webnovel

Return of the Mount Hua Sect (HTL 1634+)

Volume 1 is in Indonesian and volume 2 is in English. If anyone wants to donate to motivate me (I'll use the money to buy the RAWs too). Thanks! Advanced Chapters in https://trakteer.id/rei_shin/tip (for Indonesian) (for international) https://patreon.com/Reiii5161 https://buymeacoffee.com/rei_shin

Rei_Shinigami · แฟนตาซี
Not enough ratings
93 Chs

Chapter 1644. Jadi, Apa Kau Bahagia? (3)

Keheningan berlangsung lama.

Yang pertama mundur tidak lain adalah Jang Ilso.

Sambil menghela nafas, Jang Ilso duduk kembali dan melambaikan tangannya.

"Mari kita berhenti, Gamyeong-ah. Aku tidak tahu kenapa aku harus berdebat sebanyak ini denganmu."

Ho Gamyeong memandang Jang Ilso tanpa menjawab.

"Kau benar. Memang benar aku sedikit kehilangan ketenangan, dan juga benar bahwa aku terlalu terburu-buru. Tapi bukan berarti saya tidak punya rencana sedikit pun."

Ada kelelahan yang mendalam di wajah Jang Ilso.

"Cara terbaik untuk meningkatkan peluang adalah dengan tidak terpaku pada sesuatu yang tidak mungkin berhasil. Akan lebih baik jika kita menginjak-injak mereka dan melinyak mereka secepat mungkin."

"….."

"Jadi, jangan bicara padaku seolah-olah aku sudah menyerah akan segalanya."

"…..Apakah itu benar?"

"Menurutmu tidak?"

Jang Ilso bertanya balik dan menatap lurus ke arah Ho Gamyeong. Dengan mata seperti bulan sabit yang melengkung lembut.

Ho Gamyeong menutup matanya.

Sikapnya lembut. Jang Ilso pasti mendapatkan kembali sebagian waktu luangnya yang telah hilang.

Tapi kata-kata Jang Ilso sekarang tidak lain hanyalah penolakan yang halus. Karena Ho Gamyeong tidak mungkin tidak menyadari hal ini, sulit untuk menahan perasaan putus asa yang menghampirinya.

".....Jika itu yang kau inginkan, maka tentu saja aku akan menuruti keinginanmu."

Ho Gamyeong berbicara perlahan, dan setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya lagi.

"Tapi, bolehkah aku bertanya satu hal lagi kepada mu, Ryeonju-nim?"

Jang Ilso berhenti sejenak.

Biasanya, dia akan menjawab dengan mengatakan, 'Tidak perlu bertanya seperti itu. Tanyakan saja kapan pun yang kau inginkan'.

Namun, kali ini kata-kata tersebut tidak keluar dengan mudah. Meskipun itu adalah kata-kata yang selalu dia ucapkan.

"Apakah kau mengerti yang ku maksudkan, Ryeonju-nim?"

Seperti yang diharapkan, Jang Ilso tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Ini adalah pertanyaan yang mungkin dirasakan orang lain sebagai pertanyaan acak. Mungkin itu pertanyaan yang akan ditertawakan dan abaikan saja.

Namun, Jang Ilso tetap diam seolah-olah tertusuk tepat di hatinya.

"…..Alasan ku bertanya apakah kau bahagia tidak lain adalah karena itu adalah tujuan awal kita….. Bukan, itu tujuan Ryeonju-nim, dan apa yang kau ingin capai."

Suara Ho Gamyeong berangsur-angsur menjadi lebih tenang.

"Ryeonju-nim. Nah, masih ingatkah kau dengan Wangsa?"

"…..Ya. Aku ingat."

"Aku selalu memikirkannya bahkan setelah membalas dendam berkat belas kasihan Ryeonju-nim. Karena aku tidak bisa memahaminya sama sekali. Mengapa seseorang yang sudah memiliki segalanya dan bahkan tidak punya cukup waktu untuk menikmatinya, bersusah payah menimbulkan kebencian pada dirinya sendiri dengan menginjak-injak tempat sederhana seperti keluarga ku? Mengapa seseorang yang pernah begitu hebat melakukan hal bodoh seperti itu?"

"….."

"Aku tidak dapat memahaminya pada saat itu, namun akhirnya aku mulai memahaminya."

