webnovel

Chapter 9

Ini adalah malam pertama, secara resmi. Penghuni mansion keluarga yang terdiri dari Mr. Wallen, Mrs. Lizza, Maggie dan Martha, serta beberapa anggota keluarga terdekat akan hadir pada makan malam keluarga tersebut. Ruby selalu mengira jika ini akan menjadi pesta untuk memperkenalkan dirinya kepada banyak orang, atau setidaknya rekan kerja ayahnya. Dia mulai membayangkan jika di depan akan ada pers yang berdatangan meliput dan memfoto wajahnya, oleh karena itu dia tersenyum menatap cermin ketika rambut blonde nya sedang di tata dengan sangat cantik.

Mr. Ronald telah datang memberikan informasi pada sore hari terkait makan malam keluarga yang harus Rubby hadiri. Ruby hanya bertemu dengan neneknya pagi ini, dan dia belum bertemu siapapun setelah itu. Oh, dia bahkan belum menyampaikan jika sang ibu telah mengizinkanya untuk tinggal sementara di dunia yang mewah ini.

Gaun keemasan dengan lengan pendek, serta dengan sedikit payet di daerah dada nya nampak sangat manis di gunakan Ruby. Ini begitu cocok dengan rambut nya yang ditata bergelombang, dia nampak seperti piala emas, dan dia tidak pernah menyadari lekuk tubuhnya yang berkurva, karena memang tidak pernah mengenakan pakaian semacam ini.

"Miss Universe, ya kau?" tanya sang penata rambut.

"Candaan yang bagus."

"Terimakasih, nona. Tapi ini bukan candaan, kau sangat cocok dengan ini. Baju ini harus dikenakan di pesta dansa. Makan malam keluarga sangatlah meremehkan keindahan nya." si penata rambut menilai Ruby dari ujung kepala ke ujung kaki.

"Terimakasih, tuan. Saya cukup tersanjung mendengarnya." Ruby tersenyum lembut, dan ketika itu juga pintu kamar terbuka setelah ketukan kecil, nampak Ronald datang.

"Apakah anda sudah siap, nona?"

"Oh, Ronald. Baik sekali kau bertanya, aku sudah siap, bagaimana menurutmu?" Ruby bertanya terkait penampilan nya.

"Luar biasa, bisakah kita keluar sekarang, nona?"

Ronald menawarkan lengan nya, yang segera di sambut oleh Ruby. Mereka berjalan dengan pelan, melewati lorong rumah yang panjang dan penuh benda artistik, serta karpet indah, apakah Ruby baru sadar jika ini karpet yang sangat panjang? Pasti akan sangat melelahkan untuk membersihkan nya.

"Ronald, bisakah aku bertanya?"

"Apapun yang saya tahu, nona."

"Apakah setiap hari ruangan di mansion ini di bersihkan?"

"Tentu saja, nona. Walau kamar kosong sekalipun akan selalu dibersihkan. Jika anda ingin tahu, kita memiliki 150 pelayan di mansion ini, 30 diantaranya berada di dapur, untuk mengurusi inventaris dan persediaan bahan baku."

"Apakah sering diadakan pertemuan disini?"

"Ya, bisa aku sebutkan… Tiga kali seminggu akan mewakili perkiraanku."

Ruby terdiam, melanjutkan perjalanan nya yang sepertinya akan segera sampai setelah keluar dari lorong yang pengap. Saat ini dia menuju pintu besar dan ketika Ronald membuka nya, nampak meja oval besar dengan berjubel kursi cantik yang diberi hiasan bunga di setiap puncaknya, dan masing-masing kursi telah diisi beberapa orang, yang asing baginya.

"Ruby, sayangku… Duduklah." Ucap Nenek Lizza.

Ruby memandang keseluruhan orang-orang tersebut, dan dia menangkap mata ayahnya, yang duduk di antara Maggie dan Martha. Dimana Ruby harus duduk?

Kursi kosong di sebelah pria dengan cambang putih dan paling dekat dari tempat dia berdiri adalah jawaban nya, dia segera mempersiapkan diri untuk duduk setelah dipersilahkan oleh Ronald yang menarik kursi untuk nya.

Makan malam pun dimulai setelah doa singkat, dan mereka diam untuk sementara waktu sembari menikmati jamuan. Ruby memakan dengan pelan, sup di hadapan nya adalah satu-satu nya pilihan agar dia tidak mempermalukan dirinya sendiri karena harus memilih alat makan yang salah, setidaknya sup wortel hanya membutuhkan sendok.

Ruby mencoba yang terbaik dari dirinya, tentang attitude dalam kegiatan makan yang dia tahu, seperti tidak menundukkan kepala saat makan, atau membuat suara dentingan, yang dia tahu itu sangat ceroboh dan tidak sopan. Sesekali Ruby melirik nenek nya yang juga meliriknya dari sudut mata nya, dan dia mempelajari apa yang nenek nya lakukan dalam menghadapi makanan nya.

Siksaan selama makan telah berakhir, saat orang-orang mulai menyantap dessert, suasana menjadi lebih ringan karena candaan yang dilontarkan oleh beberapa orang kepada yang lain nya, bahkan Ruby pun di tanyai oleh lelaki tua berjambang yang nampak sangat ramah menawarkan coklat lumer untuk tambahan toppingnya.

"Ekhem, ekhm…" Suara ayah Ruby mencuri perhatian semua orang, yang langsung tertuju padanya.

