webnovel

Chapter 7

Ini adalah mimpi, ini adalah mimpi! Ruby mencubit tangannya sepanjang perjalanan menuju ke kediaman ayahnya. Dia duduk di mobil mewah dengan badan tegang, belum mampu menampung kejutan sebanyak ini, karena dia akan segera bertemu dengan ayahnya!

"Apakah anda baik-baik saja, nona?"

Ronald bahkan sangat sopan kepadanya!

"Sangat baik, Mr…"

"Panggil saja aku Ronald, aku adalah kepala pelayan di kediaman Mouwar. Mungkin kita akan sering bertemu setelah ini."

Cubitan di lengan Ruby semakin dalam, dan rasa sakit bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari Ronald saking bahagia nya. Ruby akan sering bertemu Ronald? Oh, inikah artinya dia akan memiliki kehidupan baru di kota yang indah ini? Ruby menelan ludah, tidak mampu menghitung kadar kebahagiaan nya saat ini.

"Oh, Mr. Ronald,bagaimana kau bisa tahu dimana aku menginap?"

"Tentu saja kami mendapatkan informasi. Mr. Henry the Earl hanya memberiku alamat dan aku bisa menemukanmu dengan mudah."

"Mr. Henry? Bagaimana dia mengetahuinya?

Ronald tidak menjawab, dia memalingkan muka dan seperti bersiap. Benar saja, mereka memasuki gerbang besar, dan Ruby ingat betul dimana dia berteriak di titik ini dengan dua penjaga memegangnya dengan kasar. Memasuki perkebunan yang luas, lingkungan disini sangat bersih dan luas, apakah ini sebuah kastil? Mata Ruby berkeliling memandang apapun yang ada di depannya, ada sepetak taman yang dipenuhi bunga warna-warni, dan beberapa patung yunani klasik berdiri disana. Pohon pinus berjejer di sepanjang batas rumput hijau, seperti membatasi lingkungan kastil dengan dunia antah berantah.

Mobil berhenti, dan tanpa sadar pintu mobil telah dibuka oleh seseorang, dan Ruby keluar dengan menggendong tas nya di depan.

"Biarkan aku membawa tas anda, nona."

Ruby kehabisan kata-kata, hingga dia menyerahkan tas nya begitu saja. Pandangan nya terpaku pada bangunan besar di depannya. Bangunan dengan gaya Eropa klasik benar-benar seperti apa yang dia temui di dalam mimpi, ini rumah yang sangat besar, ada sekitar 3 lantai dan dengan bangunan yang luas ini, akan sangat cukup untuk menampung seluruh murid ketika dia SMA.

Ronald mempersilahkan Ruby untuk masuk, dan pintu terbuka lebar menampilkan visual interior yang begitu megah, rumah ini dilengkapi dengan gaya klasik yang sangat mewah. Setiap sudut dinding dilapisi dengan stiker mahal bermotif bunga peony sehingga rumah terasa sangat cerah bahkan saat pintu ditutup…

"Selamat pagi, nona. Madam Lizza sedang menunggu anda di ruang tengah. Mari saya antar." Seorang pelayan perempuan datang, dan Ruby segera mengikutinya.

Oh, dan ini waktunya. Seorang lelaki yang mengambil bagian di meja bundar berdiri dan terkejut menatapnya. Dia berjalan mendekati Ruby yang memasuki ruangan tersebut. Lelaki itu memegang pipi Ruby, dan menatapnya lekat-lekat. Pandangan Ruby kabur karena mabuk kepayang dengan apa yang terjadi di sekitarnya, sialan dia belum sarapan! Dia bisa saja pingsan di momen ini.

"Apakah…"

"Kau secantik ibumu…"

Ruby memeluk pria di depan nya, memeluk sangat erat dan membenamkan wajah di baju mahal pria itu dan menangis seperti bayi saat pertama kali nya dia dipeluk oleh sang ayah.

"Kau tidak tahu berapa lama aku membayangkan momen ini dalam hidupku, Mr. Henry!"

"Aku benar-benar minta maaf… Aku disini sekarang." Isakan terdengar dari pria yang dipeluknya, membuat Ruby mengeluarkan lebih banyak air mata.

"Aku benar-benar di hakimi seumur hidupku, dan saat ini aku bahkan tidak percaya aku masih hidup untuk merasakan semua ini."

"Kau akan hidup bahagia, aku disini, anakku…"

Mereka melepaskan pelukan, dan Henry menghapus air mata anaknya. "Kau memiliki mataku."

