webnovel

Episode 22: Berkah dari Rasa Bersalah

"Dys, kamu bener-bener ndak tahu kalau yang deketin Bu Dena itu Devin bukan David?" tanya Bertha.

"Kalau aku tahu mana mungkin Devin keramas pakai jus alpukat." jawab Gladys datar diikuti suara cekikikan yang tertahan.

Dena menatap Gladys dengan rasa bersalah. "Maafkan kami ya Dys. Gara-gara aku, kamu kena imbasnya. Aku awalnya ndak tahu kalau keterlibatkan David membuat kalian salah paham. Aku yang salah karena melarang Devin memberitahumu. Harusnya kamu juga diberitahu ... " Gladys hanya tersenyum, menatap balik, dan menggeleng pelan.

                               (Flashback)

Gladys berulang kali menyalakan gawai. Jam di layar menunjukkan pukul 19:30. Hampir 2 jam, ia menunggu David. Jangankan terendus baunya, pesan dari gawai tetap centang 2 warna abu-abu. Begitu pula dengan panggilan telepon yang berulang kali dilakukan, tak ada satu pun yang diangkat.

Tatapan Gladys beralih ke pintu gerbang yang sedari sore dibiarkan terbuka. Pandangannya berpindah ke jalan raya yang semakin malam semakin padat. Ini terlihat dari merambatnya arus lalu lintas, bisingnya suara mesin, dan  suara klakson yang sesekali menimpali. 

Namun tak satu pun dari kendaraan yang lewat, ia temukan sosok yang ditunggu. Padahal hari ini ia berjanji menjemput untuk menghadiri pesta ulang tahun Bertha. Kemudian Gladys beranjak dari tempat duduknya.

"Mbak Tum," panggil Gladys. 

"Iya, non …" Mbak Tum beranjak dari depan tv mendekati Gladys.

"Tolong pintu gerbangnya ditutup saja," perintah Gladys.

"Lho, non Gladys ndak jadi pergi?" tanya Mbak Tum yang dijawab dengan gelengan. Tanpa banyak omong Mbak Tum langsung keluar. Ia cukup tanggap dengan melihat respon anak majikannya yang tampak lesu.

Gladys kembali ke kamar. Baru beberapa langkah, gawai di tangannya berdering bersamaan datangnya Mbak Tum tergopoh di belakangnya. 

Gladys berbalik dan memberi isyarat menunjuk pada gawainya "Hem … hem … ya …" Kemudian ia mengakhiri panggilan.

"Ada apa Mbak Tum?"

"Non ada temen non di bawah"

"Siapa?'

"Den Tama"

Tanpa merespon, Gladys turun kembali diikuti Mbak Tum.

"Tam …" panggil Gladys.

Tama menoleh. "Eh Dys … aku disuruh jemput kamu. David terjebak macet di  jalan Letjend Soeprapto."

Gladys mengernyit sesaat tapi mengangguk. "Sebentar aku ganti celana panjang." Setelah Tama mengiyakan, Gladys kembali ke kamar.

Sejenak kemudian, Gladys sudah berdiri di depan pintu. "Ayuk … aku sudah siap," ajak Gladys. Tama menyerahkan helm. Tak lama kemudian motor RX-king warna hijau metalic meluncur membelah kepadatan. 

Begitu sampai di rumah Bertha, David yang sengaja menunggu di pintu gerbang langsung membantu Gladys turun dari motor Tama. Dengan cekatan David membukakan helm dan merapikan rambut Gladys yang sedikit berantakan. Tama menatap keheranan begitu menerima helm dari David. Pikiran Tama dipenuhi dengan tanda tanya ketika melihat keduanya berjalan bergandengan menuju tempat pesta. Dari kejauhan sesekali mereka saling melempar senyum dan berbisik manja.

Interaksi ketiganya tak luput dari pengamatan Devin yang sedari tadi di taman sambil menerima telpon.  

"Mataku yang bermasalah atau mereka yang aneh," kata Tama lirih sambil memarkirkan motor di garasi. 

Tiba-tiba dari arah belakang Devin menepuk pundak Tama. "Ndak usah dipikirin, keduanya pasti baik-baik saja."  Begitu menoleh Tama melihat Devin melewatinya sambil tersenyum.

Ternyata Tama tak mengindahkan permintaan Devin. Pikiran itu terbawa sampai rumah. Begitu terdengar suara mobil David memasuki garasi, Tama berniat menyerbunya tapi kemudian diurungkan. Tama memutuskan menunggu di kamarnya David.

"Barusan ngantar Bu Dena?" tanya Tama begitu melihat David masuk kamar.

