webnovel

Bukan Papaku (2)

Gadis itu menurutinya, dan mendudukkan diri di depan Papanya.

"Apa?" tanya Sasya dengan nada malas.

Sosok di depannya berdehem, "Kamu bisa lebih sopan sedikit dengan Tere? Dia kakak kamu, Sasya. Dia bilang kamu nendang lututnya kencang. Dan disengaja."

Sasya mengepalkan kedua tangannya, ia terkekeh pelan, "Apa dia nggak lapor juga kalau dia bahkan sebelumnya pernah ngelakuin lebih dari apa yang aku lakuin?" tanya Sasya menatap sang Papa sinis.

"Dasar tukang cepu," desis Sasya selanjutnya.

Papa Sasya mendelik, lelaki paruh baya itu menggebrakkan meja, "Papa nggak pernah ajarin kamu ngelakuin hal yang nggak sopan kayak gi--"

"KAPAN PAPA NGAJARIN AKU?!" seru Sasya kencang.

Membuat sosok lelaki paruh baya di depannya tersentak kaget. Menatap putrinya dengan tatapan tak percaya.

"Sasya, saya Papa kamu, tolong bersikap seperti seorang anak ke ayahnya." Lelaki itu berujar begitu.

Sasya berdehem dan tersenyum sendu, "Sejak Papa ninggalin Bunda, sejak Papa ninggalin kami demi keluarga lain, kamu bukan Papaku. Bukan Papa Bang Arash juga," ujar gadis itu dengan suara sedikit bergetar.

Sosok itu menghela napasnya berat, ia memalingkan muka ke arah lain, tak ingin menatap wajah putrinya, "Papa ... papa nggak bisa hidup dengan wanita buta, Zara. Itu-itu bikin reputasi Papa hanc--"

"Papa egois kalau begitu. Dulu, Bunda yang ada sama Papa saat Papa masih mulai semuanya dari nol. Bunda yang nemenin Papa dihina, bunda yang belain Papa waktu Papa dicaci maki sama orang tua Papa karena papa dulu miskin."

Sasya mengepalkan tangannya. Semasa kecil, ia masih ingat itu semua. Tentang pengorbanan Bundanya yang membantu Papanya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya.

"Dan waktu papa sukses," Sasya berhenti sejenak untuk menetralkan suaranya yang terdengar parau, "Bunda jadi korban tabrak lari, dan buta, kenapa Papa pergi?" tanya Sasya lirih.

Satu tahun sebelumnya, ia tak berani mengungkapkan ini semua. Ia hanya bisa diam diam membenci Papanya. Sekarang .. tidak lagi.

"Sasya, kamu tau sendiri nenek kamu yang nyuruh papa menikah lagi," balas sang Papa, menatap sendu putrinya.

Sasya terkekeh, "kalau gitu kenapa Papa nurut?" tanyanya lirih.

"Pap--"

"Karena Papa anak yang berbakti, dan juga ... brengsek." Sasya menyela perkataan sang Papa.

Sosok lelaki paruh baya itu menghela napas, mengusap wajahnya kasar, "Iya, papa brengsek," katanya mengakui diri.

Sasya mengusap air matanya yang menggenang, "Tolong ingetin sama anak tiri kesayangan papa itu, tolong berhenti ganggu Sasya di sekolah. Sasya capek ngurusin jalang kaya dia."

Papa mendelik, "Jaga bicara kamu! Dia itu kakak kamu, harusnya kamu bisa sopan sedikit sama dia!"

Sasya tersenyum lebar, "Maaf ya, Tuan Saga, kalau begitu saya permisi."

Sasya hendak bangkit, namun suara Papanya membuatnya mengurungkan hal itu.

"Sasya, kalian makan dari mana?" tanya sang Papa pelan.

Sasya berdehem, "Bang Arash kerja. Kalau gitu permisi."

Lantas gadis itu tanpa kata segera bangkit dari duduknya, dan berlalu tanpa kata. Meninggalkan sang Papa dengan sejuta tanya di kepala. Sasya tak peduli, ia bersumpah dalam hati tak menemui lelaki itu lagi.

Demi Bundanya. Ia tak sudi menyebut sosok yang sudah menyakiti Bundanya itu dengan sebutan Papa.

Benar-benar tak sudi. Sekarang, Sasya akan mengenal Saga sebagai ayah dari seorang Tere, kakak kelasnya. Bukan Papanya.

***

Sasya menutup pintu kamar dan menguncinya, lantas melemparkan tasnya ke kasur. Gadis itu berdecak sebal, ia mengusap wajahnya dengan penuh kasar.

