webnovel

Regret (Kriminal)

Setiap orang memiliki kisah yang belum terselesaikan. Tapi tidak semua dari kisah itu berujung penyesalan. -------------------------------- Seandainya aku tidak memilih dan menikah dengan pria lain apa tragedi ini akan terjadi? Seandainya aku tidak pindah ke kota ini, apa tragedi ini tepat akan terjadi?

NurNur · สยองขวัญ
เรตติ้งไม่พอ
36 Chs

• Dua Puluh Empat.

Yusuf sedang berpakaian ketika mendengar suara motor Al. Ia keluar untuk memastikan. Yusuf memeriksa kamar, kamar mandi, dan parkiran. Al sudah pergi. Adiknya pergi lebih awal dari kebiasaannya. Terlalu awal bahkan.

Yusuf memeriksa ulang jam di ponselnya. Barang kali jam dinding bermasalah. Tidak salah. Waktu memang masih menunjukkan pukul 07.10. Waktu tidak salah, jam dinding juga tidak salah. Jadi Al-lah yang bermasalah.

Sejak semalam Al memang tidak terlihat seperti berpijak di bumi yang sama. Ia menyalakan televisi tapi sama sekali tidak memerhatikan tontonannya. Tatapannya menerawang jauh. Nasi goreng yang Yusuf bawa, juga tidak disentuhnya sama sekali.

"Nasi gorengnya kenapa enggak dimakan?" protes Yusuf.

"Sudah terlalu malam, malas," jawab Al tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Ia duduk di sofa dengan kaki disilangkan. Sebuah bantal diletakkan di pangkuannya.

"Kenapa? Takut gemuk?" goda Yusuf.

Al akhirnya menatap ke arah lawan bicaranya. Tatapannya sengaja dibuat sinis dengan ekspresi cemberut. Ia menatap lama. Tanpa mengatakan apa pun, Al kembali mengalihkan pandangnya pada televisi. Tidak berniat membalas.

"Kamu mau makan apa?" Yusuf berteriak dari dapur. Masih berusaha membujuk adiknya.

Bola mata Al bergerak ke kiri atas. Mengambil jeda untuk berpikir sejenak. "Martabak mie. Cepat, ya!" kata Al akhirnya.

"Kurang ajar!" tukas Yusuf keluar dari dapur sembari melempar sebuah lap ke arah Al. "Lancang sekali kamu suruh-suruh Paduka Raja. Mau dipenggal?" tambahnya congkak.

"Ampun, Paduka." Al menggunakan hormat seperti pendekar-pendekar dalam drama Wuxia. "Maafkan rakyatmu yang lemah tak berdaya ini."

Yusuf terkekeh. Tawanya angkuh penuh kebanggaan. Ia berkaca pinggang dan membusungkan dada layaknya orang terhormat yang hendak memberi titah. Yang setiap kata-katanya adalah perintah. Yang setiap kata-katanya tidak dapat ditentang.

Setelah mengambil lap yang tadi dilemparnya ke arah Al, Yusuf kembali ke dapur.

Sebenarnya meski tidak begitu jago memasak, Yusuf dan Al cukup memiliki kemampuan. Karena tidak memiliki saudara perempuan, jika membutuhkan bantuan untuk memasak atau akan ada hajatan di rumah, ibu selalu memanggil Yusuf dan Al untuk membantu. Dari kebiasaan sering membantu ibu di dapur itulah Yusuf dan Al belajar memasak.

Dua puluh menit waktu yang Yusuf habiskan untuk memasak. Al bahkan sampai terkantuk-kantuk. Ketika Al akhirnya jatuh tertidur, kakaknya yang telah selesai memasak membangunkannya.

Televisi sedang menyayangkan pertandingan bola uji coba. Al dan Yusuf menonton jalannya pertandingan sembari menikmati camilan malam mereka. Yusuf yang bosan, hendak mengganti saluran tapi Al menjauhkan remotenya.

"Pertandingannya membosankan. Cari tontonan lain," kata Yusuf.

Al menggeleng kemudian menyembunyikan remote ke belakang punggungnya. Ia telah menghabiskan dua potong martabak mie dan berencana meraih yang ketiga. Yusuf menggeser satu potong ke arah Al tanpa adiknya sadari.

Sebuah martabak kembali masuk dalam mulut Al. Ia sedang menikmati setiap gigitannya, tahu-tahu saja memekik kepedasan. Al menggigit satu rawit yang Yusuf susupkan ke dalam salah satu martabak.

Tawa Yusuf pecah bersama dengan jingkrak-jingkrak kepedasan adiknya.

Dalam keluarga mereka, Al satu-satunya yang tidak menyukai makanan yang beraroma ataupun memiliki rasa kuat. Pedas salah satunya.

"Di kulkas ada jus tomat. Cepat minum!" kata Yusuf masih belum berhenti tertawa.

Al dengan cepat pergi ke dapur. Dengan mengendap-endap, Yusuf mengekori langkah adiknya. Al menyambar botol plastik yang dilihatnya dalam kulkas. Rencananya Al akan meminum dalam tegukan-tegukan besar. Tapi baru pertama masuk mulut, Al buru-buru menyemburkannya kembali.

Menyaksikan betapa sukses rencana mengerjai adiknya, lagi-lagi Yusuf terbahak. Tawanya pecah memenuhi setiap sudut rumah. Bahkan terdengar sampai ke tempat tetangga.