"Memahaminya.…. Kau bisa?"

"Ya."

"Dia?"

Ho Gamyeong mengangguk dalam diam. Ekspresi rasa ingin tahu sekilas melintas di wajah Jang Ilso.

"Baiklah. Apa itu dan mengapa kau mengetahuinya? Mengapa babi itu, dengan segala kekayaannya, memutuskan untuk menginjak-injak keluarga mu? Apakah ada alasan lain selain dibutakan oleh keserakahan?"

"…..Itu tidak ada."

"Hmm?"

Ho Gamyeong menghela napas sejenak dan menggelengkan kepalanya.

"Sejak awal tidak ada alasan untuk itu. Tidak, bahkan tidak perlu ada."

Ekspresi Jang Ilso menjadi lebih kaku.

"Pada suatu titik, kekayaan bukan lagi alat untuk mengumpulkan harta, tetapi menjadi tujuan itu sendiri. Meskipun mungkin tidak digunakan sampai akhir hidupnya, dan harta itu hanya akan membusuk di tangannya, dia tetap ingin mengumpulkannya sebanyak mungkin."

"….."

"Jadi itu tidak ada hubungannya. Tidak peduli siapa lawannya, ada kekayaan di sana, jadi bunuh dan ambil. Hanya….. Ya, hanya begitu saja."

Setelah mengamati Ho Gamyeong untuk waktu yang lama, Jang Ilso membuka mulutnya.

"Aku sekarang….."

Mulut yang tadinya terbuka tertutup kembali. Namun hanya butuh sedikit waktu, dan kata-kata itu akhirnya terucap dari bibir Jang Ilso.

"….. Apa maksudmu aku sekarang sama saja dengan babi itu?"

Angin malam yang masuk melalui celah pintu mengalir sejuk di antara mereka berdua. Ho Gamyeong dengan lembut mengusap ujung jarinya yang dingin dan menghembuskan napas sebentar.

"Aku tidak mengatakan itu. Aku hanya penasaran."

"Apa?"

"Apa makna dari ucapan Ryeonju-nim tentang menempatkan Kangho di bawah kaki mu sebelum segalanya menjadi tak berarti. Apakah itu berarti ada sesuatu yang harus dicapai, atau bahwa meskipun tidak ada artinya, memperoleh Kangho itu sendiri memiliki makna bagi Ryeonju-nim?." (ini ucapan jang ilso bbrp kali, salah satunya chapter 1079)

"….."

"Ya. Itu saja. Hanya….."

Setelah hening beberapa saat, Ho Gamyeong membungkuk dalam-dalam.

"Aku akan keluar."

"….."

"Segera tidurlah. Tidak peduli seberapa tidak pedulinya dirimu, kekuatan mental mu ada batasnya."

Ho Gamyeong berbalik dan menuju pintu. Saat itu, Jang Ilso memanggil Ho Gamyeong.

"Gamyeong-ah."

Ho Gamyeong berhenti berjalan. Tidak seperti biasanya, ia tidak sepenuhnya berbalik. Jang Ilso yang terdiam menatap punggung Ho Gamyeong, kesulitan membuka bibirnya yang tidak mau terbuka.

"Jika begitu, apa yang akan kau lakukan?"

"….."

"Jika aku juga hanyalah seekor ngengat yang tertarik pada api bernama Kangho, jika aku adalah bajingan bodoh yang mendekati api tak berarti dan membakar diri sendiri….. Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan mengkritik dan mencela diriku? Kalau tidak, apakah kau akan meludahiku dan meninggalkanku karena aku sudah berubah?"

Ketika kata-kata itu selesai, Ho Gamyeong berbalik. Kemudian dengan matanya yang selalu tenang, ia menatap Jang Ilso. Melihat bayangan gelap yang mendalam di wajah tanpa riasannya, Ho Gamyeong berkata.

"Pada hari itu."

"….."

"Sejak Ryeonju-nim mengabulkan permintaanku yang sangat tidak penting, aku tak pernah membayangkan aku akan meninggalkanmu."

"….."

"Jika saatnya tiba ketika Ryeonju-nim ditinggalkan oleh segala sesuatu di dunia dan berjuang di tempat yang paling buruk….. Aku pasti akan menjadi orang terakhir yang berada di sisimu."

