webnovel

Berusaha Menyakiti Maurin

"A-aku cuma nggak terlalu suka kamu dikenalkan papa ke cowok lain," pungkas Tomi, lalu pergi meninggalkan Maurin sendiri.

"Dasar aneh!" gumam Maurin sambil merapatkan bibirnya.

Maurin memilih tidak kembali ke pesta, lebih baik dia kembali ke kamarnya. Namun ketika ingin kembali ke kamarnya, tiba-tiba dia merasakan dorongan yang amat keras dari belakang. Sehingga dia terpelanting, lalu terjatuh menggelinding dari tangga atas ke bawah. Karena kebetulan kamarnya dekat sekali dengan tangga. Entah siapa yang berusaha menyakitinya, hingga membuat dirinya hampir kehilangan nyawa.

"Maurin, kamu sudah sadar?" tanya Tomi ketika melihat Maurin membuka matanya.

"A-aku di mana?" tanya Maurin dengan wajah dan mata yang masih sayu.

Tomi menjelaskan jika dia sedang di rumah sakit, Tomi menemukan Maurin tergeletak tepat di bawah anak tangga. Tapi Maurin malah menutupi perbuatan orang yang ingin menyakitinya tadi. Dia bilang kepada Tomi, bahwa dia belum makan lagi. Tapi Tomi tak percaya dengan itu semua, karena kaki kiri Maurin mengalami patah tulang.

"Maurin, bilang sama saya, siapa yang sudah tega melakukan ini sama kamu?" tanya Pak Hardi yang ikut prihatin dengan keadaan anak angkatnya.

"Mungkin sudah takdirnya kaki saya patah, Pak." Maurin menenangkan pikiran bapak angkatnya.

"Kalau perlu kita lapor polisi saja, Pa. Barangkali ada orang jahat disekitar rumah kita," pungkas Tomi yang semakin peduli dengan Maurin.

Mendengar ucapan Tomi, Bu Rani menarik tangan anaknya keluar ruangan Maurin. Lalu diikuti dengan kedua kakaknya, si Doni dan si Anton.

"Kamu ini kenapa sih, kok jadi respect sama anak angkat itu?" bisik Bu Rani dengan tatapan mata elang ke arah Tomi.

"Iya, rencana kita kan mau ngusir dia dari rumah kita. Bukan malah buat dirinya semakin betah. Sudah oleng tuh otak kamu," sahut Anton.

Tomi bingung harus jawab apa perihal pertanyaan-pertanyaan yang sudah mereka lontarkan. Memang dia akui, awal pertama kali Maurin masuk ke rumahnya, dia sangat membencinya. Namun ketika sudah mengenal Maurin, Tomi jadi bimbang jika harus menyakitinya setiap hari.

"A-aku cuma pura-pura baik, kan ada papa di rumah," jawab Tomi dengan nada datar.

Dua hari kemudian, setelah operasi kecil, Maurin sudah diperbolehkan pulang. Walaupun dia harus menggunakan tongkat penyangga untuk menopang salah satu kakinya. Kata dokter, kakinya bisa pulih kembali dalam kurun waktu dua bulan ke depan. Dengan keadaan yang seperti itu, Bu Rani masih saja berniat ingin menyingkirkannya.

"Non, lebih baik Non Maurin istirahat. Mbok Asih sanggup kok mengerjakan sendiri, kan sebelum Non Maurin tinggal di sini, Mbok Asih juga sendiri. Nanti kalau Tuan Hardi tahu, pasti marah besar," papar Mbok Asih yang melarang Maurin untuk meneruskan cuci piring.

"Pak Hardi nggak bakalan marah, Mbok. Lagi pula Maurin bosen di kamar terus, tidur terus. Mendingan bantu Mbok Asih saja," sahut Maurin sambil tersenyum manis.

Tomi yang mengintip dari balik tembok dapur, ikut tersenyum. Dia percaya jika Maurin memang gadis yang tulus. Karena penasaran, Tomi menghampiri mereka berdua untuk bergabung. Kebetulan juga Tomi usai pulang sekolah, menghampiri Maurin dengan alasan memberikan tugas titipan gurunya. Sehingga dia tidak malu jika bertemu dengan Maurin.

"Jangan lupa makan, biar nggak pingsan lagi," ucap Tomi.

"Yee ... kamu ngeledek ya!" sahut Maurin sambil melirik ke arah Tomi.

