Jakarta
Karina POV
Aku membaca undangan yang baru saja diberikan Juan kepadaku.
"Nanti aku jemput kamu dari paviliun ke hotelnya."
"Tidak usah dijemput." Ya, aku tidak mungkin menolak. "Kamu pasti sibuk terima tamu juga, kan? Aku akan pergi dengan bridesmaid yang lain."
"Kalau aku yang jemput kalian, kamu kan jadi tidak perlu jadi sopir mereka."
"Aku bisa ke sana dengan sopir."
"Jadi.... Juna nanti juga akan datang?"
Aku mengangkat kepala dari undangan yang sedang kubaca. Aku tidak menduga Juan akan memilih topik itu untuk mengalihkan percakapan.
"Iya," jawabku sambil meletakkan undangan yang kupegang ke atas meja.
"Kalau hubungan kalian hanya sekedar teman, terus kenapa dia sering datang ke Lombok hanya untuk menemuimu?"
"Aku lebih suka tidak membicarakan dia." Aku memilih tidak menjawab hal yang aku tidak tahu. "Yang pasti, aku hanya menganggapnya sebagai seorang teman."
"Itu terlalu banyak untuk ukuran teman, Rin."
"Kamu mau minum apa?" Aku sengaja mengalihkan percakapan.
"Teh panas saja." Syukurlah, akhirnya Juan mengerti keenggananku membahas tentang Juna.
***
Untold Story (Serena-Jhonny)
Author POV
Berbulan-bulan lamanya sebelum ini, hasratnya untuk secepat mungkin bercerai dari Jhonny begitu besar bahkan begitu menggebu-gebu dan kemudian menghirup sepuas-puasnya kebebasan yang didambakannya untuk menikmati kesendiriannya sebagai seorang wanita yang otonom dan memiliki hidupnya sendiri. Tetapi sekarang tatkala hasil musyawarah keluarga menyatakan persetujuan mereka terhadap keinginannya maupun keinginan Jhonny untuk sesegera mungkin bercerai, tiba-tiba saja hati Serena merasa tak enak. Bahkan ada semacam rasa kehilangan yang mulai timbul-tenggelam di dalam hatinya. Meskipun perasaan semacam itu dipaksakan agar menyingkir jauhjauh dari lubuk batinnya dan bahkan ia juga tak mau mengakuinya, namun selalu dan selalu saja perasaan itu datang mengganggunya. Hanya karena kekerasan hati dan tekadnya sajalah yang memberi kekuatan ekstra padanya untuk meyakini bahwa keputusannya bercerai dari Jhonny itu adalah suatu keputusan yang tepat.
Kini sambil berjalan menuju kamarnya, Serena bertanya-tanya sendiri dalam lubuk batinnya yang masih saja terasa tak enak itu. Bagaimanakah kira-kira perasaan Jhony sekarang sesudah perceraian berada di ambang pintu? Senangkah hatinya? Legakah perasaannya, ataukah ada rasa tak enak sebagaimana dirasakannya saat ini? Serena tak bisa menduganya.
Sebab begitu musyawarah keluarga tadi bubar, Jhonny langsung menghilang dengan mobilnya, entah ke mana. Sedangkan Serena sendiri pun lalu pamit pulang kepada kedua orangtuanya sendiri maupun kepada orangtua Jhonny. la tak ingin melihat wajah-wajah yang murung di belakangnya.
Sebenarnya untuk sampai kepada keputusan keluarga yang dengan terpaksa menyetujui perceraian antara Serena dengan Jhonny itu, tidaklah mudah. Prosesnya panjang sebab kedua belah pihak keluarga sama-sama berusaha mati-matian mencegah agar jangan sampai perceraian yang diinginkan oleh anak-anak mereka itu terjadi. Terutama dari pihak orangtua Serena yang berlatar belakang dunia pendidikan itu. Ketika beberapa bulan sebelum ini Serena datang kepada mereka dan mengeluhkan persoalannya dengan Jhonny, dan mengemukakan keinginannya bercerai dari suaminya itu pada pertama kalinya, kedua orangtuanya sangat terkejut.
"Serena, kalau alasan kalian untuk bercerai itu hanya karena merasa tidak cocok satu sama lainnya dan tidak dapat lagi seiring da sejalan, kenapa masalah itu baru dipersoalkan sekarang, sesudah kalian menikah? Kenapa tidak dulu-dulu?" tanya tantenya yang tak bisa mengerti kemauan keponakannya itu.
"Ya, Uncle juga merasa heran," sambung omnya. "Sebab selama ini Uncle lihat kalian bisa berjalan seiring-setujuan dan cukup memiliki kemauan untuk saling menenggang rasa. Apakah alasan itu bukan hanya sekadar alasan yang dicari-cari saja?"
"Bukan, Uncle!" Serena menjawab mantap. "Apa yang tampak di permukaan seolah kami berdua begitu rukun dan mampu bergendengan tangan mengarungi jalur kehidupan ini bersama-sama, adalah karena demi anak. Alasan lain, Jhonny belum menempati kedudukan dan posisi penting sebagaimana yang sekarang dipegangnya di tempat pekerjaannya."
"Apa kaitannya dengan soal pekerjaan Jhonny itu, Serena?" tanya omnya tak mengerti.
"Kaitannya, dulu sebelum dia menduduki jabatan penting, kami masih belum banyak menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kami," sahut Serena. "Sehingga tentu saja kami belum melihat adanya sekian banyaknya ketidakcocokan di antara kami berdua!"
"Ketidakcocokan kalian itu apa saja sih, Ren?" tanya tantenya menyela.
