Jeana menyeringai puas mendengarkan pertanyaan dari Ammara. Sejak kemarin ia memang sudah menunggu Ammara untuk menghubungi dirinya kembali. Bukan untuk membahas terkait naskah tulisan. Melainkan tentang pembahasan yang tertunda saat pertemuan keduanya mereka.
Jujur saja, Jeana merasa sangat di untungkan dengan suasana ini. Ia bisa mengatur semuanya menjadi mudah.
Setelah tabrakan tanpa sengaja dengan Devan. Jeana mencari tahu banyak tentang pria itu.
Dan dari pencarian itu, Jeana akhirnya mengetahui jika Devan adalah seorang bisnisman yang sangat sukses dan juga suami dari Ammara--penulis yang di editori oleh Jeana sendiri.
"Aku punya caranya," jawab Jeana. Kemudian mulai menyampaikan apa yang harus Ammara lakukan.
"Apa!! Mana mungkin aku mau melakukan itu? Aku tidak bisa!" sahut Ammara, kesal. Lalu menutup sambungan telponnya dengan Jeana secara kasar.
Ammara mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Jeana memberikan solusi yang liar seperti itu. Mana mungkin ia akan berselingkuh dari Devan?
"Sudahlah, Van. Jika kamu tidak lagi merasakan kenikmatan bercinta dengan istrimu. Sebaiknya cari wanita lain. Suatu saat istrimu akan paham kok dengan sendirinya. Daripada kamu terus merasa frustasi seperti ini?" bisik Arnold, mulai menggoda Devan.
Devan menghela napasnya panjang. Ia mulai memikirkan semua ucapan Arnold. Tapi ia masih memungkiri itu. Menjalin hubungan dengan wanita lain adalah hal yang paling ia hindari selama ini setelah menikah dengan Ammara.
Bahkan sebelum menikahi istrinya itu, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah menduakan Ammara, meski dengan wanita malam sekalipun.
"Aku tidak bisa, Ar. Kamu tahu sendiri, jika aku sangat mencintai Ammara. Bagaimana mungkin aku tega melakukan hal itu padanya?" ucap Devan. Masih kekeuh dengan keputusannya untuk tidak mencari wanita lain demi memuaskan hasratnya.
Arnold diam seraya berpikir. Ia juga tidak mungkin terus memaksa Devan untuk melakukan hal itu. Karena ia tahu, jika Devan memang sangat mencintai Ammara. Begitupun dengan wanita itu.
"Apa kamu yakin jika cinta kamu bisa menang dari hasrat kamu?" tanya Arnold, menguji Devan.
Devan terdiam seribu bahasa. Sungguh, ia tidak yakin sama sekali. Hasratnya begitu menggebu, sementara Ammara tidak bisa memuaskannya.
Harus Devan akui, jika cinta saja tidak cukup untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi akankah ia menyerah dengan cintanya terhadap Ammara hanya karena ia yang tidak bisa merasakan kepuasan dari hasratnya?
"Sudahlah, jika kamu tidak memiliki jawaban apapun. Maka terima saja dengan keadaanmu saat ini. Aku ingin melihat, sejauh mana kamu bertahan dengan kata cintamu itu," ujar Arnold. Kemudian berlalu pergi dari ruangan Devan untuk menemui klien selanjutnya.
Devan mengacak rambutnya frustasi saat Arnold keluar dari ruangannya.
Beberapa saat kemudian, pikirannya malah terbawa pada kejadian saat dirinya tidak sengaja saling bersenggolan dengan Jeana hingga ia terjatuh di atas tubuh wanita itu.
"Ah! Aku lupa menanyakan nama wanita itu dan meminta maaf dengan benar," gumam Devan.
Entah mengapa, mengingat Jeana membuat tubuh Devan bereaksi. Tubuh Jeana yang seksi, bongkahan dadanya yang sintal dan menyembul keluar. Membuat Devan tidak bisa menahan pikirannya yang liar.
"Hah! Siapa wanita itu? Kenapa dia membuatku bereaksi seperti ini?" desah Devan, frustasi
Di sisi lain, Arnold kembali melanjutkan langkahnya menuju sebuah hotel. Ia datang untuk menemui kliennya sekaligus mencari kepuasan.
Arnold akui jika pekerjaanya saat ini begitu sangat menyenangkan. Ia bisa mendapatkan uang sekaligus kenikmatan. Meski saat bercinta, ia hanya membayangkan Ammara yang ada di bawahnya.
