webnovel

Prolog - Bolehkah, Sekali Saja?

"Ayah harus tepati janji." Lisya menunduk, tak berani beradu pandang dengan wajah tegas sang ayah.

Chalis menoleh, menangkap gerakan gadis itu yang tengah memainkan jemarinya gusar, tak berniat mengabulkan permintaan tersebut dan memilih memperlihatkan ekspresi datar. Lisya sudah terbiasa dengan sikap ayahnya ini, sedari kecil pun Lisya tidak pernah mendapat kasih sayang yang layak padahal kesalahan 18 tahun lalu bukanlah ulahnya.

Chalis meletakkan gelas yang sedari tadi setia ia genggam hingga sedetik kemudian suara berat miliknya mendahului percakapan. "Berangkat saja sendiri, kamu sudah besar."

"Pembohong."

Chalis mendengar jelas gumaman sang anak membuat emosinya tersulut, "apa kamu bilang!"

"Sudahlah lupakan saja."

"Ayah ... sungguh tidak mau mengantarku? Anggap saja ini hadiah ulang tahun untuk Lisya," sahutnya lagi kini dengan nada sendu sembari menunduk berharap sang ayah sudi untuk menemaninya pergi berjalan-jalan sebentar. Ruang keluarga itu hening, Lisya dapat merasakan dengan jelas embusan angin menabrak tubuhnya, sang ayah membisu mengunci tatap pada Lisya, entah apa yang berputar dipikiran pria itu.

"Tidak."

"Kalau mau, pergilah bersama kakak atau ibumu." Ekspresi sang ayah mengartikan bahwa perkataan kali ini adalah keputusan terakhir yang tak dapat Lisya bantah sama sekali, haruskah ia sedih? Padahal hari ini adalah hari yang istimewa untuknya.

"Kak?" panggil sang adik sembari menarik ujung baju Lisya, Lifa begitu polos dan sebagai kakak ia menyayangi bocah itu sepenuh hati.

"Hmm?"

"Mau pergi sama adek aja?" ucap gadis berumur 11 tahun itu, Lifa sering kali melihat hal seperti ini terjadi pada kakaknya meski masih terbilang sangat muda, Lifa paham betapa sakitnya menjadi sang kakak.

Lisya tersenyum walau ia tahu ini menyakitkan namun masih ada Lifa di sisinya. "Gak usah, kakak pergi sendiri aja."

"Beneran? Yaudah hati-hati ya!" Lisya mengangguk sebagai jawaban, detik selanjutnya bocah itu memilih untuk berlalu.

****

Pukul 13.45

Lisya masih belum pergi menuju pantai, ia masih ingin menikmati hari ini, tadi setelah berbincang singkat dengan sang ayah, Lisya memilih untuk menenangkan diri di dalam kamar. Lalu dua jam setelahnya Lisya memutuskan untuk pergi menemui sang ibu walau sampai saat ini wanita itu terus memberikan penolakan yang sama. Yah ... tidak apa setidaknya untuk hari terakhirnya Lisya sama sekali tidak keberatan.

Lisya sendiri memiliki kakak laki-laki tapi sama seperti kedua orang tuanya, Ansel juga menyimpan kebencian. Padahal dulu saat masih kecil kakaknya adalah orang yang paling menyayangi Lisya, namun seiring waktu berjalan dengan sikap dan sifat Lisya yang berubah membuat kakaknya juga ikut berubah. Menjadi seseorang yang dingin dan keras seperti sang ayah membuat Lisya merasa putus asa. Bagaimana bisa dikeluarga lengkap seperti ini hanya sang adik yang betul-betul memperhatikan nya?

"Yoanne lama banget sih jamuran gue disini lama-lama," gerutu Lisya sembari terus mengaduk minuman yang ia pesan.

Hingga beberapa menit kemudian maniknya menangkap sosok gadis yang ia tunggu kedatangannya sejak tadi, Yoanne melangkah dengan semangat sembari menenteng buku novel di tangan kirinya. Lisya tau jelas buku apa yang dibawa oleh sahabatnya itu, sudah tidak aneh lagi jika Yoanne selalu ingat untuk membawa novel tersebut dibanding datang menemui dirinya.

Lisya menghela napas berat kemudian memutar bola matanya malas, "lama banget sih."