"Coba kau jelaskan supaya Ucnle dan Aunty mempunyai sedikit gambaran mengenai kehidupan pernikahan kalian itu. Sebab kami berdua sungguh tidak pernah melihatnya. Kami bahkan mengira semuanya baik-baik saja."
"Wah, banyak sekali Aunty!" sahut Serena cepat. "Kalau ditulis pasti panjang sekali daftarnya."
"Ya, tetapi banyaknya itu seberapa?" sekarang omnya lagi yang bersuara. Kedengarannya begitu sabar. Tetapi orang tahu, dari suaranya yang bernada tegas, jelas sekali tertangkap bahwa ia ingin mendengar suatu jawaban yang masuk akal dan jujur. "Sebab Ren, kalau memang daftarnya panjang, tentunya kau bisa menyebutnya dengan jelas dan menceritakan kepada kami berdua sehingga kami bisa melihat persoalan yang kalian hadapi itu secara lebih baik!"
Wajah Serena tampak kesal dan meronai kemurungannya semula. la enggan berpanjang-panjang kata di hadapan kedua wali orangtuanya. Pasti akan ada sekian banyaknya bantahan dan sekian banyaknya pula saran atau nasihat.
tantenya melihat perubahan air muka Serena. Dengan cepat ia menyela bicara suaminya.
"Ren," katanya sigap, "kami tahu kau itu sudah dewasa dan sudah berumah tangga. Kamu mempunyai persoalanmu sendiri dan urusan rumah tanggamu adalah urusanmu sendiri pula. Tetapi karena kamu tadi mengeluh dan meminta pendapat kami, tentu saja sebagai orangtua kami berdua ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tanggamu lebih dulu sebelum kami memberi pendapat."
"Auntymu benar," sambung omnya lagi. "Sebagai orangtua, kami wajib memberi pengarahan yang baik. Tetapi untuk itu, kami juga memerlukan segala informasi lebih dulu agar bisa melihat persoalanmu secara objektif. Bagaimana pun juga, kami jelas mempunyai lebih banyak pengalaman dibanding dengan dirimu!"
Serena mengeluh dalam hatinya. la sadar, tak mungkin menghindar dari kedua wali orangtuanya yang selalu bersikap adil dan bijaksana dalam menghadapi persoalan apa pun itu. Karenanya sesudah melirik sebentar ke arah omnya, ia mulai menata pikirannya dan mencoba menjawab apa-apa yang ingin diketahui oleh kedua orangtuanya itu.
"Yah, pertama Uncle, Jhonny tak membolehkanku bekerja di luar rumah. Sebab katanya, tempat seorang istri adalah di dalam rumah tangga menjadi seorang pendamping suami yang baik dan seorang ibu yang baik," katanya kemudian. "Memang apa yang dikatakan oleh Jhonny itu baik. Tetapi tugas seorang istri sebagai sesama makhluk yang kebetulan berjenis wanita, kan bukan hanya itu saja. Seorang ibu rumah tangga juga seorang warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. la juga harus bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi sesama manusia. Apalagi aku kan seorang sarjana. Buat apa aku dulu sekolah dengan susah-payah kalau ijasahnya cuma disediakan buat makanan rayap bukan? Lagi pula keinginanku untuk bekerja itu kan munculnya sekarang sesudah anak-anak cukup besar dan tidak terlalu memerlukan pengawasan khusus sebagaimana ketika mereka dulu masih kecil."
"Hmm, begitu...." Om Serena menjawab tanpa memandang ke arah mata anak perempuannya itu. "Lalu apa alasanmu yang kedua, Serena?"
Wajah lelaki paruh baya itu tidak menampilkan perasaannya. Bahkan kata-kata Serena mengenai masa depan pribadinya itu pun tak diperhatikannya. Tampaknya ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin sedang mengatur kata-kata apa yang akan dilontarkannya kepada Serena nanti.
"Yang kedua, ternyata kami berdua mempunyai perbedaan-perbedaan prinsip yang justru paling pokok. Aku... "
"Nanti dulu," Omnya memotong bicara Serena. "Sebelum kamu lanjutkan bicaramu itu, coba jelaskan lebih dulu kepada Uncle, apa saja perbedaan-perbedaan prinsip sebagaimana yang kamu katakan itu."
"Yah, misalnya dalam hal memandang pernikahan. Dari caranya bicara dan dari sikapnya, kelihatan sekali bahwa Jhonny itu menganggap pernikahan sebagai ikatan yang penuh dengan aturan-aturan tak tertulis. Padahal menurutku, pernikahan adalah suatu wadah untuk diisi dengan hal-hal yang dapat membahagiakan semua pihak. Siapa pun yang ada di dalamnya, baik itu istri, suami, atau anak-anak mereka, berhak untuk memiliki dirinya sendiri dan mengembangkan potensinya, bakat-bakatnya, dan seterusnya tanpa kehilangan kemandiriannya sebagai seorang pribadi yang otonom."
"Serena, apakah penilaianmu terhadapnya itu berdasarkan pemikiran yang objektif?" sahut omnya dalam nada teguran. "Dan bukannya bersifat subjektif karena kamu sedang jengkel kepadanya?"
"Penilaian ini objektif, Uncle. Jhonny memang egoistis dan tidak bisa memahami kebutuhan orang lain. Bukan hanya dia sendiri yang membutuhkan pengembangan diri dalam merealisasikan potensi- potensinya. Buat apa aku dulu susah-susah sekolah tinggi kalau hanya untuk tinggal di rumah menjadi seorang istri yang harus selalu siap melayani segala kebutuhan suaminya!" sahut Serena dengan suara di hidung.