Oke, Yusuf menyebutnya jus tomat. Tidak salah sebenarnya. Tapi tomat yang sudah diolah menjadi saus. Yang dicampur merica, garam, dan entah apa lagi. Yang rasanya jelas jauh berbeda dengan jus tomat yang sebenarnya.

Jika diperhatikan lagi, warna jus tomat dalam botol memang terlalu pekat jika dibandingkan dengan jus tomat yang sebenarnya. Dalam kondisi kepedasan dan hanya berpikir untuk minum, mana sempat Al berpikir akan dikerjai lagi. Mana sempat ia memilih ingin meminum apa. Al jatuh sejauh-jauhnya dalam kejahilan kakaknya.

Al menatap kesal. Keningnya berkerut. Bibirnya mengatup rapat. Ingin marah tapi sudah terlalu lelah. Ingin mengomel tapi percuma. Al hanya menghela nafas dan membersihkan muntahan jus tomat ala kakaknya. Ia kemudian melemparkan lapnya pada Yusuf.

"Ingat cuci piring sebelum tidur," kata Al kemudian masuk ke kamarnya.

Bagi Al, untuk pria seusia Yusuf, tingkah kekanak-kanakannya sudah tidak tertolong lagi. Bagaimana orang dengan sikap seperti itu bisa menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab seperti penilaian istrinya. Bagaimana mungkin orang yang begitu usil, bisa lebih cepat naik pangkat dan menjadi manajer mendahului beberapa orang seniornya. Al tidak habis pikir. Benar-benar tidak bisa membayangkan.

Bagaimana adiknya berpikir tentang sikapnya, Yusuf tahu benar. Terkadang ia sendiri merasa sikapnya menyebalkan dan terlalu berlebihan. Tapi sebagian dari dirinya menikmati setiap kejahilan yang ia lakukan. Sebagian lagi menganggapnya kekanakan.

Seandainya bukan karena Al, Yusuf tidak akan pernah tahu menyenangkannya berbuat jahil. Rasanya kurang lebih seperti saat mendapat gaji pertama. Atau kurang lebih sama seperti kerja kerasmu akhirnya dihadiahi dengan pangkat yang lebih tinggi.

Pernah terpikirkan dalam benak Yusuf untuk berhenti menjadi menyebalkan dan berhenti kekanakan. Al baik-baik saja sekarang. Ia telah tumbuh dengan sangat baik. Menjadi pria dengan kepribadian luar biasa. Tapi, seperti inilah sikap kakak yang Al kenal selama 20 tahun. Jahil, kekanakan, menyebalkan.

Jika Yusuf memutuskan benar-benar berubah, menunjukkan sikap serius dan gila kerja, atau pria dewasa yang romantis, bagaimana interaksi mereka akan terjalin setelahnya. Bagaimana Al akan melihat dirinya. Bukankah itu artinya ia akan berubah menjadi orang yang berada. Orang yang bagi Al benar-benar asing.

"Kakak!" Al keluar dari kamarnya sembari membentak. "Kecilkan volume televisinya. Ini sudah malam."

Suara televisi terus bertambah karena Yusuf tidak sadar sedang menduduki remote. Begitu sadar, ia segera menekan mode mute dan melemparkan remotenya. Yang kedua, Yusuf baru saja sadar kalau Al telah membentaknya. Yusuf beranjak dari duduknya dan mendekat ke arah adiknya.

"Berani sekali kamu membentak majikanmu."

Seolah tersadar, Al segera merapatkan mulutnya. Ia menundukkan kepalanya. "Ampun, Ndoro," katanya nyaris berbisik.

"Ampun?" Yusuf mengulang. "Kamu tahu apa kesalahanmu hari ini?" Al mengangguk. Kepalanya masih menunduk. "Memerintah Padukamu, melempar lap ke kakakmu, terakhir membentak majikanmu." Yusuf menggunakan 3 panggilan yang berbeda untuk menyebut dirinya.

Al tidak menyahut. Ia masih menundukkan kepalanya.

"Sini!" Yusuf menarik Al. Bukan di tangan, melainkan di telinganya. Al mengaduh kesakitan tapi Yusuf baru melepaskan jewerannya setelah mereka tiba di dapur. "Sebagai hukumannya, kamu yang cuci piring hari ini. Aku mau tidur."

"Ha?!"

Yusuf pergi begitu saja. Bahkan sebelum ia mendengarkan jawaban adiknya. Yusuf mematikan televisi kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Benar-benar seenaknya.

Al hanya bisa pasrah. Ia menyalakan keran tanpa mengomel. Benar-benar tidak ada yang bisa menyaingi kakaknya.

Tidak! Al berpikir lagi dan wajah menyebalkan Zeroun memenuhi benaknya. Untuk kategori menyebalkan, keduanya mungkin bisa bersaing. Tentu saja menyebalkan dalam hal yang berbeda.

Kembali pada pagi ini.

Yusuf telah menyanggah ranselnya dan siap meninggalkan rumah ketika mendengar dering ponsel. Yusuf merogoh sakunya. Bukan, bukan dari ponselnya karena nada deringnya tidak sama. Yusuf mencari-cari dan menemukan sebuah ponsel tergeletak di samping televisi. Ponsel milik Al.

"Dasar ceroboh!" celetuk Yusuf. Ia mengambil ponsel adiknya dan mengantonginya.

Masih ada cukup waktu untuk mengantar ponsel Al, Yusuf akan mampir ke tempat kerja adiknya. Tempatnya berada di jalur yang sama dengan tujuannya, jadi tidak masalah.