webnovel

Lihat, Mama Berdarah-Darah!

Garsini sesaat melempar pandangannya keluar jendela. Tampak Sintia masih penasaran terhadap dirinya. Soal tidak pakai baju yang rapi bisa dibikin besar sama si pendengki itu, pikirnya. Maka tanpa banyak bicara lagi diambilnya rok panjang yang diasongkan Qania kepadanya.

"Selesai?"

"Eh, ini cuma merangkapkannya ke celana kok," katanya tersipu malu. Dia membungkuk dan menggulung celana jinsnya. Saat berdiri kembali, ia sudah berpenampilan lain.

"Cantik," gumam Qania. "Adik Teteh ini memang jelita. Apalagi Kalaurambut trondolmu itu sudah ditutupi jilbab."

"Terima kasih, Teteh. Insya Allah suatu saat nanti."

"Amiiin," sambut Qania.

Pak Kosasih adalah dosen idola Garsini. Profesor satu ini berumur enam puluhan. Memiliki lima orang anak dan semuanya laki-laki. Keempat anak Pak Kosasih memilih bidang yang berbeda dengan ayahnya. Ada yang menjadi politikus, pengacara, tentara, dan pebisnis. Tinggal Gilang yang belum sarjana. Pak Kosasih sudah lama menyiapkan agar Gilang mengikuti jejaknya sebagai ilmuwan.

Begitu sosok itu muncul di ambang pintu, segera para asisten menyambutnya dengan ramah. Pak Kosasih termasuk dosen yang supel, ramah, dan demokratis. Kadang dia suka bercanda dengan mahasiswanya.

"Haha! Bagus sekali, Anak-anak!" Ia memulai dengan tawanya yang khas dan kebapakan. "Kan hari ini ada demo besar-besaran, demo nasional katanya? Isu rekan sejawat rupanya tak terbukti, ya? Banyak juga yang ikut ujian, kan?"

"Cuma dua orang yang gak masuk hari ini, Pak," lapor Sintia. "Banu dan Rika."

"Bagus, bagus," sambutnya pula dengan senang. "Kalau Banu memang sering absen. Aktivis BEM, ya? Tapi Rika, ehm... apa betul dia mau ikut demo? Anaknya yang suka ngunyah permen karet itu, kan?"

Garsini yang menguping percakapan itu mesem-mesem. "Hebat, Pak Engkos! Segitu perhatiannya sama anak-anak," gumamnya membatin.

"Soalnya yang berpembawaan cuek di kelas ini cuma ada dua orang. Ya, Rika dan Garsini. Bedanya mencolok. Garsini berotak jenius, Rika sebaliknya...."

"Rada-rada, Paaak!" Entah siapa yang nyeletuk itu.

"Suuiiit!" seru anak-anak.

"Kira-kira, kenapa, ya, sekarang Rika ikut demo?"

"Iseng aja kali, Pak. Kepingin tahu kampus Salemba," sahut Anwar.

"Kamu sendiri malah sering ke kampus Salemba, kan? Ambil spesialisasi di Eijkman, kan?" tuding Pak Engkos.

"Ee... iya, iya, Pak...."

"Kenapa gagap begitu?"

"Di sana malah pacaran dengan perawat, Pak!"

Anwar jadi tertunduk malu. Tawa Pak Kosasih kali ini diikuti tawa anak-anak.

Siang itu Sintia sudah menunggunya di balik pohon.

Ia sengaja menghadang Garsini, saat gadis tomboi itu bermaksud menuju kantin.

"He, Garsini!" serunya sambil mendorong Garsini dengan keras. "Jangan sok bertingkah, ya!"

Garsini tak meladeninya. Bukan pertama kali kakak kelasnya itu bikin teror. Sejak Ospek hingga latihan kader.

Sikap Sintia terhadap dirinya sering berlebihan. Bukan saja mengherankan Garsini, rekan-rekan akhwat Garsini pun terheran-heran.

Garsini tak pernah mempermasalahkan hal itu, apalagi mengadukannya kepada Qania. Sebenarnya dia masih berharap bisa menyelesaikannya sendiri.

"Kamu tahu apa akibatnya kalau jadi anak sombong dan takabur di kampus ini? Sebentar lagi kamu bakalan di-DO!" desis Sintia galak sekali.

Garsini malah berlalu meninggalkannya. Sintia jadi kalap. Ditariknya kemeja Garsini bagian bahu.

Garsini nyaris kehilangan keseimbangan. Kemudian saat itu pula: plaaak!

