webnovel

El dan Ketenangan

Sasya memejamkan matanya sebentar, gadis itu lantas berdehem pelan.

"Mau istirahat, El, gue capek banget hari ini. Boleh enggak?" tanya Sasya pada teman kakaknya.

El terdiam, sebelum akhirnya lelaki itu menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Tapi bilang dulu sama gue lo kenapa?" tanya El dengan nada paksa.

Mendengar hal itu, Sasya menatap El dengan tatapan anehnya, "Lah, emangnya gue kenapa?" tanyanya dengan nada bingung.

El sendiri menarik napas panjang, lantas menganggukkan kepalanya saja. Kemudian lebih dulu kembali ke dalam cafe. Meninggalkan Sasya yang menatap punggung lelaki itu dengan tatapan kebingungannya.

"Itu orang kenapa, sih?" gumam Sasya pelan.

Kemudian gadis itu kembali ke tempat semula. Sasya mendudukkan diri di depan teman-teman kakaknya. Ia lirik sekilas El yang tampak sibuk memainkan ponselnya.

"Bang Arash lagi sibuk kayanya, ya, Bang?" tanya Sasya pada teman-teman kakaknya.

Bumi menganggukkan kepalanya, dan menunjuk Arash yang memang sedang sibuk mengantarkan pesanan pelanggan. Sasya menganggukkan kepalanya melihat hal itu.

"Bang, gue pulang duluan ya. Tolong nanti kasih tahu Bang Arash kalau gue pulang duluan," ujarnya pada teman-teman kakaknya.

"Loh? Nungguin Abang lo aja kali, Sya. Lagian kata Arash juga pekerjaannya kelar bentar lagi," ujar Bumi pada adik temannya.

Sasya menghela napasnya berat, "Nggak apa-apa, Bang. Gue pengen langsung pulang. Kalau gitu permisi, ya."

Maka tanpa menunggu jawaban teman-teman kakaknya, Sasya lebih dulu pergi dari sana. Gadis itu berjalan tergesa keluar cafe. Dan langkahnya terhenti tatkala pergelangan tangannya ditarik oleh seseorang.

Sasya menoleh, dahinya mengernyit tatkala mendapati El si pelakunya.

"Ada apa lagi, El?" tanya Sasya dengan nada lelah.

Pasalnya Sasya benar-benar ingin pergi dari sana. Dan segera pulang ke rumah untuk menangis sepuasnya. Namun kini El malah menghalangi langkahnya.

"Biar gue anter," ujar El pada gadis di depannya.

Sasya menghela napasnya dengan penuh berat. Lantas mengangguk saja agar semuanya cepat selesai. Gadis itu mengikuti langkah El di depannya yang berjalan ke arah motor lelaki itu yang terparkir tak jauh darinya.

"Ambil helm lo di motornya Arash," titah El pada Sasya.

Maka Sasya menurut saja, gadis itu segera berjalan ke arah motor Arash untuk mengambil helmnya. Setelahnya, ia kembali ke motor milik El. Gadis itu menarik napasnya panjang sebelum akhirnya memakai helmnya dan duduk di belakang El.

"Udah?" tanya El pada gadis yang duduk di belakangnya.

Maka Sasya mengangguk saja. Sepanjang perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Sasya benar-benar di fase malas untuk berbicara. Makanya, gadis itu bahkan tak mengeluarkan suara sedikit pun untuk sekedar basa-basi pada sosok lelaki di depannya.

Dahi Sasya mengernyit tatkala melihat jalan yang El tuju bukan ke jalan rumahnya. Gadis itu memajukan kepalanya dan bersuara agar El bisa mendengarnya.

"El, ini bukan jalan ke rumah gue!" seru Sasya.

Siapa tahu El lupa jalan ke arah rumahnya. Namun, Sasya sama sekali tidak mendapat tanggapan sedikitpun dari El. Lelaki itu diam saja dan terus melajukan motornya. Karena mengira bahwa El tidak mendengarnya, maka Sasya kembali mengulanginya. Gadis itu kembali berteriak lebih keras agar El mendengarnya. Namun tetap saja, lelaki itu tidak menjawab apa apa.

Padahal menurut Sasya ia sudah berteriak sekeras itu. Apa mungkin El sengaja?