"Serena, itu penilaianmu sudah tak objektif lagi," sahut tantenya menyela. "Kamu jangan melihat Jhonny dari satu sisi saja. Mawas dirilah lebih dulu sebelum kamu menilainya. Ingat juga kebaikan-kebaikan dan pengorbanan yang pernah diberikannya kepadamu. Ibu saja masih belum bisa melupakan betapa tekun dan sabarnya dia dulu dalam hal mendorong studimu yang nyaris tersendat-sendat justru ketika hampir mencapai batas akhir. Cukup banyak andil yang diberikannya kepadamu dalam hal keberhasilanmu menjadi sarjana itu, Serena!"
Mendengar kata-kata ibunya, Serena terdiam.
***
"Tunggulah sampai anak-anak duduk di bangku SD dulu," kata Jhonny kepadanya. "Sebagai seorang ibu, kamu bertugas dan berkewajiban untuk mendidik dan membekali mereka dengan keutamaan-keutamaan yang akan menjadikan anak-anak kita kelak menjadi warga masyarakat yang potensial dan bertanggung jawab sebagai seorang pribadi yang matang dan mantap. Dan itu tidak mudah, Ren. Dengan demikian, tugasmu itu adalah tugas yang mulia dan luhur!"
Serena mengakui kebenaran kata-kata suaminya itu. Tetapi ia tidak menyetujui pendapat Jhonny mengenai tugas tunggalnya itu. Untuk menghantar anak-anaknya ke gerbang kehidupan yang lebih luas, seorang ibu tidak harus tinggal di rumah semata-mata. la boleh keluar rumah untuk bekerja dan merealisasikan dirinya sendiri sambil memenuhi kewajibannya untuk mendidik anak-anaknya dan membekali mereka dengan keutamaan- keutamaan. Maka apa yang dipikirkan olehnya itu dikatakannya secara terus-terang.
"Kamu benar" katanya waktu itu. "Tetapi berapa banyak ibu-ibu yang tetap tinggal di rumah semata-mata tetapi toh tetap gagal mendidik anak-anaknya. Dan sebaliknya, berapa banyak pula ibu-ibu yang kelihatannya sibuk di luar rumah tetapi pada kenyataannya berhasil menelorkan tunas-tunas bangsa yang hebat-hebat dan membanggakan orang banyak? Jadi, kukira bukan banyaknya waktu yang dipakai oleh seorang ibu untuk hadir di dekat anak-anaknya tetapi kualitas kedekatan itulah yang lebih penting. Percayalah kepadaku!"
Tetapi Jhonny tetap pada pendiriannya. Maka meskipun hatinya mendongkol karena kekeraskepalaan suaminya itu, Serena terpaksa menekan hasratnya untuk memprotesnya demi menciptakan kedamaian di dalam rumah tangganya. Maka kehihdupan pun berjalan dengan tenang tanpa letupan-letupan hati itu mencuat keluar. Tetapi tatkala Jhonny berhasil menyelesaikan studinya dalam program sarjana strata dua MBA-nya, hati Serena mulai terganggu kembali. Lebih-lebih tatkala sesudah itu jenjang karier suaminya semakin menanjak. la merasa hal itu tidak adil baginya. Dirinya seperti terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang tak kelihatan namun terasakan. Bahkan lama-kelamaan ia juga merasa telah dianggap sebagai pengasuh anak belaka bahkan sebagai penunggu rumah. Jhonny sibuk dengan dirinya sendiri dan seperti tak mau tahu bagaimana perasaan istrinya akhir-akhir ini. Maka terpaksalah Serena mengajukan lagi keinginan untuk bekerja dan meniti kariernya sendiri. Tetapi apa tanggapan Jhonny? Masih tetap sama seperti sebelumnya!
"Untuk apa kamu bekerja, Serena?" begitu lelaki itu menanggapi kata-kata Serena ketika itu. "Aku sudah mencukupi segala kebutuhan keluarga. Bahkan sudah berlebihan."
"Orang bekerja itu bukan melulu untuk mencari nafkah penghidupan belaka. Kamu kan tahu sendiri bahwa kebutuhan manusia itu bukan hanya pangan dan sandang saja, tetapi banyak sekali. Antara lain adalah kebutuhan untuk merealisasikan diri, untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya demi perkembangan dirinya sebagai seorang manusia yang dinamis!" sahut Serena. "Jadi, berilah kesempatan bagiku untuk mengembangkan diriku!"
"Berkembang bisa dengan pelbagai macam kegiatan, Serena. Bukan harus dengan bekerja di kantor atau di luar rumah!" bantah Jhonny pendek.
"Aku tahu itu. Tetapi kan setiap orang tidak sama jalannya. Aku sudah mempunyai jalur sendiri yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang kuraih sebagai sarjana hukum. Dalam hatiku, aku ingin melanjutkan ke notariat kalau otakku masih mampu. Atau setidaknya ya bekerja yang sesuai dengan bidang keahlianku!"
"Sudah berapa kali kukatakan Serena, tunggulah atau tundalah rencanamu itu sampai Nuri dan Nando duduk di SD. "
"Dan pada saat lamaranku kelak ditolak oleh kantor- kantor karena umurku sudah tidak masuk ke dalam golongan usia produktif?" Serena memotong perkataan Jhonny dengan sengit. "lya?"
"Serena, kalau kamu memang ingin berkembang dan mengamalkan tenaga dan pikiranmu dan barangkali juga dapat pula memakai ilmumu, aktiflah di dalam Dharma Wanita. Apalagi sebentar lagi aku akan diangkat untuk menempati suatu kedudukan yang lebih penting, di kantor," Jhonny masih tak mau mendengar pendapat istrinya.