"Sorry Sya tadi beneran deh orang tua gue minta dianterin ke rumah nenek dulu terus ngobrol panjang lebar ampe gue ngabisin nih novel saking gabutnya," jelas Yoanne rinci seraya menyodorkan buku novel kearah Lisya membuat sang empunya mengangguk pasrah.

"Iya deh terserah," jawabnya malas.

"By the way, gue kesel banget woi!" keluh Yoanne, lalu mulai mengambil posisi nyaman agar bisa duduk tepat di depan sahabatnya.

"Kenapa? Gara-gara orang tua lo tadi?"

"Gak, bukan itu."

"Iniloh lu tau gue sering cerita kan? Soal Lavy si pemeran utama di novel ini," celetuknya seraya menunjuk novel yang ia letakkan di atas meja.

"Iya?" balasnya dengan nada penasaran.

"Masa dia mati! Mana dibunuh ayahnya sendiri lagi, tragis banget."

Lisya yang mendengar itupun mengerutkan keningnya heran, "Lah kenapa?"

"Dituduh nyuri stempel kerajaan dong! Emang dasar bapak gak ngotak," ucap Yoanne frustasi hingga sengaja menabrakkan punggungnya ke kursi lalu menghela napas kasar.

"Dihukum apa gimana?" tanya Lisya menoleh kearah lain sembari menyeruput minumannya.

Pandangan Lisya tidak teralihkan. Sebelah tangannya masih memegang sedotan minumannya sembari fokus mendengar keluhan sang sahabat. Lalu kata-kata Yoanne berikutnya membuat ia mematung seketika. "Iya, dihukum gantung."

"Ishh gue santet tuh penulisnya," imbuh Yoanne geram dan terus bergumam tak henti-henti.

"Serem juga lo.” Lisya tersenyum hambar, mendengar perkataan Yoanne tadi membuatnya kembali memikirkan tentang rencana yang ia rancang sedemikian rupa.

"Lavy deserve better." Sedikit demi sedikit nada bicara Yoanne mulai melemah, Lisya yang sedari tadi terlihat tidak begitu tertarik panik dibuatnya, sebab gadis itu menunduk sedang tubuhnya gemetar seperti menahan tangis.

"Ehh lu kenapa? Nangis?"

"Iya, lagi-an tadi hiks di rumah nenek.. gue ta-han na-ngis nya hiks," lirih Yoanne sembari mengusap jejak air mata di sekitar pipinya.

Lisya yang kalang kabut segera memangkas jarak dan berdiri di sebelah Yoanne untuk menenangkan sahabatnya itu, "udah sih Anne malu, orang-orang ngira gue ngapain lu ampe sesenggukan gini."

"Beneran hiks pengen tampol penulisnya, bahkan si Lavy gak dapet kasih sayang apapun sampe dia meninggal, kejam sekali."

“Tentang Lavy dan nasibnya ... Sangat mirip denganku,” batinnya.

****

Ia menyudahi seluruh kegiatannya usai pergi ke pantai bersama Yoanne, kini Lisya memutuskan untuk pergi ke kamar dan melakukan hal yang sudah ia rencanakan sejak kemarin. Lisya tau ini tidak benar bahkan ia sempat mengurungkan niatnya, namun kejadian beberapa menit lalu membuat dia yakin untuk keputusan yang satu ini.

Tadi, sepulang dari perjalanan yang santai ayahnya mendekat lalu menamparnya seakan Lisya telah melakukan kesalahan besar, ayahnya bilang Lisya gadis berandalan dan tidak punya etika hingga pulang diatas jam 10 malam. Memang, Lisya salah tapi haruskah ditampar? Bukannya tadi Lisya mengatakan pada sang ayah pasal rencananya untuk pergi ke pantai lalu kenapa harus semarah ini?

Lisya sungguh tidak mengerti, apa ini bentuk kasih sayang sang ayah?

Lisya sudah terlampau sakit hati dengan sikap Chalis, padahal ia sungguh berharap di hari ulang tahunnya ini sang ayah bisa berubah walau sedikit.

“Ayah, sepertinya ini akan jadi malam terakhirku dan juga hari terakhir kau melihatku sebagai putrimu.” Lisya berujar lirih, dengan getar suara berbeda, juga mata yang mulai memanas dengan nada dipenuhi sesak.