Itu sudah cukup sebagai jawaban. Namun, Ho Gamyeong menambahkan kata-kata lagi.

"Karena aku sudah memutuskan itu dari awal."

"….."

"Istirahatlah."

Setelah membungkuk dalam-dalam, Ho Gamyeong berbalik dan meninggalkan ruangan.

Tuk.

Jang Ilso menatap pintu yang telah ditutup oleh Ho Gamyeong dengan mata yang kosong, secara refleksif meraih botol alkohol.

Namun, yang ia sentuh hanya serpihan botol yang sudah hancur dan alkohol yang tumpah mengalir ke ujung jarinya.

"Ha ha."

Tawa mengejek diri sendiri keluar dari bibirnya yang memudar.

"Ha..…"

Tapi tawa itu pun tidak bisa bertahan selamanya. Dia mengambil botol yang pecah dan menumpahkan minuman kerasnya. Potongan porselen tajam menusuk tangan dan darah kental bercampur dengan alkohol bening.

Seolah dia sama sekali tidak menyadari rasa sakitnya, Jang Ilso perlahan mengalihkan pandangannya ke samping.

Wajahnya samar-samar terpantul di cermin. Wajahnya yang selalu berkilauan dengan berbagai dekorasi mewah dan riasan mulai dari yang mencolok hingga yang aneh, tak terlihat lagi. Yang terlihat hanyalah wajah seorang pria yang tampak seperti akan hancur.

Bibir yang pecah, bayangan gelap di bawah mata, dan ekspresi yang gugup.

Akhirnya, ia melemparkan serpihan botol yang dipegangnya ke arah pantulan dirinya. Dengan keras, pecahan cermin jatuh ke lantai.

"Ha ha. Jangan bercanda….."

Apakah itu salah?

Bahkan saat bertemu Ho Gamyeong di masa lalu, Jang Ilso masih belum puas dengan kehidupannya saat itu. Dia mencoba menggenggam sesuatu yang lebih besar dan lebih banyak lagi dengan jari-jarinya.

Apa bedanya Jang Ilso yang dulu dan sekarang?

Apakah hidup sebagai ngengat seburuk itu?

Bahkan jika akhirnya kedua sayapnya terbakar dan jatuh ke dalam api yang menderu-deru, bukankah itu jauh lebih baik daripada hidup sebagai babi yang sibuk memakan kotoran dan menghindari api?

Dia percaya begitu. Setidaknya, itu yang dia percayai.

Tapi bergandengan tangan dengan mereka untuk bertahan hidup?

Jang Ilso menutup mulutnya. Memikirkannya saja membuat perutnya mual. Hanya memikirkan tentang bertarung bersama mereka secara berturut-turut membuat organ dan ototnya berputar.

Di dalam pikirannya dia tahu bahwa itu juga bisa menjadi salah satu cara. Namun tubuhnya menolaknya. Tidak, mungkin jiwanya menolaknya.

Permusuhan dan kemarahan yang tidak terkendali.

Shaolin hancur. Meskipun dengan tangannya sendiri dia telah memusnahkan banyak orang yang sombong dari sekte ortodoks..… Kebencian yang gelap, hampir seperti dendam yang membara itu tidak mudah padam.

Sebaliknya, semakin dia berhadapan dengan mereka, semakin kuat api itu membakar.

"Ha ha…. Ha ha ha. Gamyeong-ah, Gamyeong-ah."

Kata-kata Ho Gamyeong benar. Namun, dia salah.

Cara Jang Ilso untuk bertahan hidup adalah dengan cara apa pun. Cara Jang Ilso untuk menang adalah dengan membuang segala sesuatu yang bisa dibuang.

Namun apalah arti 'bertahan hidup' dan 'kemenangan' tersebut jika tidak diraih oleh Jang Ilso sebagai Jang Ilso?

Saat dia berdiri bersama mereka untuk bertahan hidup, Jang Ilso tidak berbeda dengan orang yang paling dia benci. Mengapa Ho Gamyeong tidak menyadarinya?

"Gamyeong-ah….."

Sambil tertawa, Jang Ilso perlahan duduk kembali di kursinya. Dia memiringkan kepalanya ke belakang dan menatap langit-langit, ada kekosongan gelap di matanya.