Serena menarik napas panjang. Aktif di dalam Dharma Wanita memang merupakan undang-undang tak tertulis yang harus dipatuhi demi karier suaminya. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa sepak terjang sang istri mempunyai pengaruh bagi perjalanan karier sang suami. Mau tak mau, Serena juga ikut terseret di tempat itu. Sebab bagaimana pun juga, sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, ia tidak bermaksud sedikit pun untuk menjadi batu sandungan bagi perjalanan karier Jhonny. Bahkan ia selalu berharap suaminya akan selalu sukses. Bukan saja demi menambah kesejahteraan keluarga, tetapi juga demi kepuasan batin Jhonny.
Namun di samping keaktifannya di Dharma Wanita yang terpaksa harus digelutinya itu, Serena masih tetap menyimpan hasratnya untuk mengembangkan diri di dalam dunianya sendiri, bukan dunia yang digelarkan oleh Jhonny karena kedudukannya di kantor yang sudah termasuk tinggi itu. Dengan diam-diam ia tetap mengirimkan lamarannya satu demi satu. Jhonny tidak pernah mengetahuinya. Tetapi sialnya, lelaki itu mengetahui kegiatan istrinya itu justru ketika salah satu dari surat lamaran kerja Serena dijawab oleh suatu perusahaan besar untuk menduduki jabatan sebagai kepala personalia. Serena ditunggu untuk menjalani serangkaian wawancara. Dengan gembira, ia mulai menyibukkan diri untuk memenuhi panggilan itu. Dan Jhonny yang memergoki surat jawaban dari perusahaan itu menjadi marah.
"Kamu tak usah datang ke sana!" katanya. Nada suaranya yang terdengar memerintah membuat darah Serena teraduk.
"Aku akan ke sana, dengan atau tanpa persetujuanmu!" sahut Serena tak kalah tegasnya. "Bagaimana pun juga, aku ingin mengetahui kemampuanku. Sebab aku toh masih harus bersaing dengan dua atau tiga pelamar lainnya. Jadi, belum tentu aku yang diterima. Masih ada beberapa wawancara babak penyisihan yang menentukan. Aku ingin mencoba sampai di mana penilaian orang terhadap diriku."
"Tidak, Serena. Kamu tak boleh ke sana. Aku mempunyai perasaan bahwa kamu akan diterima!"
"Aku akan mencoba ke sana. Sudah kukatakan tadi, tanpa atau dengan persetujuanmu!"
"Tidak. Kamu harus mendengar kata-kataku, Serena!" Jhonny berkata dengan nada tegas dan sikap berwibawa, setegas dan sewibawa jika ia sedang memimpin rapat di kantor. "Selama kamu masih menjadi istriku, aku mempunyai hak untuk mengatakan apa yang lebih baik bagimu!"
"Bagimu, atau bagiku?" Serena mulai mendengus. "Kamu tak adil. Ini persoalanku tetapi kamu memandangnya dari sudut pandanganmu sendiri! Dan tentu juga dari sudut kepentinganmu!"
"Ini demi anak-anak kita dan demi kita semua juga. Belum saatnya kau meniti karier!"
"Apa pun katamu, pokoknya aku akan pergi!"
Jhonny menanggapi kata-kata Serena dengan merebut surat panggilan yang sedang dipegang oleh Serena dan menyobek-nyobeknya hingga menjadi potongan kecil- kecil, sampai Serena menangis. Tampaknya memang tidak ada titik temu di antara mereka sehingga perdebatan demi perdebatan menjadi warna komunikasi di antara keduanya. Bahkan akhirnya juga merembet menjadi pertengkaran demi pertengkaran. Dan kemudian sering kali terjadi pertengkaran-pertengkaran, IaIu menjadi gerakan tutup mulut yang berlangsung sampai berhari- hari lamanya. Dan akhirnya perang dingin pun berlanjut sampai ke dalam kamar tidur mereka.
Namun sampai sejauh itu, Jhonny seperti tak tergoyahkan sehingga tak jarang dalam menghadapi sikap Jhonny yang seperti itu, Serena bersikap menantang. la sudah tidak tahan lagi menahan perasaannya yang tertekan. la merasa, fungsinya di dalam rumah tangga mereka selama ini hanyalah sebagai objek pelengkap kepentingan keluarga. Melayani dan merawat anak, memenuhi segala kebutuhan suami, menyenangkan suami dan seluruh isi rumah, dan bahkan belakangan ini juga melayani orang banyak demi menunjang karier suaminya. Di dalam segala kegiatan semacam itu, akhirnya Serena juga merasa telah kehilangan dirinya sendiri sebagai subjek yang mandiri. Rasanya, dirinya seperti terkekang tanpa mampu merealisasikan dirinya, tanpa bisa mengaktualisasikan segala potensi yang ada pada dirinya dan keutuhan dirinya sebagai seorang pribadi tercuil, tak utuh lagi. la merasa dirinya bukanlah miliknya sendiri melainkan milik Jhonny, milik anak- anaknya, milik rumah tangganya, dan milik masyarakat setempat dalam lingkup organisasinya di Dharma Wanita. Dan pada saat ia sudah tiba di puncak kejenuhan dan ketakberdayaannya, muncullah pemberontakan jiwanya. la tak lagi dapat melayani kehidupan yang tak sesuai dengan panggilan jiwanya. Beberapa kali ia mogok datang ke suatu rapat Dharma Wanita setempat.
Tentu saja, Jhonny marah. la tidak bisa menerima sikap Serena yang sedang melaksanakan aksi mogoknya itu.
