"

Agra langsung menghampiri Zara tatkala pintu berhasil terbuka. Sementara Zayn sendiri memilih diam dan menolong Citra.

"Ka-k aku nggak se-ngaja." Zara menunduk dalam.

Agra terkekeh sinis, tangannya terangkat, menarik kuat rambut adik bungsunya. Tak lupa, setelahnya ia akhiri dengan mendorong Zara ke pecahan kaca bingkai tadi. Setimpal, menurutnya.

"Kak, sakit," ringis Zara.

Kaki Agra bergerak, ia menendang kuat tubuh Zara, "Satu sama, adik gue juga ngerasain hal yang sama!"

Dengan tangisan tergugu, Zara mengubah posisinya menjadi duduk. Meniupi lukanya, sementara mereka sudah pergi dari kamarnya.

Mata Zara beralih, tangannya menggapai dua sobekan kertas.

"Kak Kai, Kak Kai," panggilnya berulang kali.

Senyum Zara tercipta tatkala melihat senyum Kai di dalam sana. Tak apa, potonya disobek, setidaknya bagian Kai tetap utuh.

Gadis itu mengusap wajah Kai dengan ibu jarinya, "Apa kabar, Kak?"

***

Zara tak tahu kenapa Zayn yang ia kira sibuk mengobati Citra, kini ... tiba-tiba datang ke kamarnya dengan menenteng kotak p3k. Duduk di sampingnya tanpa banyak bicara. Lantas menarik tangannya yang terluka ke genggaman lelaki itu. Mengobatinya sedemikian rupa. Bolehkah Zara bilang jika ia sedikit ... baper?

"Kalau sakit bilang," ujar Zayn.

Zara mendongakkan kepala, menatap Zayn dengan kebingungan, "Kak Zayn nggak obatin Kak Citra?" tanyanya.

Zayn menghela napas, ia menatap manik mata Zara tepat, "Dia udah ada Agra, dan lo nggak punya siapa-siapa."

Zara terdiam, sedikit terpaku dengan kata-kata terakhir yang Zayn ucapkan. Benar, ia tak punya siapa-siapa. Miris rasanya.

"Ta-pi aku bisa sendiri." Zara segera menarik tangannya. Ia masih ingat apa penyebab Citra marah padanya. Ya karena Zayn.

Sementara Zayn sendiri menatap Zara kesal, "Lo gimana sih? Gue obatin malah nolak."

Zara menggeleng kuat, ia menahan tangannya yang Zayn tarik, "Enggak, jangan kaya gini, Kak Zayn. Nanti Kak Citra marah, dan rusakin semua yang ada di sini lagi."

Untuk saat ini, Zara memilih menghindari gangguan Citra daripada cintanya. Lagi pula, ia pikir perlakuan Zayn hanya kepalsuan. Walau dia tadi sedikit terbawa perasaan.

"Lo nggak perlu khawatir, kalau nanti Citra lukain lo, gue yang bakalan maju paling depan buat lindungin lo." Zayn menarik kedua tangan Zara dalam genggamannya.

Tapi, Zara sendiri masih dalam keraguan. Apakah Zayn benar-benar tulus atau hanya pura-pura. Ia takut ketika nanti sudah percaya, dijatuhkan begitu saja.

"Gue tahu lo masih ragu. Lo mau tahu alasan gue tiba-tiba baik sama lo di hari itu sampai sekarang?"

Tanpa dipinta, Zara menganggukkan kepala.

"Gue ... em, nggak sengaja lihat lo nangis begitu menyedihkan waktu ditinggalin Citra di depan toilet. Bahkan sampai Agra dateng dan lo ... keliatan masih nangis. Seketika entah gimana, kalimat nyokap gue terngiang gitu aja. Dia pernah bilang sama gue untuk jangan sakitin perempuan, karena kita nggak tahu seberat apa beban yang udah mereka tampung."

"Mungkin hidayah? Gue ... bener-bener terenyuh waktu liat lo nangis saat itu. Apalagi saat gue posisiin adik cewek gue di posisi lo. Sakit banget, Ra."

"Maafin gue, gue bener-bener pengen nebus kesalahan gue sama lo. Bahkan lo sampe bunuh diri gara-gara gue, kan?"

Zara menunduk dalam, bagaimana bisa Zayn tahu ia pernah melakukan percobaan bunuh diri?