"Ah, shit! Kenapa Ammara malah kembali muncul dalam pikiranku sih ...," keluh Arnold. Lalu tanpa ia sadari, kakinya tidak jadi melangkah masuk ke dalam kamar hotel melainkan berbalik menuju rumah Devan dimana hanya ada Ammara seorang diri sekarang.
Arnold meyakini satu hal, jika Ammara juga pasti tidak merasakan kenikmatan saat bercinta dengan Devan. Oleh karena itu, ia berani untuk beranjak ke rumah wanita itu. Setidaknya, ia bisa merasa tenang ketika melihat wanita cantik itu.
Ammara duduk di depan laptopnya. Ia mulai berusaha untuk fokus menulis. Terlebih, saat ini ia sedang menulis adegan dewasa.
Satu kesenangan sendiri bagi Ammara. Setidaknya, ia masih bisa merasakan kenikmatan meski hanya dengan fantasi cerita novelnya sendiri. Ia juga tidak perlu merasa bersalah karena mengkhianati suaminya. Ia hanya berfantasi dengan tokoh novel prianya sendiri. Bukan tokoh pria yang asli.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan fantasi Ammara. Ia mengerang frustasi karena orang yang mengetuk pintu itu telah menghentikan kesenangannya.
Ammara berharap jika orang yang mengetuk pintu itu bukanlah Devan. Agar ia bisa leluasa untuk kesal pada siapapun itu.
Cklek~
"Hai!" sapa pria itu dengan ramah. Melambaikan tangannya pada Ammara.
"Arnold!" gumam Ammara. Lalu mempersilahkan Arnold untuk duduk di depan rumahnya.
"Mari duduk disana," ucap Ammara, seraya menunjuk salah satu kursi panjang uang tersedia di taman halaman rumah.
Arnold mengangguk, meski berusaha sekuat mungkin menepis rasa kecewanya. Ia berharap jika Ammara akan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Mereka berduaan dan mungkin saja akan terjadi hal yang di inginkan olehnya sejak lama.
"Ada apa kesini?" tanya Ammara, saat ia dan Arnold telah duduk dengan sempurna.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Arnold, basa-basi.
Sudah dua tahun lamanya ia tidak lagi menjalin komunikasi dengan Ammara. Ia hilang kontak dan fokus dengan pekerjaanya--melayani para wanita.
"Aku baik. Bagaimana denganmu? Dan ... Kemana kamu selama ini?" tanya Ammara, penasaran.
Ia tidak tahu sama sekali apa yang menyebabkan Arnold menghilang tanpa jejak begitu saja. Meski Arnold masih sering menghubungi Devan. Tapi beda halnya dengan Ammara. Arnold sama sekali memutuskan kontak dengannya.
"Aku baik. Aku juga di New York kok selama ini," jawab Arnold, santai.
Ammara terdiam seraya melirik sejenak ke arah Arnold. Pria itu semakin tampan saja.
Ah! Ammara segera menepis pikiran kotornya pada Arnold. Ia hanya ingin mengamati wajah Arnold sejenak karena pria itu sangat mirip dengan tokoh pria dalam cerita novelnya.
Arnold tidak sengaja menangkap ekor mata Ammara yang memperhatikan dirinya.
Ia pun menyeringai kemudian tanpa di duga mendekatkan tubuhnya pada Ammara. Membuat wanita itu terlonjak kaget fdan hampir saja jatuh ke belakang.
Untung saja Arnold dengan sigap menangkap tubuhnya. Tapi sialnya, kemudiannya malah semakin dekat. Dan Arnold kini mengungkung tubuhnya.
Wajah keduanya begitu dekat. Bahkan Ammara masih bisa merasakan hembusan napas yang keluar dari mulut wangi milik Arnold.
"Apa aku masih menjadi tokoh pria tampan itu dalam ceritamu?" tanya Arnold dengan suara yang menggoda.
Ammara meneguk salivanya kasar. Ia tidak tahu harus menjawab apa saat ini. Bahkan ia juga tidak bisa menolak tubuh Arnold yang semakin saja mengungkung tubuhnya dan memberikan sensasi yang berbeda pada dirinya.
Arnold tersenyum penuh makna saat Ammara tidak menjawab apapun. Ia menatap netra Ammara dengan lekat dan menyadari jika wanita itu sedang merindukan sentuhan yang lebih dari sekedar berpelukan.
"Apa kamu ingin bercinta denganku, Ammara?" tanya Arnold, sukses membuat Ammara tidak berkedip.