"Mana rasa tanggung jawabmu, Serena?" tegurnya. "Kamu kan sudah oke menjadi ketua urusan bidang sosial. Kenapa sekarang tiba-tiba mogok hanya karena alasan tatanan birokrasi yang sudah kau ketahui bagaimana sistem kerjanya itu? Konsekuen dong Ren. Jangan IaIu meninggalkannya begitu saja seperti orang yang tak tahu berorganisasi!"
"Aku tidak suka dipilih. Hal itu sudah kukatakan dengan terus-terang di depan forum. Tetapi mereka mendesakku. Menolak dianggap tidak pada tempatnya karena sudah jamaknyalah demikian. Seorang suami menempati suatu jabatan, otomatis dan secara fungsional istrinya juga mendapat jabatan di Dharma Wanita. Dan konon demi kariermu, aku harus mau menerimanya. Suka ataupun tidak," gerutu Serena.
"Apa pun alasannya, kalau kamu sudah menerimanya entah dengan terpaksa entah tidak, kamu harus melaksanakan tugas-tugasmu dengan sepenuh rasa tanggung jawabmu. Tidak bisa tidak. Sebab, itu menyangkut orang banyak. Salah satu dari keseluruhan struktur organisasi pincang, akan kacaulah jadinya," Jhonny juga menggerutu. "Masa kamu tak tahu!"
"Aku tahu. Dan aku juga tak mengelakkan dari tanggung jawab yang ada di pundakku. Tetapi batinku ini terus-menerus memberontak. Aku merasa tersiksa karenanya. Kadang-kadang muak rasanya melihat hal- hal yang lewat dari jalur yang semestinya!"
"Lewat dari jalur yang semestinya itu bagaimana, Ren?" Jhonny menyela dengan nada tak senang.
"Yah seperti yang terjadi beberapa hari yang IaIu itu misalnya," sahut Serena dengan suara yang juga memperdengarkan ketidaksenangan hatinya itu. "Masa Ibu Ketua enak saja memerintah orang mentang-mentang orang itu bawahan suaminya. Ke mana sih pikirannya? Yang jadi bos di kantor itu kan suaminya, bukan dia. Kalau perintah itu masih ada kaitannya dengan organisasi, barangkali aku masih bisa melihatnya meskipun hatiku tak setuju. Tetapi, kalau itu untuk urusan pribadinya? Keterlaluan itu namanya, Mas. muak aku melihatnya!"
"Asalkan kamu tidak ikut-ikutan bersikap demikian, itu sudah cukup, Ren," sahut Jhonny dengan sikap tenang dan acuh tak acuh. "Biar sajalah mereka mau bersikap apa, kita kan tidak menjadi rugi karenanya!"
"Eh, siapa yang bilang tidak rugi?" Serena menyela bicara Jhonny dengan sengit. "Harga diriku sebagai seorang wanita ikut terlukai kok dikatakan tidak rugi sih?"
"Apa kaitannya dengan harga dirimu sebagai seorang wanita?" Jhonny menyela lagi.
"Sikap seperti Ibu Ketua itu mencuil kemandirian sebagai seorang manusia. Sebab di balik kekuasaan yang diperlihatkannya itu sebenarnya ia secara tidak sadar atau mungkin juga dengan sadar, menunjukkan suatu kekaburan identitasnya sebagai seorang pribadi yang otonom. Karena sesungguhnya mereka itu membonceng kedudukan, kekuasaan, dan identitas yang jelas dari sang suami. Atau dengan kata lain, identitasnya diletakkannya kepada identitas suaminya. Nah, kenyataan semacam itu jelas merugikanku sebagai sesama wanita maupun sebagai sesama aktivis organisasi. Nanti dikira orang seluruh pengurus Dharma Wanita setempat ini, juga seperti itu. Bukankah itu merugikan? Seolah, kaum wanita hanya bisa kelihatan menonjol dengan cara meminjam taring suaminya. Sebab menurut pendapatku, semesra dan secinta apa pun sepasang suami istri, mereka berdua bukanlah satu identitas sebagai satu pribadi. Mereka tetap dua orang pribadi yang masing-masing bisa dan boleh berkembang sesuai dengan gerak jiwa mereka sendiri. Dan cinta serta kemesraan hendaknya menyatukan mereka dalam satu wadah yang saling melengkapi, saling menunjang. Kan begitu!"
"Kamu terlalu idealis, Ren!" gerutu Jhonny.
"Dan kamu terlalu menganggap enteng pernasalahanku dan tak mau memikirkan kebutuhan seorang wanita... dalam hal ini diriku... bahwa aku juga ingin keberadaanku sebagai seorang manusia berjenis wanita mendapat tempat yang semestinya!" Serena menjawab dengan sigap. "Tidakkah kamu sadari bahwa seorang wanita... termasuk diriku, juga ingin memperlihatkan siapa diriku yang sesungguhnya, yang tidak berada di bawah bayanganmu. Bahwa seorang istri atau seorang ibu betapa pun suksesnya di dalam rumah tangganya, ia juga ingin melakukan sesuatu yang lain, yang milik dirinya sendiri!"