"Mengapa….."

Matanya perlahan tertutup. Sorot mata Ho Gamyeong yang dilihatnya beberapa saat lalu terlintas seperti lukisan yang terukir di benaknya.

Kekecewaan ringan, ketidakpercayaan yang aneh, dan kemarahan yang sepertinya memanas sedikit demi sedikit.

Mata yang seolah mendidih karena campuran emosi kecil itu, membuat tubuh Jang Ilso terkulai seperti kapas basah.

Dia merasakan déjà vu yang aneh.

Meski tidak mungkin seperti itu, sorot mata yang seolah-olah pernah dilihatnya membuat ujung jari Jang Ilso bergetar.

'Gamyeong-ah…..'

Tidak ada yang berubah. Dia tidak mengubah apa pun.

Jika ada sesuatu yang perlu didapatkan, dia pasti akan mendapatkannya. Dia tidak akan pernah melakukan hal bodoh dengan menyerahkan apa yang bisa dirinya raih saat ini demi masa depan yang tidak pasti.

Sebuah lampu kecil bergoyang tak berdaya di samping Jang Ilso yang bernapas lemah.

* * *

"Gunsa." (titlenya Ho Gamyeong di aliansi jahat, sebutan untuk perancang strategi militer, sama kayak posisi Im Sobyeong di aliansi surgawi)

Saat orang-orang menyapanya, Ho Gamyeong hanya mengabaikannya sedemikian rupa hingga terasa seperti angin dingin.

Ekspresi orang-orang yang menyambutnya sedikit berubah, tetapi tidak ada hal seperti itu yang menarik perhatian Ho Gamyeong.

'Ryeonju-nim.'

Ho Gamyeong menggigit bibirnya tanpa sadar.

–Hahahaha. Ekspresi itu cukup menarik untuk dilihat. Tidak perlu bersedih. Mati seperti ini juga memiliki pesonanya sendiri, bukan?

Itu adalah ucapan Jang Ilso saat berada dalam situasi krisis.

Jang Ilso yang dikenalnya selalu santai. Bahkan dalam situasi yang mengancam nyawanya, dia tertawa. Dia juga adalah orang yang tidak pernah menyerah bahkan saat dia merasa tidak memiliki jalan keluar.

Dan….. Dan itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah berubah.

Namun, jika mata Ho Gamyeong melihat bahwa Jang Ilso yang berbeda dari masa lalu, apa yang salah?

Apakah masa depan yang dihadapi Jang Ilso seberat itu? Sampai-sampai Jang Ilso tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri?

Tidak. Itu tidak mungkin.

Meskipun langit runtuh, Jang Ilso akan tertawa dengan lega. Dia tidak akan hancur bahkan di tengah keputusasaan.

Jadi, mengapa?

"Mengapa….."

Ho Gamyeong akhirnya bergumam keras seolah dia kesakitan.

Tidak ada yang berubah.

Bahkan jika Jang Ilso melakukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti, Ho Gamyeong akan melakukan yang terbaik untuk membantunya. Sekalipun itu berarti membuang nyawanya.

Tidak ada satu pun kebohongan dalam kata-kata ini.

Jika Jang Ilso jatuh ke neraka, Ho Gamyeong akan tetap berada di sampingnya.

Namun, Ho Gamyeong berharap Jang Ilso bisa tertawa meski di neraka. Lebih baik tertawa di neraka daripada berduka di surga. Karena itulah cara Jang Ilso yang dia kenal.

Tck.

Menggigit bibirnya hingga berdarah, tatapan Ho Gamyeong mengeras.

Sudah jelas sekarang. Dia mengerti.

"Ini berbeda. Atau lebih tepatnya, itu adalah sesuatu yang berbeda."

Meskipun mereka melihat tempat yang sama, apa yang ingin dicapai Ho Gamyeong dan apa yang ingin dicapai Jang Ilso adalah hal yang berbeda.

Kemudian…..

Menyeka darah dari sudut mulutnya dengan ibu jarinya, Ho Gamyeong segera menuju ke kantornya. Sebelum angin dingin lenyap diselimuti matahari terbit.

Ini si Jang Ilso depreshot parah jg dia, udh pasrah ntar terbantai sama cheonma....

Rei_Shinigamicreators' thoughts