webnovel

SAHID : Death in Love

Sahid. Pemuda yang kehilangan cintanya, kemudian meninggal dengan mengenaskan sebagai seorang pecundang. sebut saja dia pria gila, hilang akal, bodoh, dan sebagainya. Tapi, ingatlah. Dalam hatinya masih ada cinta untuk sang kekasih. Sahara. Cinta yang membuatnya tetap hidup meskipun jiwanya tidak bernyawa. Membuatnya seperti anai-anai yang keberadaannya tidak diharapkan.

Sy_Vanilla · สมจริง
เรตติ้งไม่พอ
7 Chs

Hari yang Ditunggu

Setelah buku pertamanya terbit, Sahid pergi ke penerbit untuk mengambil cetakan pertama buku itu. Kemudian, ia membungkus buku itu dengan sangat rapi untuk diberikan kepada sang pujaan hati. Dengan tubuh yang sudah tidak bisa lagi berjalan tegak, ia berkali-kali terjatuh dan bangkit lagi. Wajahnya tak serupawan dulu. Matanya hitam dan berkantung. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya kurus kering dalam balutan kain tipis. Tidak menandakan kalau dia putra seorang bangsawan.

"Anda mau kemana?" tanya seorang kusir delman.

Sahid segera mengambil secarik kertas yang ada di saku kemejanya. "Tolong antarkan saya ke sini."

Sang kusir delman melihat kertas itu dan paham alamat yang dimaksud. "Mari masuk."

Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Terlebih ditambah terik matahari yang kian memanas. Sahid menutupi kepalanya dengan kain yang melekat di tubuhnya. Tubuhnya semakin lemas. Tapi, perjalanan masih sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke tempat tujuan. Batuknya semakin parah dan tidak terkendali. Napasnya juga sudah mulai sesak.

"Masih berapa lama lagi, Pak?" tanyanya dengan napas tersendak-sendak.

"Ini baru seperempat perjalanan. Kalau mau cepat naik taxi atau angkutan umum saja, pak. "

"Saya tidak punya uang."

"Kalau gitu ya, sabar."

"Aku ingin menyerah pada setiap takdir yang memisahkan kita. Aku telah menepati janjiku. Aku telah mewujudkan impianku. Aku telah membukukan puisi-puisiku dan akan kuberikan buku itu sebagai rasa cintaku. Suatu hari, jika terjadi sesuatu pada salah satu dari kita. Jangan pernah bilang kalau tuhan tidak adil. Anggap saja ini pemberian dan hadiah yang setiap saat bisa diambil kembali. Mungkin hari ini, tepatnya," Batin Sahid.

"Cepat... cepat... cepat, Pak. Saya sudah tidak punya banyak waktu lagi," lirih Sahid.

Sang kusir memacu kudanya dengan kecepatan maksimal. Sahid hanya bisa pasrah dengan tubuhnya yang semakin lemas dan dingin. Waktu berlalu dengan sendirinya. Matahari sudah berada di ufuk barat cakrawala. Senja kian menyingsir. Malam kian menghampiri. Sore itu, akan menjadi hari

terakhir baginya.

"Jika aku pergi dari dunia ini sebelum sempat melihat wajahmu. Kuharap kamu akan memaafkan. Hari ini, aku akan tenggelam bersama sang surya."

"Pak, bangun. Kita sudah sampai."