Kalau perdebatan sudah semakin jauh dan semakin menukik ke dalam seperti itu, pertengkaran pun mendekat. Dan Serena merasa semakin disudutkan karena dengan mahirnya Jhonny selalu menghadapkan Serena kepada kodratnya sebagai seorang ibu. Sulit bagi Serena untuk melepaskan diri dari jaring-jaring yang ditebarkan oleh Jhonny. Dan sulit pula baginya untuk menerima dengan ikhlas adanya perbedaan-perbedaan prinsip hidup mereka. Tidak ada titik temu di antara hati mereka berdua. Bahkan perbedaan-perbedaan itu semakin menjauh dan semakin banyaknya tugas dan kewajiban yang diletakkan oleh kantor ke atas pundak Jhonny. Jhonny membutuhkan kehadiran Serena sebagai pendamping kesuksesannya, baik di rumah maupun di kantor. Dan Serena merasa dirinya semakin berada di bawah bayang- bayang suaminya. Orang mengenalnya bukan karena
dirinya sendiri melainkan sebagai istri Jhonny yang sukses. Peran yang terlihat di dalam masyarakat bukanlah peran yang diciptakannya sendiri melainkan peran yang disandangkan orang dengan mengaitkan keberadaan Jhonny.
Keadaan semacam itu lama-kelamaan menimbulkan borok yang tak sembuh-sembuh di dalam hati Serena. Rasa tak puas, rasa kecewa, rasa tak dihargai, dan rasa tak memiliki kejelasan identitas, terasa melukainya. Semakin lama semakin menganga. Beban batinnya juga semakin lama semakin berat terasakan. Jiwanya merasa tertekan. Hubungan manis dan mesra yang kadang-kadang masih mewarnai relasinya dengan Jhonny, semakin lama semakin luntur. Perannya sebagai istri maupun sebagai salah seorang pengurus Dharma Wanita setempat dijalankannya dengan hati terpaksa. Kadang-kadang, ia merasa seperti seorang narapidana yang sedang berjalan ke arah tiang gantungan dan keutuhan identitasnya sedang dicuil dan dipotong sedikit demi sedikit oleh algojo tanpa ia mempunyai kesalahan apa pun.
Akibat yang paling berat adalah tumbuhnya kebencian dalam hati Serena terhadap Jhonny yang semakin lama semakin menumpuk. Kebencian yang disebabkan karena Jhonnylah yang telah membuat Serena terpaksa harus menjalani kehidupan yang tak sesuai dengan gerak alunan jiwanya. Bahkan juga dengan hati nuraninya. Tidaklah mudah baginya untuk tetap tutup mulut apabila melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Juga tidaklah mudah baginya untuk tetap bersikap tenang apabila melihat suatu 'kebijaksanaan' dilaksanakan dengan cara yang bertolak belakang dengan istilah kebijaksanaan itu sendiri. Entah seberapa banyaknya waktu, tenaga, pikiran, dan materi yang diboroskan orang tanpa mengenai sasaran yang seharusnya hanya gara-gara 'kebijaksanaan' yang tidak bijaksana itu.
Memang benar, ada cukup banyak hal positif yang memenuhi sasaran sesuai dengan program kerja mereka. Tetapi seberapa banyak sebenarnya di antara mereka itu yang sungguh-sungguh bekerja secara tulus hati dan murni karena dorongan hati untuk berkarya bagi sesama dan masyarakat? Serena sering melihat, yang digarisbawahi oleh mereka itu adalah pencapaian sasaran yang tidak murni karena bukan dilandasi oleh prestasi atas kemampuan mereka sendiri melainkan karena ditunjang oleh jabatan yang dipegang oleh suaminya dan koneksi-koneksi sang suami karena kedudukan yang memungkinkannya untuk bisa ber 'bla bla bla'.
Pernah Serena bersitegang dengan Ketua serta Sekretaris Organisasi setempat itu. Pasalnya, ia tidak menyetujui pengadaan seminar dadakan di hotel berbintang sebagaimana yang telah diputuskan oleh sebagian besar pengurus tanpa meminta pendapatnya. Apalagi meminta pendapat anggota lain yang bukan pengurus. Menurut Serena, itu adalah gaya hidup konsumtif yang tidak menenggang perasaan anak buah.
"Kalau tujuannya untuk mencari dana, kenapa harus diadakan di hotel berbintang?" tanyanya ketika itu. "Kan bisa menyewa di tempat lain yang harganya terjangkau oleh banyak orang. Di gedung wanita atau malah kalau perlu, ya di gedung gelanggang remaja misalnya."
"Mau mencari dana ya harus di tempat-tempat yang banyak uangnya, Bu Jhonny!" jawab sang Ketua dengan wajah memerah. Bukan baru sekali ini Serena mengungkit ungkit kebijaksanaannya. "Mana mau para istri cukong itu mengikuti seminar seharian di tempat yang tidak ada AC-nya dan di tempat yang banyak orang IaIu lalang?"
"Toh hasil pendapatan yang kita terima dari seminar itu untuk aksi sosial, Bu Jhonny. Yang penting bukan banyaknya yang ikut seminar tetapi sumbangan dari mereka yang masuk ke kantong kita!" sela Ibu Sekretaris Organisasi dengan nada dingin, membela ketuanya.
"Tetapi, Bu, dengan melibatkan anggota karena harga terjangkau oleh mereka, kita bisa sekali tepuk kena dua lalat. Ya mencari dana, ya menambah wawasan para anggota organisasi kita ini. Mereka membutuhkan tambahan pengetahuan dan kita bisa mmenuhinya. Sekaligus, mencari dana. Dan dalam hal ini, para anggota jadi akan mempunyai perasaan ikut berpartisipasi di dalamnya. Ini penting untuk.... "
"Bu Jhonny," suara Serena terhenti oleh suara Ibu Ketua yang memotongnya dengan tak sabar sebelum bicaranya selesai. "Sudah beberapa kali ini Ibu selalu menentang kebijaksanaan kami! Dari pada protes ini dan itu, menentang itu dan ini, kenapa Ibu tidak menunjukkan prestasi apa saja yang sudah Ibu capai selama ini di dalam organisasi. Barangkali, kami semua bisa menirunya!"