Matanya memerah, Sasya segera melemparkan diri ke kasur dengan posisi telungkup. Wajahnya ia benamkan ke bantal. Suara tangisannya teredam di sana.

"Sakit," gumam Sasya dengan suara yang teredam.

Gadis itu masih terus menangis dengan posisi seperti itu. Sasya bukan Sastra yang bisa sekuat itu. Sasya itu cengeng, lebih cengeng dari adik Naka yang menyebalkan. Cukup lama Sasya menangis di sana. Tanpa sadar kalau di luar kamarnya, Falisa benar-benar khawatir.

Ia memang tidak bisa melihat, tapi ia tahu langkah putrinya ke kamar tadi. Hanya saja, kenapa gadis itu langsung masuk? Tidak seperti biasanya yang menyapanya dulu atau berbicara sekedar basa basi.

Sebagai sosok seorang ibu, tentu saja Falisa khawatir. Namun, wanita paruh baya itu tak tahu kemana arah kamar Sasya.

"Sasya, itu kamu, sayang?" Maka mau tak mau Falisa memilih untuk berteriak dengan kencang.

Namun, suara Saysa tak kunjung menyahutinya. Wanita itu berteriak sekali lagi dengan nada yang penuh kekhawatiran. Tapi tak kunjung ada sahutan dari putrinya.

"Sasyaaa, kamu kenapa, Sayang?"

"Sasya kamu di mana, Nak? Kalau sudah di kamar tolong jawab Bunda! Bunda khawatir, sayang!" Seru Falisa sekali lagi.

Tapi tak ada. Semuanya terasa sunyi. Saking khawatirnya, wanita paruh baya itu sampai menangis di tempatnya duduk.

"Sasya, dimana?" gumamnya lirih.

Wanita itu tetap menangis, tak bisa berhenti karena Sasya tak kunjung menyahut juga. Sampai akhirnya sebuah suara mengkagetkannya.

"Bunda, kenapa nangis di sini? Bunda ada yang sakit?" Arash, lelaki itu menatap sang Bunda dengan penuh kekhawatirannya.

Falisa menoleh mengikuti sumber suara, "Tadi Sasya kayanya pulang, tapi ga nyapa Bunda. Lari terus masuk ke kamarnya. Bunda khawatir adik kamu kenapa-napa, Bang. Tolong di cek ke kamarnya."

Arash menganggukkan kepalanya cepat, "Iya, Bunda. Bunda jangan nangis di sini ya tolong. Arash cek ke kamarnya Sasya. Bunda tunggu, sebentar." Lantas setelah itu, tanpa mendengarkan jawaban sang Bunda, Arash segera berlari menuju kamar Sasya.

Yang sayangnya ... dikunci.

Arash menghela napasnya dengan berat, lelaki itu mengetuk pintu dengan penuh kekhawatiran. Namun Sasya tak kunjung juga keluar.

"Sasya, tolong keluar! Kamu kenapa? Sini cerita baik baik sama Abang." Arash berseru mencoba membujuk Sasya yang tak kunjung keluar juga.

"Sasya!" Seru Arash sekali lagi.

Dan Sasya tak kunjung keluar juga. Arash menarik napas panjang, lelaki itu kembali mengetuk pintu kamar Sasya dengan kuat.

"Sasya!" Seru Arash sekali lagi. Dan nihil, gadis itu tak kunjung keluar juga.

Puncaknya saat emosi Arash naik, "Sasya, keluar atau pintu kamu abang dobrak!" Serunya yang lebih ke arah membentak.

Dan saat itu juga, Sasya bersuara, memintanya untuk menunggu sebentar. Sampai satu menit kemudian, gadis itu membukakan pintu dengan muka bantalnya. Ia menatap Arash bingung.

"Kenapa, Abang? Sasya ketiduran," jawab Sasya pelan.

Arash menggeram sebal. Lelaki itu menatap Sasua tajam.

"Kalau Bunda panggil itu jawab! Jangan diem aja dan bikin Bunda khawatir!" bentak Arash kesal.

Sasya tersentak, gadis itu menoleh ke arah sang Bunda, "Bunda maaf, tadi ... tadi Sasya ngantuk banget jadi nggak sapa Bunda," jawabnya dengan pelan.

Arash menghela napasnya dengan kasar, "Bisa nggak sih nggak usah bikin Bunda khawatir?!" serunya dengan kesal.

"Abang udah, Bunda enggak apa-apa."