webnovel

2. Hari-hariku menangis

sejak kejadian kemaren, hari-hari selanjutnya aku tetap stay cool seperti layaknya seorang isteri yang tidak ada masalah apapun dengan suamiku. Hanya saja, perasaan itu sedikit hampar.

Tiap pagi aku tetap menyiapkan sarapan untuknya dan tetap mengurus anak kita dengan baik, meski percakapan kami hanya seperlunya dan aku berusaha menganggap hari kemaren adalah kejadian yang tak perlu kurisaukan.

" aku berangkat!" ucapnya pamit padaku.

"iya" dengan nada datar ku menjawabnya.

selepas dia pergi ke kantor, aku mulai meneteskan air mata. padahal sebelum dia pergi, aku masih mampu menahan untuk tidak terlihat cengeng dihadapannya.

" saat ini, akulah pemenangnya, karena Mo-dain sudah menjadi suamiku, terlepas aku memang tidak merebut apapun dari perempuan lain sebelum dia menikah denganku".batinku menenangkan sendiri.

Tapi itulah yang kurasakan, aku sudah terus berusaha tegar akan tetapi perasaan yang ku alami tidak mampu ku bohongi bahwa sakit, dan perih itu sedang menyelimuti hatiku.

Aku terus terbayang, bahwa suamiku Setega inikah denganku? apa salahku? bahkan dia tidak pernah mengatakan apapun. semua berjalan baik-baik saja setelah kami menikah 2 tahun lalu hingga saat kejadian hari kemaren membuat hari-hari yang kujalani sedikit suram dan gelap.

Sedih rasanya, terlebih aku merasa sangat bersalah pada Ayahku. Iya sebelum ayahku meninggal pernah mengatakan " kamu yakin akan menikah sekarang? S2 kamu bagaimana?" saat itu hanya ku jawab iya nanti yah, aku akan berusaha melanjutkannya.

Saat seperti ini, rasanya aku sangat bersalah karena dulu lebih memilih menikah bukan melanjutkan sekolah lagi. Tapi, lagi-lagi aku tak mau berlarut dalam kesedihan. Aku harus mengurusi anakku.

Motivasi terbesarku saat ini hanyalah dia. iya anak pertamaku. Aku masih sadar, bahwa apapun yang terjadi antara aku dan ayahnya dia tidak seharusnya menjadi korban pelampiasannya. Aku harus tetap tenang dan tidak boleh emosi meski apa yang kurasakan saat ini adalah antara sedih membayangkan kejadian kemaren dan harus tetap berusaha tegar merawat anakku agar tumbuh sehat fisik maupun psikis, meski aku sendiri sedang rapuh.

Memang beberapa hari setelah pertengkaran dengan suamiku, aku tidak pernah baca-baca messagge dia apalagi membuka hpnya. Jujur antara takut akan membuat masalah lagi tapi takut juga ternyata suami mencintai yang lain. lalu "untuk apa aku disini? jika, raganya di sampingku, tetapi jiwannya ada pada perempuan lain?".

Situasi ini kualami selama kurang lebih 5 hari. Aku mencoba tegar dihadapannya, akan tetapi menangis meronta saat dia pergi bekerja. satu hal yang bisa kulakukan saat ini hanyalah pasrah, karena mencoba untuk komunikasi tanggapan dia seakan aku mencari perkara padanya.

" Pasangan itu bukan milik kita, akan tetapi dia titipan. Maka titipkanlah pada pemiliknya". kata-kata ini penyemangat hidupku juga. karena sudah saatnya aku bangkit, berhenti menangis setiap hari dan percayakan pada Tuhan bahwa Dialah pemilik suamiku dan aku hanya di titipkannya untuk menjaganya.

Aku rasa, selama ini aku sudah berusaha menjadi isteri yang baik untuknya, menyiapkan segala keperluannya, menyelesaikan pekerjaan rumah dan bahkan dia tidak pernah mengatakan apapun padaku. semua berjalan normal, dan ketika ku tanya "kenapa kamu melakukan itu?" kenapa komunikasi dengan perempuan lain?" dia hanya menjawab teman lama dan menyambung silatuhmi saja.

Ahhh...aku tak tau lagi, apakah dia benar-benar hanya menjalin komunikasi pertemanan atau memang ada sesuatu dibalik semua ini?