"Ibu Ketua, saya seringkali protes itu bukan berarti saya menentang suatu gagasan, apalagi kalau gagasan itu bertujuan mulia. Jadi Bu, yang saya protes itu bukan gagasannya melainkan caranya. Dan karena wewenang saya ada di bidang sosial, maka saya terpaksa memberanikan diri untuk ikut bersuara dan barangkali sumbang saran saya bisa dijadikan tambahan bahan pertimbangan. Begitu saja. Syukur kalau diterima. Kalau tidak, ya tidak apa-apa!" sahut Serena menahan jengkel. "Dan kalau Ibu ingin mengetahui apa saja yang telah kami capai hasilnya bisa dilihat langsung kepada Ibu Bendahara. Silakan dilihat berapa banyak uang yang disetor oleh seksi sosial yang berhasil terhimpun oleh kami dengan cara menggerakkan seluruh anggota agar mereka ikut berpartisipasi. Rasanya tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa selama ini seksi sosial telah berhasil menumbuhkan rasa memiliki atau sense of belonging dalam diri para anggota. Karena, mereka bukan saja dilibatkan, tetapi juga diberi kesadaran akan makna, tujuan, dan sasarannya."
"Oh begitu, Bu Jhonny?" suara Ibu Ketua terdengar mengandung kemarahan terpendam yang mudah dirasakan oleh orang-orang yang hadir di dalam rapat itu. "Jadi dengan kata lain, Ibu hendak mengatakan bahwa selama ini dalam pencarian dana yang menuruti kebijaksanaan kami itu bukan sesuatu yang bernilai jika dibanding dengan cara Ibu?"
"Kalau ditinjau dengan cara penilaian materi, harus saya akui bahwa cara Ibu, bernilai. Ibu berhasil dalam hal menumpuk dana!" sahut Serena dengan tenang.
"Lalu selain dinilai dalam hal materi, apa lagi yang menunrut Bu Jhonny kurang baik?" dengus Ibu Ketua. "Coba Ibu jelaskan. Lalu apa yang menurut Ibu kurang bernilai? Hmmm, apakah karena dana itu kami dapatkan dari cara mengemis kepada koneksi-koneksi suami-suami yang punya jabatan? lya?"
Serena menarik napas panjang, rupanya ada mulut- mulut munafik yang katanya sejiwa dengannya, yang tak bisa melihat segala macam bentuk penyelewengan dan cara kerja yang lewat dari garis-garis kemestian tetapi
yang ternyata mau mencari muka kepada Ibu Ketua dengan membocorkan pendapat Serena. Saat itu, Serena sedang dilanda frustasi akibat kepincangan-kepincangan cara kerja mereka yang duduk sebagai pengurus, ia mengeluh melihat ketidakberesannya dan mengeluarkan isi hatinya. Tak disangkanya, keluhan semacam itu yang sebenarnya hanya ditumpahkan karena kekecewaannya melihat cara pengumpulan dana yang dilakukan oleh pengurus inti dengan cara 'mengemis' ke perusahaan- perusahaan besar itu„ dipakai orang untuk menjatuhkannya di muka Ibu Ketua. Sungguh keterlaluan. Tetapi begitu Serena berpikir lebih lanjut, dia tidak takut. Karena memang begitulah pada kenyataannya dan begitu pulalah yang dirasakannya sesuai dengan pendapat hatinya yang paling dalam. Bagi Serena, meminta sumbangan kepada koneksi suami semacam itu boleh dikata tidak berbeda dengan cara mengemis. Bahkan bisa lebih buruk lagi karena dengan permintaan agar orang-orang itu mau menyumbang, mereka telah memaksa secara mental keikutsertaan para koneksi itu. Karena merasa tak enak, maka mau tak mau para koneksi itu terpaksa merogoh kantong mereka.
Berpikir seperti itu, Serena terdiam beberapa saat lamanya. Ibu Ketua menyangka Serena telah menyerah kalah. Perempuan yang sedang duduk termangu-mangu itu diserangnya lagi.
"Jadi Bu Jhonny, menurut Ibu cara kami mendatangi kantor-kantor koneksi suami itu seperti mengemis?" katanya dengan suara meninggi, mengulangi sindirannya tadi.
"Dan kami ini seperti memaksa mereka dengan cara merayu-rayu?" sambung Ibu Sekretaris Organisasi dengan suara yang juga tak enak didengar.
"Apa pun istilahnya Ibu-Ibu," sahut Serena sabar, "segala bentuk pengumpulan dana seperti itu bagi saya kok kedengarannya kurang terhormat. Seolah kita tidak mempunyai cara lain untuk menghimpun dana sendiri. Mau mengadakan aksi sosial, tetapi dengan uang orang lain yang kita mintai. Cobalah, Ibu renungkan!"
"Kurang terhormatnya bagaimana, Bu Jhonny?" wajah Ibu Ketua sudah mulai memerah. Kemarahan mulai mengaburkan akal sehatnya sehingga ia lupa sedang berada di antara pengurus inti dan seksi-seksi serta sub seksi.
"Yah, pertama seperti sudah saya katakan tadi, cara meminta-minta sumbangan semacam itu akan menimbulkan kesan bahwa kita tidak bisa mencari dana atau usaha sendiri. Kedua, para anggota organisasi kita ini jadi kurang dilibatkan dalam pencarian dana sehingga yang kelihatan bekerja dan berjasa hanya pengurusnya saja. Padahal saya yakin, ada di antara mereka yang potensial tetapi yang karena jabatan suaminya tidak tinggi, ya terpaksa diam saja karena tak mempunyai wadah untuk merealisasikannya. Padahal kita pasti tahu bahwa organisasi ini bukan hanya milik para pengurusnya saja tetapi milik kita semua ternasuk anggotanya!"