"Iya, tadi sekalian antar Tari.  Tadi Devin yang menemani." jawab David sambil membetulkan celana pendek setelah melepas celana panjang. 

"Tadi Gladys ndak omong sesuatu sama kamu?" tanya David sambil menukar hemmya dengan kaos tanpa lengan.

Tama menggeleng. "Sepanjang jalan Gladys lebih banyak diam. Walaupun berbicara itu hanya karena menjawab pertanyaanku, itu pun pendek-pendek." David mengangguk-angguk kecil.

"Mungkin Gladys marah sama kamu Vid?" 

David langsung menggeleng. "Ndak mungkin. Gladys kalau marah, ndak bakal mau tak deketin."

"Tapi sikapnya tadi tidak seperti biasanya, dia lebih anteng" ujar Tama.

"Emang kalau lagi datang bulan gitu, Tam. Dia lebih sensitif dan moody," jawab Devin rebahan di kasur.

"Tapi hari ini beda banget, lebih banyak diemnya," sanggah Tama. 

Devin terdiam sesaat. "Setelah tak pikir-pikir, menurutku responnya masih wajar, buktinya dia masih mau hadir di ultahnya Bertha. Sikapnya tetep hangat, sepertinya tidak ada masalah yang di antara kami. Dan menang ndak ada masalah."

"Tapi dia menolak pulang bareng kamu."

Devin bangkit, duduk bersandar tembok. "Lha alasannya jelas logis. Berangkat bareng siapa dan pulang bareng siapa? Kalau bareng aku bisa jadi malem sekali baru sampai rumah. Rumahnya dan rumah Bu Dena tidak satu arah. Lagian kalau dia pulang bareng kamu, pasti amanlah." David tertawa sambil merangkul Tama yang duduk di sebelahnya. Sementara Tama balas memiting David. Kemudian keduanya saling memiting, sesekali memaki dan tertawa.

Tama mengurai pitingan. "Vid, kenapa sering jemput dan antar Bu Dena. Padahal muridnya bukan kamu saja?"

Devin kembali terdiam. "Aku yang nawari untuk antar jemput Bu Dena kalau pas ada acara. Gladys tahu kok. 

"Tapi kamu jadi jarang bareng Gladys. Kamu lebih sibuk anter  jemput Bu Dena. Sedangkan Gladys lebih sering sama aku."

"Kalau ndak keburu waktu, aku jemput dua-duanya. Tapi kalau ndak sempat, mau bagaimana lagi." David beranjak meraih gawai di meja yang sedari tadi notifikasinya berbunyi.

"Tapi ingat lho Vid, jangan sampai stock sabarnya Gladys habis."

David tersenyum setelah membuka pesan. Dia melangkah mendekati Tama. Ia tunjukkan layar gawai pada Tama. "Kalau Gladys marah ndak mungkin kan kirimi emoji taburan love sebanyak ini?" Tama hanya melonggo menggeser-geser layar gawai Devin.

Sementara di tempat lain, Gladys berusaha menata kembali hatinya. Sekarang  ia sedang tidak baik-baik saja.

Tak dipungkiri kalau hatinya sering goyah setiap kali melihat David bersikap baik terhadap Bu Dena. Belum lagi menghadapi pertanyaan dari teman-temannya tentang kedekatan mereka. 

Penjelasan Devin memang untuk sementara bisa membuat hatinya tenang. Apalagi perhatian David padanya dari waktu ke waktu semakin besar.

                          (Flashback off)

Gladys kembali tersenyum. "Ehm … ndak buruk-buruk amat. Ketidaktahuanku malah membuatku jadi yakin kalau David itu sangat mencintaiku. Karena setiap kali David merasa bersalah, dia jadi lebih perhatian. Semakin sering merasa bersalah, dia semakin menunjukkan rasa sayangnya. Padahal sebelum-sebelumnya David selalu jaim, berusaha menyembunyikan perasaannya."

"Bener ta?," Dena 

"Setiap kali merasa bersalah, ia akan minta maaf dan banyak mengirim pesan dan imoji romantis. Padahal sebelumnya, yang salah dia, yang lebih ngambek dia. Konyol lah … Untung aja ada Devin yang selalu menjadi penengah. David itu lebih nurut sama Devin daripada sama mama papa."

"Di sekolah, aku kok jarang melihat mereka ngobrol berdua. Kalian pernah ta?" tanya Nina.

"Mereka itu memang sengaja menjauh tetapi aslinya sangat dekat. Kadang mereka ndak perlu berkomunikasi secara verbal, cukup dengan bahasa isyarat." terang Dena.