"Baiklah, tentu saja kalian semua tahu tujuanku mengundang saudara terdekatku pada malam hari ini untuk makan malam bersama, aku hanya tidak akan berlama-lama, namun kalian semua telah bertemu dengan putriku…" Henry mengangkat alisnya kepada Ruby dengan penuh isyarat, dan Ruby berdiri hingga menimbulkan suara decit kursi yang keras dan menyakitkan telinga, menyadari kesalahanya, Ruby memerah karena malu dan sedikit membungkuk untuk memberi salam kepada orang-orang, lalu duduk kembali.

"...Ruby Chloe, yang segera akan berubah nama menjadi Ruby Chloe-Wallen." Setiap orang bergeser tidak nyaman, mengindikasikan keterkejutan dan bingung dengan situasi yang terjadi, namun berbeda dengan Ruby, dia sangat tersanjung dan tersenyum sangat dalam mendengar pernyataan ayahnya.

"Dia adalah anak perempuanku, dengan…mantan kekasihku, dan kita baru bertemu setelah sekian lama."

Apa? Mantan kekasih? Bukankah mereka telah menikah?

Suasana masih hening, dan seorang wanita dengan tampilan nyentrik berupa bertumpuk mutiara di lehernya membuka suara,"Senang bertemu denganmu, Miss. Chloe, ini benar-benar mengejutkan karena dalam sekejap kau berada di tengah-tengah kami, ngomong-ngomong, darimana asalmu?" Dari sudut matanya, Ruby tahu jika Martha nyengir.

"Senang bertemu denganmu juga, Miss… atau Mrs…" Ruby mengajukan pertanyaan.

"Mrs. Merlyn, aku adalah sepupu dari ayahmu."

"Senang bertemu denganmu, Mrs. Merlyn, dan aku tinggal di desa Addington di Buckinghamshire dengan ibuku." Ruby menjawab dengan nada seramah mungkin.

"Buckinghamshire? Demi Tuhan, aku baru saja mengunjunginya lima hari yang lalu." Martha menyahut dari seberang meja.

"Benarkah, Martha?" Ruby memasang wajah terkejut, berpura-pura tidak tahu."

"Ya, kami mengunjungi pembukaan sekolah baru untuk anak-anak pra sekolah, dan aku diundang karena mereka tahu aku memiliki minat yang sangat baik di pendidikan. Apakah kau kuliah, Ruby?

Oh, keparat kau Martha.

"Aku tidak, karena aku memutuskan untuk bekerja setelah SMA."

"Ruby memiliki kemampuan untuk bisa bekerja di usia muda, aku sangat yakin dia adalah pekerja keras." Nenek Lizza menyahut, mengambil simpati seluruh orang di meja makan tersebut.

"Benar sekali, tidak banyak anak muda mampu dan mau bekerja di usia muda, kau sangat cekatan tentunya, apa pekerjaanmu, nak? Oh, dan aku Charles, aku adalah pamanmu." Pria bercambang disamping Ruby menanyainya dengan sangat ramah, Ruby akan segera akrab dengan Charles!

"Terima kasih, Paman. Aku bekerja sebagai pramusaji dan terkadang mengantarkan kue kepada pelanggan, itu saja."

Hampir setiap orang mengangguk memberikan apresiasi kepada Ruby, dan saat itu Henry sadar dia harus segera mengambil atensi.

"Aku harap keluarga ini dapat menerima Ruby dengan tangan terbuka, karena tentu saja dia adalah bagian dari kita."

"Mengapa kita tidak bisa menerimanya, Henry? Dia gadis yang sangat manis, aku tidak menolak gadis semanis ini." Charles melemparkan candaan dan suasana menjadi lebih ringan, dilanjutkan pembahasan tentang hal-hal lain yang tidak dimengerti oleh Ruby.

Sementara Ruby diajak berkumpul dengan para wanita untuk membahas berbagai hal seperti fashion, dan bergosip, Ruby sama sekali tidak mengikuti keduanya, pikiranya berkelana dari bagaimana cara ayahnya mengakuinya di depan keluarganya sendiri, dan itu sangat mengganggu Ruby. Mereka telah menikah, pada tahun 1978 di Gereja dan disahkan oleh pendeta. Mengapa ayahnya menyembunyikan fakta itu dan lebih menjadikannya anak yang lahir tanpa ikatan pernikahan?

Martha menghampiri Ruby yang duduk di kursi yang menghadap ke taman pekarangan.

"Bagaimana menurutmu perkenalanmu malam ini, Ruby?"

"Luar biasa, aku senang mengenal anggota keluargaku."

"Tentu saja banyak yang belum kau ketahui, kau bisa bertanya padaku tentang hal-hal yang asing bagimu, seperti tata krama di meja makan, karena sup saja tentu membuat lambungmu kelaparan."

"Tawaran yang sangat manis, Martha. Tapi aku tidak makan seperti sapi, kau tahu?" Ruby menghentakkan kaki secara mental, dia mengingat ucapan lelaki menyebalkan yang ditemui di restoran!

"Berani nya kau…"

"Jika kau tidak keberatan, lebih baik kau belajar dariku bagaimana caranya bersikap agar kau tidak perlu merendahkan orang lain dihadapan orang banyak."

"Oh, kau keberatan saat kutanya tentang pendidikanmu?" Suasana semakin memanas antar kedua perempuan tersebut.

"Tidak sama sekali, mereka tahu aku telah bekerja dan aku adalah perempuan mandiri, oh, dan Paman Charles menyebutku sangat manis. Jangan lupakan itu." Ruby berdiri dan segera pergi dari hadapan Martha sebelum perempuan itu membuka mulutnya untuk menawarkan ditendang.