Mendengar perkataan Serena, wajah Ibu Ketua semakin memerah. Dan matanya menyala-nyala menahan kemarahan yang mulai menggelegak.
"Bu Jhonny," katanya dengan suara mendesis-desis menahan emosinya yang sedang teraduk-aduk, "Coba tolong sebutkan apa saja dan bagaimana cara yang terhormat menurut Ibu. Hal itu saya tanyakan sebab sewaktu seksi sosial yang Ibu pegang mengadakan pasar murah, saya mendengar ada sejumlah stand-stand dari luar yang menyumbang. Menurut kami yang bodoh dan bukan sarjana sebagaimana Ibu, cara seperti itu pun mengemis namanya!"
Pipi Serena juga mulai memerah. Kalau saja orang tidak sedang berada dalam keadaan tegang, pasti dapat melihat betapa cantiknya perempuan itu dengan pipi memerah dan mata berkilat-kilat semacam itu. Kesabaran sedang bertengger di bibir jurang, nyaris tergulir dari hatinya. Tetapi dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk mengekangnya. Lalu sahutnya kemudian.
"Entah itu mengemis namanya atau apa pun nama lain yang lebih buruk, tetapi kami bekerja bukan saja menurut prosedur yang semestinya tetapi juga dengan usaha yang telah memakan waktu, tenaga, dan pemikiran yang tidak sedikit. Proposal kami ajukan kepada para pengusaha atau produsen bukan dengan menggarisbawahi permintaan dana, tetapi permintaan untuk ikut berpartisispasi dalam pengumpulan dana, yaitu dengan cara menghimbau mereka agar mau mengeluarkan barang-barang produksi mereka untuk dijual di pasar amal dengan harga pabrik. Lalu sebagai imbalannya, kami akan memasang spanduk-spanduk mengenai perusahaan mereka. Dan pada umumnya karena mereka tahu maksud dan tujuan diadakannya pasar murah itu, mereka seringkali bukan saja dengan senang hati mau menitipkan barang-barang mereka untuk dijual dengan harga pabrik, bahkan sebagaian juga disumbangkan kepada kita agar kita bisa menjualnya dan hasilnya untuk menambah jumlah dana yang sedang dihimpun. Malahan ada yang menyumbangkan seluruhnya kepada kita untuk dijual di pasar murah dan hasil penjualannya diserahkan seluruhnya untuk kita pula. Maka tidaklah mengherankan kalau hasil pendapatan dari pasar murah waktu itu, cukup besar!"
"Tetapi menurut pendapat saya, cara Ibu mencari dana itu sama saja nilainya dengan cara kami mencari uang. Seperti misalnya ketika mencari sumbangan untuk membantu penduduk yang mengalami bencana alam beberapa bulan yang IaIu itu!" sela Ibu Sekretaris dengan sengit.
"Mungkin saja, Bu. Tetapi toh ada sesuatu yang lain. Pertama, mereka waktu menyumbang kepada kami ketika itu, ada unsur timbal balik di dalamnya. Selain mereka merasa senang dapat berpartisipasi dalam pencarian dana untuk anak-anak terlantar, juga ada semacam iklan tersembunyi. Hasil produksi perusahaan mereka, kami sebar luaskan dengan harga pabrik dan dikenalkan melalui spanduk-spanduk yang kami pasang di setiap sudut arena pasar murah," Serena menjawab dengan tangkas. "Kedua, para penyumbang itu tidak melihat siapa yang datang menemuinya melainkan apa tujuan dan sasaran pengumpulan dana itu sehingga mereka menyumbangkan uang entah pula hasil produksi perusahaan mereka dengan hati ikhlas dan sukarela!"
"Oh, jadi penyumbang-penyumbang yang kami datangi itu tidak berhati tulus-ikhlas?" sela Ibu Ketua dengan memukul meja. "Ibu Serena, jangan menghina kami!"
"Aduh Ibu Ketua, jangan berpikir negatif begitu!" sahut Serena cepat-cepat. "Saya mengritik bukan dengan tujuan menjatuhkan atau meremehkan cara Ibu bekerja. Semua itu sudah baik. Tetapi alangkah akan lebih baik lagi kalau kita memperbaiki cara kerja itu dengan cara lain yang lebih baik. Kita semua sedang belajar dan mencari pengalaman, Ibu. Jadi perlu sekali kita bercermin bukan saja dari keberhasilan cara orang, tetapi juga dari kegagalan kita sendiri sehingga untuk kesempatan berikutnya, mampu mengukur kemampuan kita sendiri. Begitu Iho maksud saya bicara tadi. Anggaplah sebagai kritik membangun. Jangan dipandang sebagai celaan. Jadi Bu, jauh dari hal semacam itu!"
Entah kata-kata Serena itu diterima entah tidak, tetapi yang jelas rapat yang kemudian dilanjutkan itu masih tetap bersuasana tegang dan masing-masing pihak membiarkan ganjalan hati itu tetap berada di dada. Melihat keadaan seperti itu, Serena IaIu menutup mulut dan hanya menjadi pendengar saja. la tidak ingin suasana yang tidak sehat itu berpengaruh kepada jalannya rapat. Maka waktu pun berjalan dengan lebih baik meskipun dalam hatinya, Serena merasa tidak puas. Bukan begitulah caranya orang berapat!
To Be Continued