webnovel

Dia Yang Lemah

    Jam satu malam, tidur Jeno terganggu karen mimpi sialan yang lagi dan lagi datang tanpa diundang. Segera ia tandas sisa air putih di gelasnya yang hanya tinggal setengah gelas. Tenggorokannya rasanya sangat kering akibat keadaan ribut di alam mimpi tadi. 

    Ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya menuju komputer dan segala perentelannya. Kebiasaan buruk Jeno memang jika sudah ke bangun tengah malam kadang sulit untuk tidur kembali. Ia memilih untuk menghabiskan sisa malamnya dengan bermain playstation yang sudah tersedia di kamarnya. 

   Saat dirinya menundukkan tubuhnya di atas kursi kebanggaannya jika dalam dunia game, matanya menangkap laptop sang adik yang tadi sore memang sempat ia pinjam dan lupa dikembalikan lagi tepat di sebelah keyboard hitam pekat miliknya. 

   "Oh iya belum gue balikkin nih laptop. Anaknya udah tidur belum yah?" tanyanya pada diri sendiri. Berpikir sebentar sebelum kemudian memutuskan untuk langsung mengembalikan barang adiknya itu sekarang juga. 

   Kamarnya tidak jauh, bahkan terlampau dekat. Tepat di sebelah kiri kamarnya adalah kamar Jessi. Ia mencoba langsung membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci. 

    "Tumben jam segini belum dikunci nih pintu? Teledor banget sih jadi cewek," katanya kesal sendiri. Meskipun kadang cuek dan tak terlihat perasaan sayangnya, tapi Jeno cukup besar menyayangi Jessi layaknya kakak laki-laki lainnya pada adik perempuannya. 

    Jeno langsung masuk tanpa ragu. Namun, gerakannya terhenti ketika mendapati keadaan Jessi yang jauh dari kata baik-baik saja. Kepalanya tiba-tiba saja pusing melihat begitu banyak cairan merah yang berada tepat di sekitar pergelangan tangan Jessi. 

   Wanita itu tergeletak tak sadarkan diri dengan tangan yang penuh dengan cairan kental merah. Di dekatnya terdapat gunting yang sudah memerah. Jeno dengan cepat menaruh laptop itu di atas kasur dengan asal. Dirinya menghampiri Jessi dan memangku kepalanya. 

    "Jess, bangun Jess. Lo jangan becanda sama gue, lo tau kan gue gak suka sama setiap candaan lo? Bangun kalo gak mau gue marah," katanya mengancam dengan harapan adiknya itu akan takut dan segera bangun. 

    Matanya celingukan berharap ada yang bisa ia mintai tolong namun sesaat kemudian ia berdecak kesal dengan kebodohannya sendiri. Mana ada yang bisa diandalkan di dalam keluarganya? Bahkan dirinya saja tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. 

   Jeno bangun dengan Jessi di dalam gendongannya. Ia sedikit berlari cepat membawa tubuh Jessi agar bisa cepat mencapai mobil dan ia larikan segera ke rumah sakit. 

   Tidak ada yang dirinya kabari sekalipun itu kedua orang tuanya. Rasanya tidak penting mengabari mereka perihal kondisi Jessi sekarang. 

   ***

   Jeno duduk sendiri di kursi tunggu ruangan Jessi sambil menunggu kesadaran Jessi pulih. Dokter bilang, untung tidak terlambat dalam membawa Jessi ke rumah sakit. Jika terlambat sebentar saja, entah sudah bagaimana hidup Jessi sekarang. 

   Jam di layar ponsel Jeno sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan selama itu dirinya hanya sendiri tanpa berniat memberi tahu siapa pun. Ia hanya sibuk bermain game online di ponselnya untuk mengusir kebosanan yang mendera. 

   Namun, tiba-tiba permainannya terganggu dengan panggilan suara dari nomor pria yang tidak ia suka tanpa alasan yang jelas. Dengan malas Jeno pun mengangkatnya. 

   "Hallo, kenapa?" tanya Jeno tanpa basa-basi. 

    "Jen, Jessi sama lo? Gue lagi di rumah kalian soalnya dan kalian berdua udah gak ada aja pagi-pagi," kata Fauzan di seberng telepon sana. 

    Entah mengapa setiap kali ada yang perhatian kepada mereka berdua, Jeno selalu menganggap jika orang itu hanya berpura-pura. Ia menilai hubungan Fauzan dan Jessi selama ini pun seperti itu. Tidak ada yang bisa ia percayai dalam hal kasih sayang di dunia ini. 

    "Ngapain lo pagi-pagi di rumah gue? Ngater koran?" balasnya malas.

     "Jeno, kamu tinggal jawab aja Jessi sama kamu atau enggak?" Tiba-tiba suara bundanya yang keluar untuk bertanya. 