"Ya, aku sekarang benar-benar tahu apa yang dimaksud ibu." Ruby berkata dengan tersenyum.

Melihat sekeliling, dia baru sadar jika ada orang lain yang mengawasi mereka. Mrs. Lizza, dan… Dua orang perempuan yang dia temui di keramaian Buckinghamshire. Cerita di sisi lain mulai tercipta.

Mrs. Lizza tersenyum menatapnya, Ruby bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan, jadi dia hanya terdiam, haruskah dia memeluk mereka satu persatu?

Henry menuntun Ruby untuk duduk di sampingnya, menghadapi orang-orang yang sedari tadi menyimpan emosi di ujung tenggorokan mereka.

"Baiklah, aku yakin aku telah menjelaskan segalanya pada kalian, dan inilah Ruby-ku. Anak perempuan ku yang, ya.. baru aku temui."

Suasana menjadi hening, Ruby menatap masing-masing dari mereka dengan tegang.

"Ruby, tentu saja kau mengingatku bukan? Kemarin kita berjumpa."

"Ya, Mrs. Lizza, kita telah berjumpa."

"Bisakah kau memanggilku nenek?" Ucap Mrs. Lizza dengan pandangan penuh harap.

"Tentu saja, nenek!" Ruby berkata dengan senyuman lebar

"Dan, Ruby.. Ini adalah Maggie, dan Martha.Umm, Maggie adalah pacar ku saat ini dan Martha adalah anak perempuan nya." Henry memperkenalkan dengan menunjuk satu persatu dari mereka.

"Senang bertemu denganmu." Ucap Maggie singkat, dan Martha hanya diam dengan senyuman tipis.

*****

Ruby telah memiliki kamarnya, ruangan nya luas, bahkan ini seluas rumahnya di Addington. Kasurnya tinggi dan lebar, dan cukup ramah bagi punggungnya, atau ini sangatlah empuk! Astaga, memiliki ayah kaya raya adalah pikiran paling gila yang menjadi kenyataan!

Ruby berdiri dan mengelilingi kamarnya, ada lemari besar dari kayu ceri yang di plitur sehingga mengkilap dengan 4 pintu besar, dan Ruby memikirkan apa saja yang akan dimasukkan ke dalam lemari ini, dan kamar mandi nya… Dia memiliki kamar mandi tercantik, dengan bathup dan pancuran berwarna emas, sangat mewah dan mengesankan mata, bahkan di dalam kamar mandi nya ada kaca besar, entah untuk apa. Kamar ini akan terasa sangat kosong karena seluruh barangnya mungkin muat hanya dengan di letakkan di atas kasur.

Di kamar Maggie, Henry mencoba memberikan pengertian kepada calon istrinya yang diam seribu bahasa sejak mereka memasuki kamar.

"Apakah ini akan mengubah apa yang tersisa dari kita?"

"Apakah anak perempuanmu memiliki tujuan untuk itu, Henry?"

"Aku tidak membicarakan Ruby. Maggie dengar, aku tahu ini mengejutkan tapi kau nampak tidak bisa menerima nya. Dan apakah itu artinya kau tidak menerimaku?"

"Oh, Tuhan. Henry, apakah kau sedang memberikan aku pilihan?" Maggie begitu emosional hingga tangan nya bergetar.

"Kau hanya diam dan tidak bereaksi, aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Maggie dengar, aku tidak pernah mempermasalahkan Martha, dan aku menyayangi nya seperti anakku sendiri. Lalu mengapa ini berbeda dengan Ruby bagimu?"

"Jangan membawa Martha disini! Dia bukanlah anak haram yang akan menjadi skandal dan melemparkan kotoran masyarakat di wajahmu! Martha dicintai karena dia pantas dan memiliki moral, Henry, walau aku bercerai dari suamiku, kami menikah secara sah. Dan apakah bisa kau bayangkan? Surat kabar mencetak wajahmu dan anak perempuanmu dengan judul "Skandal Calon Walikota?"

Henry terdiam, dia menelan perkataan Maggie mentah-mentah, karena itu adalah kebenaran. Henry tidak akan tahan jika surat kabar mencetak wajahnya dengan judul yang memalukan yang akan merusak reputasi baik yang dibangun nya selama ini. Setidaknya, tidak hingga dia memenangkan pemilihan walikota.

"Maafkan aku telah mengatakan kebenaran walau kasar, Henry. Tapi pikirkan jika kau ingin membuat pesta sambutan baginya. Pikirkan reputasimu."