Garsini merasakan pedas pada pipi kirinya. Sedetik terkejut, tapi detik berikutnya dia menghadapi si Dengki.

Sorot tak senang memancar dari sepasang matanya yang indah.

"Mbak mau apa sebenarnya? Kenapa main tampar segala?"

"Mau lagi, ya?" Sintia mengangkat tangan kanannya.

"Hups!" Garsini kali ini menangkap tangan seniornya itu, kemudian memelintirnya keras-keras.

Sintia mengaduh kesakitan. Ingin rasanya dia membalas menampar. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara yang mereka kenal.

"Sintia, Garsini? He, kalian lagi ngapain?" tanya Pak Kosasih keheranan.

"Ngng... ini loh, Pak, ini... apa, ya?" Sintia mendadak kelabakan.

"Kami lagi bercanda," tukas Garsini sigap.

"Bagaimana?" Pak Kosasih menatap Garsini.

"Mbak Tia tahu kalau saya taekwondoin, makanya mau menjajal jurus taekwondo. Maklumlah, Pak. Ceritanya kami ini kan sama-sama menyukai taekwondo. Gak percaya? Tanya saja Mbak Tia, Pak. Bukan begitu, Mbak Sintia? Permisi, Pak.... Assalamu'alaikum!"

Entah apa yang terjadi kemudian dengan si Dengki. Namun, Garsini yakin kakak kelasnya itu akan semakin antipati terhadap dirinya.

Kepada Rika, si Bubble Gum, Garsini tidak bisa mengelak lagi. Dia terpancing juga untuk menceritakan perihal kelakuan seniornya itu.

"Ini serius sekali!" komentar Rika keheranan. "Yang aku herankan, apa sih penyebab Mbak Tia antipati banget sama kamu. Coba ingat-ingat lagi, Sin."

Garsini mengerutkan sepasang alisnya yang indah. "Entahlah. Seingatku, sejak Ospek sikapnya terhadapku sudah seperti itu."

"Jangan-jangan... dia punya dendam pribadi sama kamu?"

"Iya, tapi apa salahku? Kenal juga gak siapa dia."

"Kenapa gak diadukan saja ke Teh Qania?" saran Nining.

"Iya, Sin. Teh Qania itu kan sahabatnya. Kalau Sintia nyeleneh, Teh Qania harus menegur."

"Sudahlah," kata Garsini. "Kalian jangan ikut senewen. Ini urusanku. Biar aku selesaikan sendiri," putusnya bersikap dewasa.

Sesaat kemudian dia sudah bersikap santai.

Namun, tidak begitu saat ia kembali berada di rumah, saat menghadapi adik-adik dan ibunya yang sakit.

Saat harus berhadapan dengan ayahnya yang egois, kasar, dan temperamental.

Di sini, Garsini menjadi seorang anak yang berbakti, penuh pengabdian terhadap keluarganya.

Apabila malam tiba, saat Garsini masih menekuri catatan kuliahnya, barulah dia berpikir.

Alangkah melelahkan harus menjalani keseharian dengan mengenakan topeng.

Ya, topeng, pura-pura tak peduli akan dilepaskannya, dan esok topeng kembali dikenakannya.

Itulah cara Garsini menyembuyikan segala beban hatinya. Sejauh ini dia berhasil.

Buktinya, walau keadaan perkawinan orang tuanya kacau-balau, Garsini tetap mampu meraih prestasi.

Ah, Mama dan Papa, desahnya tiba-tiba.

Ia tak pernah mengerti, mengapa hubungan cinta kasih yang telah dijalin dan diperjuangkan belasan tahun itu.

Mengapa sekarang berubah menjadi konflik berkepanjangan?

Ketidakharmonisan, perang dingin yang menimbulkan suasana tak nyaman, tak akrab kepada semua orang yang hidup di dalam rumah itu.

Pernah ia sengaja menguping pertengkaran Mama dan Papa.

Pada akhirnya ia cuma bisa menarik kesimpulan singkat: Papa pencemburu dan Mama terlalu mengalah. Itukah? Sungguh hanya itukah?

"Duuh, duuh, kok jadi puusiiiing," erangnya sendiri.

Garsini menutup catatan kuliahnya. Mendingan istirahat, biar besok bisa menghadapi segala macam rintangan dengan otak jernih dan badan sehat.

"Oke, Garsini! Ayolah! Tetap sehat, tetap semangat!"

Inilah Jumat yang kelabu, tulis Garsini di buku hariannya.