   "Iya Jessi sama Jeno, Bun. Kenapa?" 

   "Dimana? Kalian lagi apa?" 

   "Ngapain nanya-nanya kayak gitu sih, Bun? Emang penting banget apa? Apa cuma karena lagi ada Fauzan aja?" ketusnya bertanya balik. 

    "Kamu ini ditanya kenapa malah kayak gini sih? Tinggal jawab aja apa susahnya sih? Kalian dimana?" 

   Ia menghela nafasnya kasar. Melihat orang yang perhatian rasanya Jeno mual. 

   "Di rumah sakit Arwana," jawabnya kemudian langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa butuh menunggu banyak waktu. 

   "Ganggu aja," decaknya kembali melanjutkan permainannya yang tadi sempat tertunda. 

   ***

  "Rumah sakit?" beo Alin masih belum mencerna dengan baik apa yang Jeno katakan dengan cepat itu. 

   "Ada apa Tante? Siapa yang sakit?" tanya Fauzan panik. Pasalnya hatiny memang sudah tidak tenang setiap kali mengingat nama Jessi di kepalanya. 

    Alin mengembalikan ponsel Fauzan kepada pemiliknya. "Jeno lagi di rumah sakit katanya. Rumah sakit Arwana."

   "Rumah sakit Arwana? Ruangan apa Bunda kalo boleh tahu?" tanya Fauzan cepat. 

    "Jeno gak ada kasih tahu. Tapi, kita akan ketemu kan kalo bertanya?"

   ***

   Jeno hanya diam menatap Jessi yang juga hanya diam melamun entah memikirkan apa. Dari kesadarannya mulai pulih lima belas menit yang lalu, Jessi hanya diam tak bicara apa pun. Jeno memang terlihat cuek dan tidak peduli, tapi nyatanya ia menjadi orang yang sangat khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap adiknya satu-satunya itu. 

   "Lo kenapa pake bawa gue ke rumah sakit sih, Kak?" 

   Jeno kembali mengangkat wajahnya setelah tadi sempat tertunduk kembali main game. 

   "Kasian," jawabnya singkat. 

   Jessie berdecak seraya terkekeh pelan. Sejak kapan di dunia ini ada yang mengasihaninya? Lucu rasanya mendengar kata itu keluar dari mulut kakaknya. 

   "Padahal gak usah dibawa biarin aja gue mati," katanya menatap sinis langit-langit kamar yang putih. 

   "Gue gak mau rumah gue jadi angker," katanya lagi sambil kembali bermain game meskipun pikirannya tidak ada di dalam permainan itu. 

    Tidak ada lagi sahutan dari Jessi. Suasana kembali hening tanpa suara apa pun. Di dalam ruangan ini juga hanya ada Jessi karena Jeno yang memerankannya langsung. 

   Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan ketiga orang yang membuat Jeno langsung berdecih setelah melihatnya. 

   "Jessi, kamu gak apa-apa, Sayang?" tanya Surya terlihat khawatir sebagaimana seorang ayah pada anak perempuannya. 

   Mereka bertiga mendekat pada Jessi yang Jessi balas dengan senyuman lemah. Ada Fauzan disini, ia harus tetap terlihat baik-baik saja. 

    "Jelas-jelas hampir mati pake ditanya gak apa-apa," sahut Jeno iseng. 

    Jessi terkekeh kecil mendengar sahutan dari kakaknya itu. Surya terdiam menahan geram. Mereka ini keluarga kandung tapi mengapa terasa seperti keluarga tiri? 

   "Apa yang sakit, Sayang?" tanya Alin gantian dengan air muka cemas mengusap kening Jessi. 

    "Mental," sahut Jeno lagi dengan alibi bermain game tanpa mau melihat ke arah mereka. Takut muntah katanya. 

    Jessi kembali terkekeh terlebih lagi bisa melihat langsung ekspresi kedua orang tuanya itu. Rasanya ia puas sekali melihatnya. 

   "Kamu istirahat aja yah, jangan banyak pikiran," kata Fauzan yang berdiri di sebelah kanan Jessi. 

   "Ya makanya gak usah datang," balas Jeno lagi seakan mewakili Jessi untuk bicara. 

   Jeno memang kurang ajar, dia menyiksa Jessi karena menahan tawa agar tidak meledak. Kan tidak seru jika tertawa keras di depan wajah orang-orang yang sedang bersimpati. 

    "Jeno, lebih baik kami keluar!" usir Surya tidak tahan lagi. Kenapa bisa kedua anaknya malah memusuhinya seperti ini? 

  "Lebih baik kalian aja deh yang keluar. Biar Kak Jeno disini aja," sahut Jessi akhirnya buka suara.