"Apalagi dengan adanya wa dan media sosial yang lain yang memudahkan kita untuk berkomunikasi."

"Iya, cukup  ketik atau pilih ikon emoji dan kirim ke kontak yang diinginkan ."

 "Pantas saat di Blitar aku merasa sikap David jadi aneh. Sebentar-sebentar nengok wa, terus menghilang. Tak kira wa-nan sama kamu Dys." Tari menoleh ke Gladys.

"Eh … sebentar … waktu itu pas ada Gladys pun, kamu tetep aja pentelengin gawai dan kamu tambah gelisah. Saat itulah aku mulai curiga,  apalagi kamu mulai tidak jujur pada aku. Ternyata ada rahasia diantara kalian."  urai Bertha. Dena dan Gladys saling lempar senyum.

"Ndak bermaksud main rahasia, tapi situasi dan kondisi memaksa kami untuk diam." jelas Dena.

Tanpa sengaja Dena menyentuh tangan Gladys. Is spontan menoleh menatap Gladys yang tampak lesu. Sementara di sampingnya Gita asyik main game di gawai.

"Kamu pucat ... Badanmu anget. Kamu sakit?" Dena menyentuh dahi Gladys.

"Agak pusing kak … ."

"Kamu pulang duluan sama David."

"Iya Dys, pulang terus istirahat." Bertha mengelus lengan Gladys. Gladys mengangguk.

"Gita mau sama Bunda apa pulang dengan Mami dan Papi?" Gladys menatap Gita yang tetap fokus pada gawai Gladys.

"Gita ikut Mami pulang?" Gita menatap Dena.

"Iya, boleh?" Dena mengangguk.

"Ya, udah … Aku pamit." Yang lain serentak mengiyakan. Netra Dena mengikuti kedua sosok perempuan sampai menghilang.

Nada menatap Dena. "Btw, sejak kapan Devin ikut teaternya Bu Dena?" Dena menoleh pada Nada yang sedari tadi lebih banyak menyimak.

Dena berusaha mengingat sampai dahinya berkerut. "Seingatku, sebulan setelah dia menerima penghargaan juara 1 untuk naskah dramanya."

"Kok, bisa Devin kenal teaternya Ibu?" sambung Sisil.

"Kebetulan sepulang dari acara pelatihan teater aku mau mampir ke sanggar, Devinnya ngikut. Dia antusias karena pernah dengar tentang sanggar teaterku dari cerita Pak Lindu"

"Bu Dena pernah ndak kepikiran tentang perlakuan Devin?" tanya Dara hati-hati.

"Pastilah… ini dilema buatku"

(Flashback) 

Aaahhh…  aku harus bagaimana ini? Apa maksud perkataan Devin tadi? Sudah 2x dia mengatakan hal yang sama. Apa dia akan nembak setelah lulus? Bagaimana ini? 

Aduh… bisa gila aku. Ntar aku dibilang fedofil. Jelas-jelas dia muridku. Sesaat kemudian Dena terdiam. Bola matanya bergerak ke atas dan berpindah ke sisi yang lain. 

Betapa tololnya diriku. Ini jelas tidak mungkin. Tanganku semakin keras meremas-remas pooh, boneka teman tidurku. 

"Blug …., glondang …, tuk… tuk… tuk..." Sesaat kemudian pooh sudah terlempar menjatuhkan parfum, minyak tawon, dan minyak vco yang sebelumnya terjajar rapi di meja kecil. 

Ndak… ndak… ini harus diluruskan. Devin itu muridku dan aku gurunya. Hubungan ini jelas tidak mungkin. Ini hanya efek romantisme sesaat gara-gara ngurusi school production. 

Lagian kenapa juga aku ke-GR-an, Devin itu hanya menganggapku sebagai kakak. Nyatanya sampai sekarang ia tetap memanggilku Mbak dalam situasi nonformal. Baik di komunitas teater atau di lingkungan di luar sekolah yang lain, ia tidak mengubah panggilan. 

Walaupun tidak dipungkiri bahwa perlakuan Devin sering membuatku ser-seran. Hadeeehhhh … Anak satu ini memang ada saja tingkahnya yang membuatku jantungku kelimpungan. 

Tidak … Tidak …. Tidak …. Ini hanya perasaanku saja. Hahaha… ini hanya perasaanku saja … Lagian mana mungkin aku pacaran sama anak kecil? Ahhhh …...  bodohnya aku. Harus yakin …. Harus yakin …. Harus yakin ….. Aku tidak lebih dari kakak ….. Ingat tidak lebih dari kakak …. 

Bersambung ...