"Hehehe, bercanda anak angkat. Eh maaf, maksud aku, Maurin manis." Tomi memalingkan muka sambil menggaruk kepalanya. "Eh, aku ke sini cuma mau kasih tugas kamu dari Bu Guru," lanjutnya dengan menyodorkan sebuah buku ke arah Maurin.

"Terimakasih."

Secara tak sengaja, Bu Rani melihat Tomi semakin dekat dengan anak angkatnya tersebut.

"Aku harus secepatnya buat perhitungan dengan gadis benalu itu," gumam Bu Rani dalam hati.

Siang itu juga, Bu Rani menyusun rencana dengan kedua anaknya untuk memberi pelajaran kepada Maurin. Tanpa sepengetahuan suaminya dan anak bungsunya, Bu Rani sengaja mengajak Maurin berbelanja ke mall. Karena Maurin menganggap ibu angkatnya juga sudah berubah, sehingga dia tidak ingin menolak ajakan dari ibu angkatnya tersebut. Tanpa berpikir macam-macam, akhirnya Maurin dengan Bu Rani berangkat.

Satu jam perjalanan, Maurin mulai resah, karena belum sampai juga ke mall. Padahal jarak rumahnya dengan mall sangatlah dekat.

"Kita mau ke mall yang mana, Bu?" tanya Maurin basa-basi.

"Ki-kita jalan-jalan dulu ya ke pantai, setelah itu baru ke mall. Ibu mau cari udara sejuk," sahut Bu Rani yang hampir membuat Maurin curiga.

"Mana ada ya siang-siang bolong ke pantai, yang ada malah gosong," batin Maurin dalam hati. Namun Maurin tetap positif thingking.

Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba mobil Bu Rani mogok. Mereka berdua turun dari mobil dan melihat mesin mobilnya. Usai mengotak-atik, entah Bu Rani bisa atau tidak, dia menyuruh Maurin untuk membeli air di seberang jalan. Maurin pun menurut, lalu pergi membeli air.

Melihat Maurin sudah pergi, dia bergegas mengambil ponselnya dari saku celananya. Terlihat dia menelfon seseorang dan menyuruhnya untuk bersiap-siap.

"Pasti kali ini rencanaku berhasil," gumamnya.

Sekitar memakan waktu 10 menit, Maurin sudah kembali dengan membawa sebuah botol air. Saat ingin menyeberang, terlihat dari arah kanan jalan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Maurin hanya bisa pasrah, karena kakinya tak mungkin bisa menghindari dengan cepat.

Brak!

Maurin terpental ke seberang jalan, akan tetapi bukan dirinya yang tertabrak, melainkan Bu Rani. Bagaimana bisa ibu angkatnya yang tertabrak? Maurin sungguh tidak menyangka.

Orang-orang yang melihat kejadian tersebut, berbondong-bondong menolong Maurin beserta ibu angkatnya. Mobil yang tadi menabrak ibu angkatnya sudah kabur melarikan diri. Bu Rani segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat tindakan lanjut, karena luka dikepalanya sangat serius akibat kecelakaan tadi. Sedangkan Maurin hanya mengalami luka ringan.

Sesampainya di rumah sakit, Maurin bergegas mengabari keluarga yang ada di rumah. Pak Hardi beserta anak-anaknya segera menyusul.

"Tuhan ... selamatkan nyawa ibu angkatku," batin Maurin tak henti-hentinya berdoa di depan ruang UGD.

Tak lama kemudian, Pak Hardi dan anak-anaknya datang menghampiri Maurin.

"Bagaimana keadaan ibumu, Nak?" tanya Pak Hardi. "Kok bisa kalian kecelakaan?" tambahnya.

"Dokter belum keluar dari ruang UGD, Pak. Ceritanya panjang, seharusnya Maurin yang tertabrak tadi."

"Pasti orang jahat itu lagi, Pa. Tomi yakin ada yang sengaja jahatin Mama dengan Maurin," sahut Tomi.

Sebelum melanjutkan pembicaraannya, Dokter keluar dari ruangan UGD. Dia bilang, Bu Rani harus segera mendapatkan donor darah untuk menyelamatkan nyawanya. Golongan darahnya AB, stok di rumah sakit sudah habis. Karena jika tidak segera mendapatkan donor darah, kemungkinan nyawa Bu Rani tidak akan tertolong.

Mereka berempat saling memandang satu sama lain, dari mereka tidak ada yang bergolongan darah AB.

"Golongan darah saya AB, Dok. Saya mau mendonorkannya sekarang!"

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Lee_Echa_Sancreators' thoughts