Ada banyak kejadian yang dialaminya hari ini. Pukul tiga dini hari, dia mengantar ibunya ke RSCM.

Mpok Simah dan Bang Acep, pasangan yang baik hati itu, turut mengantar.

Memang tak bisa ditunda-tunda lagi. Ibunya mengalami pendarahan hebat. Darah keluar dari hidung dan mulutnya.

Darah membasahi seprai dan baju. Darah, darah, daraaah!

Ya Tuhan, rasanya darah ada di mana-mana!

Duh, apa penyakit Mama sebenarnya?

"Sudah selesai? Apa gak diperiksa lagi?" tegur Gilang saat Garsini menyerahkan kertas ujiannya.

"Hmm...."

"Yakin seratus persen, nih yeee?" godanya pula.

"Insya Allah...."

Berjalan cepat keluar dari ruangan, dia bermaksud segera kembali ke rumah sakit.

Kasihan Mama, sakit parah dan tak berdaya ditinggal seorang diri. Bagaimana kalau perlu sesuatu?

Saat ditinggalkan olehnya subuh tadi, Mama sedang ditransfusi. Dia berhasil mendapatkan darah dua kantong dari PMI Pusat.

Tentu tak akan cukup mengingat banyak darah yang telah dikeluarkan Mama.

Adik-adiknya ditinggal di rumah. Ucok, apa dia masih mau ke sekolah? Biasanya kalau tak diingatkan, dia suka malas. Bangunnya sering kesiangan.

Lantas Butet, apa siang ini sudah makan? Garsini memang sempat menitipkan adik-adiknya itu ke Mpok Nyai.

Tapi Mpok Nyai sibuk juga dengan lima anak dan warung gado-gadonya. Mengapa jadi karut-marut begini, ya?

"Buru-buru amat, Non? Baru juga jam sebelas?" seseorang menjejerinya.

Garsini menoleh. "Eh, Bang Anwar.... Ada apa?"

"Ada mentoring di Canopy sehabis Jumatan. Ikutan yuuk?" Kacamata Anwar yang tebal tampak seperti akan melorot ke hidungnya yang besar.

Garsini tak menyahut. Resah gelisah, sekujur tubuhnya tadi seketika terasa lemas sekali. Hidupnya serasa tak bersemangat.

Ia mengisi soal-soal ujiannya asal saja. Mujurnya, soal-soal itu sudah sering diotak-atik, sehingga ia tinggal menuangkan saja dari otaknya ke atas kertas ujian.

"Anwar! He, jangan suka maksa, dong!"

Dari kerimbunan pohon ada yang berteriak, tak jauh dari danau yang airnya bersih, bening.

Sekilas Garsini masih bisa melihat di pinggir danau itu ada anak-anak FISIP. Juga anak-anak Sastra.

Banyak mahasiswa yang suka kongkow-kongkow di situ. Namun, rasanya takkan ada yang menandingi anak-anak Sastra.

Mereka sudah seperti mbahurekso danau saja. Entahlah, mungkin cari inspirasi? Maklum, anak Sastra.

"Jawab dong! Bisa gak?" Anwar bertanya lagi.

Garsini merandek, menatap Anwar dengan tajam. Lelaki itu menyebalkan seperti ayahnya.

Coba saja pikir, istri sakit parah, malah morang-maring. Kemarin sempat pulang. Entah apa yang dikatakannya kepada Mama.

Garsini bisa merasakan, betapa ibunya jadi lebih menderita.

Sorenya dia sengaja menyusul ayahnya ke Bogor. Ia ingin mengingatkan ayahnya, agar sedikit perhatian kepada Mama yang sedang sakit.

Namun, apa yang terjadi di sana?

"Pergi dari sini! He, pergi kubilang!"

"Tapi, Pa, tolong dengar dulu. Kesehatan Mama semakin buruk, Pa," Garsini memelas memohon.

"Aku tahu itu!" sergah ayahnya. "Mama kau itu dari dulu pun memang penyakitan. Sudah, enyah kau dari sini!"

Garsini masih sempat melihat seseorang berkelebat dari balik gorden.

Dia pun masih bisa melihat sepasang sepatu perempuan, tas, dan pakaian di sofa ruang tengah. Dia mengenali semua benda itu. Ya, sumpah!

Matanya belum lamur dan tahu persis itu milik siapa. Milik Sintia!

Sejak kapan ayahnya punya affair dengan gadis tengil itu? Mau-maunya dia menjadi kekasih ayahnya?

Bersambung