webnovel

Semua masih aman-aman saja

Panggil saja aku Naomi. Aku menikah sudah 2 tahun yang lalu. Pernikahan kami bukan paksaan juga bukan kemauan satu pihak akan tetapi karena kami saling mencintai.

semua berjalan normal, dia baik dan memperlakukanku juga baik. kami sangat menjaga satu sama lain, meski terkadang ketika emosi memang harus mengalah salah satunya.

suamiku bernama Mo-dain. dia sosok yang bertanggung jawab dan baik sekali. layaknya pasangan kekasih yang akhirnya menikah dengan cinta yang tulus. itulah kami, hari demi hari kami lalui dengan penuh cinta dan kasih sayang. Hingga suatu saat, aku menemukan chat sosok perempuan yang akupun tidak mengenalinya.

aku bukan tipe cemburuan atau protektif, akan tetapi setelah membaca message itu hatiku rapuh seketika.

" iya kalau dulu jadi, mungkin kita sudah punya anak".

Deg...siapa yang tidak kaget dan shock berat! aku bahkan hampir tidak percaya suamiku yang baik, bertanggung jawab dan tulus kudapati messagge yang membuatku seketika runtuh dan menangis tanpa henti. Jujur saat itu hatiku benar-benar teriris-iris, dan merasa apa selama ini aku kurang perhatian padannya? apakah aku kurang peduli dengannya? apakah aku kurang baik dimatanya? sehingga suamiku mencari perhatian orang lain? aku ini dianggap apa? aku terus berfikir dan membayangkan diluar nalar.

setelah kejadian itu, langsung ku todong pada suamiku.

"maksudnya apa chat dengan perempuan lain, dan berkata demikian?" tuntutku meminta keadilan!

"lagian ngapain baca-baca messaggeku" jawabnya singkat tanpa peduli perasaanku.

"loh apa salahku menanyakan,? kamu suamiku dan aku berkak atas itu! seruku tambah marah padanya.

Dia hanya menggelar dan masih tetap tidak merasa bersalah. Setelah kejadian itu, hubungan kami jadi sedikit tidak baik. bahkan aku tidak mau menyiapkan makan untuknya keesokan harinya. Diapun marah.

"buat apa punya isteri nggak mau masakin!"

sontak akupun marah " harusnya kalau hanya untuk masakin bukan cari isteri tapi cari aja pembantu". emosiku sudah tidak terkontrol. bagaimana aku bisa tetap tenang, pertama dia tidak meras bersalah dengan kelakukannya dan kedua, dia hanya mengaggapku seperti pembantu suara hatiku saat itu.