Tak mood, Sasya memilih untuk diam saja. Selagi El tidak membawanya ke jalan sepi, Sasya akan merasa tenang-tenang saja. Toh ia juga bisa melawan lelaki itu kalau El berbuat macam-macam. Setelah cukup lama dibuat penasaran pada El yang entah akan membawanya kemana, akhirnya mereka tiba di sebuah pantai.

Sasya turun dari motornya sembari membuka helmnya. Gadis itu menatap El yang sibuk melepas helmnya dengan tatapan penuh kebingungannya.

"Kenapa kesini, El? Gue minta anterin pulang," ujar Sasya dengan tatapan bingungnya.

Dan El menolehkan kepala sembari merapihkan rambutnya. Ia tatap lamat manik mata Sasya yang berdiri di depannya.

"Gue tau lo mau nangis kan?" tanya El menebak.

Mendengar hal itu, Sasya mendelik sebal, ia memukul lengan El pelan, "Apaan sih? Orang gue nggak mau nangis," ujarnya dengan sebal.

El tidak menanggapi. Lelaki itu segera turun dari motornya dan menarik Sasya mendekat ke arah pantai. Ia tersenyum tipis menatap Sasya yang kini menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan.

"Lo bisa nangis di sini, gue bisa dengerin semua keluh kesah lo. Ayo duduk," ujar El pada gadis di depannya.

Sasya menggelengkan kepalanya pelan, "Dibilang gue nggak bakalan nangis!" serunya dengan tatapan sebal.

El menganggukkan kepalanya saja. Lantas lelaki itu membawa Sasya ke tempat yang lebih teduh. Ia mengajak Sasya untuk duduk di salah satu ayunan.

"Gue tahu, lo kena masalah di sekolah, kan?" tanya El pada Sasya yang kini menundukkan kepalanya dalam.

Sasya menghela napasnya panjang dan pada akhirnya menganggukkan kepalanya pelan. Gadis itu menatap lurus ke depan.

"Ya namanya juga hidup, kan? Pasti ada aja masalahnya," ujar Sasya bergumam pelan.

El menatap mata bulat gadis itu yang menahan tangis. Maka El segera mengangkat tangannya, ia usap pelan punggung gadis yang duduk di sampingnya.

"Jangan ditahan, keluarin aja tangisan yang lo tahan," ujar El dengan tatapan tulusnya.

Sasya menoleh ke arah El, dan perkataan El meruntuhkan pertahanannya sejak tadi. Sasya menangis terisak di tempatnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis terisak di sana. Mengeluarkan kesesakannya sejak tadi.

"Lo bisa keluarin semuanya di sini, Sya. Jangan ditahan, nanti hati lo bakalan sakit banget," ujar El pada Sasya.

Dan hanya dengan kalimat itu pun, Sasya semakin terisak keras. Dan ucapan-ucapan Papanya tadi benar-benar terus terbayang di otaknya. Sasya mengusap air matanya beberapa kali. Ia beranikan diri untuk menatap ke arah El yang kini menatapnya dengan penuh ketulusannya.

"Gue ... gue yang anak kandung Papa, El. Tapi kenapa dia malah bela anak tirinya?" tanya Sasya dengan suara serak.

Dan dari satu kalimat itu pun, El tahu apa yang membuat Sasya segitunya. Lelaki itu menarik tubuh Sasya mendekat. Ia rangkul bahu adik sahabatnya.

"Yang gangguin gue, yang mulai semuanya anak tiri dia, El. Bukan gue. Lo percaya kan sama gue? Dia jelek-jelekin Bunda, El, gue nggak terima. Gue nggak salah kan? Gue nggak salah kan El?" ujar Sasya dengan segenap isak tangisnya.

El menganggukkan kepalanya, ia usap bahu Sasya pelan, "Nggak salah, lo nggak salah. Gue percaya sama lo, nggak ada anak yang bisa diem aja waktu bundanya dijelek-jelekin kan?"

Sasya menganggukkan kepalanya, ia usap air matanya beberapa kali.

"Sstt, udah ya, jangan dipikirin lagi. Mau minum es kelapa?" tanya El sembari mengusap air mata Sasya yang terus turun.

Sasya terdiam, ia terpaku, menatap El dengan tatapan penuh terkejutnya. Keduanya sama-sama diam dan saling menatap.