Sengaja aku pajang lukisan gadis itu di kamarku sambil mengerjakan bingkai indahnya, karena aku tak ingin pelangganku tahu duluan. Baru setelah bingkainya jadi, akan kupajang dia di ruang utama galeriku.
Sekali kulirik gadis itu, ternyata masih seanggun kemarin, masih tersenyum dengan sedikit lesung di pipinya. Ah, gadis manis yang sebentar lagi berpindah ke tangan pelangganku. Sungguh beruntung orang yang nanti membelinya, pikirku.
Kalau aku perhatikan agak detail, lukisan ini memang berbeda dari lusinan lukisan gadis yang selama ini singgah di galeriku. Goresannya jauh lebih halus dengan lekuk dan garis sempurna, menunjukkan penguasaan materi realis si pelukis. Apalagi kalau dibandingkan dengan lukisan andalanku, jauh sekali. Aku yang berusaha mati-matian untuk melukis aneka wajah, terpaksa harus menelan pil pahit. Walhasil, sampai sekarang hanya satu wajah yang bisa kulukis, wajah gadis semampai yang membayangi mimpiku sejak sepuluh tahun terakhir ini. Wajah manis dengan tahi lalat kecil di ujung kiri bibir atasnya. Rasanya kuas dan jariku berkompromi untuk menolak melukis wajah selain sosok ayu itu.
Aku pilih kayu terbaik, motif terbaik, cat terbaik yang sengaja kubedakan dari yang selama ini dipakai. Ingin kuberikan sentuhan spesial pada lukisan ini, sekali saja. Biar nanti setelah dibeli orang, masih tertinggal jejakku menemani si gadis.
Dan selepas Asar sore itu, setelah tiga hari kukerjakan, akhirnya terpajang juga lukisan seorang gadis manis dengan lesung pipi indah di ruang utama galeriku.
Beberapa kali kulirik lukisan itu sambil menyelesaikan pekerjaan lain, sambil mereka-reka harga yang pantas untuk karya sesempurna itu.
###
Malam ini, ketika aku kembali dari sembahyang Isya di masjid depan galeriku, datang si bapak penjual lukisan dengan tergopoh-gopoh. "Mas, di mana lukisan putriku? Masih kau simpan, bukan?" katanya dengan mimik serius. Ah, baru aku tahu ternyata si gadis manis adalah putri bapak ini.
"Memang kenapa,Pak?" tanyaku.
"Jangan kau jual lukisan itu, Nak! Putriku marah, dia betul-betul marah sama Bapak," pintanya mengiba.
Sampai detik ini, justru aku yang merasa aneh dengan Bapak ini, kok tega-teganya menjual gambar anaknya sendiri.
"Emang sekarang di mana putri Bapak?" tanyaku.
Dengan sedikit menundukkan kepala, Bapak tua itu menjelaskan," Savitri, putriku yang pintar melukis, dua tahun lalu meninggal ditabrak mobil sewaktu hendak sholat Tarawih di masjid depan itu. Lukisan itu bikinannya sendiri yang ia buat persis sehari sebelum hari kematiannya. Sudah tiga hari ini dia mendatangiku lewat mimpi sambil marah-marah. Makanya, aku minta tolong kamu jangan jual dulu lukisan itu, nanti kalau Bapak punya uang, akan kubeli lagi."
"Innalillahi!" desisku.
Mendadak kakiku gemetar, jantungku seakan berhenti berdenyut, mulutku kelu. Pikiran kembali teringat peristiwa aneh sore tadi. Sehabis Maghrib, seorang gadis manis dengan rambut lurus sebahu datang ke galeriku. Tanpa sepatah katapun dia menunjuk ke lukisan yang baru kupajang, dikeluarkannya uang sejumlah harga yang baru ingin kutawarkan, yang belum sempat kusebut jumlahnya. Diambilnya lukisan itu dengan buru-buru, bahkan dia menggeleng ketika aku menawarkan untuk membungkus lukisan itu biar lebih rapi. Cepat sekali kejadian itu, secepat langkah kaki si gadis meninggalkan galeriku menuju masjid di depanku.
Dan nama gadis itu, Savitri, kenapa pula namanya sama dengan satu-satunya wajah ayu yang berhasil kulukis sepuluh tahun terakhir ini? wajah manis bertahi lalat kecil di ujung kiri bibir atasnya. Kenapa harus sama?