Cleo tidak pernah berpikir jika dirinya akan berdiri di depan pintu pondok sembari mondar-mandir hanya karena menunggu kedatangan Lucio. Dia pun tidak pernah menyangka akan memenuhi permintaan Mr. Rolleen untuk menunggu Lucio pulang. Lebih gilanya lagi, gadis itu sekarang khawatir mengingat ini sudah lewat di jam seharusnya pria itu kembali.
Sampai kemudian, Cleo terpikirkan bagaimana perasaan Mr. Rolleen saat menunggunya pulang di waktu lalu. Meski pria tua itu tampak biasa saja saat mendapati dirinya dan Lucio pulang sangat terlambat, namun siapa yang akan menduga jika sorot mata tenangnya itu hanyalah kamuflase untuk menutupi kekhawatirannya.
Oh, seharusnya Cleo belajar lebih peka.
Cleo mengigit kukunya dengan resah. Sungguh, dia benar-benar tidak berniat melakukan hal ini. Jelas sekali ini bukan dirinya yang mengkhawatirkan sosok seperti Lucio sementara pria itu kerap membuatnya kesal dan marah. Tetapi entah bagaimana, dan dari mana datangnya perasaan cemas yang dia rasakan sekarang. Rasa-rasanya, ini semua tidak nyata seolah-olah dirinya sedang berjalan di atas kontrol orang lain meski nyatanya tidak seperti itu.
"Lucio belum pulang juga?"
Mr. Rolleen tiba-tiba keluar dari dalam kamar tidurnya lantas mengamati tingkah Cleo. Meski sekilas dan nyaris tidak terlihat sama sekali, tetapi tepat di ujung bibirnya, Mr. Rolleen menarik satu senyum kecil yang tidak kentara.
"Ya," jawab Cleo, sama sekali tidak berbalik ke arah Mr. Rolleen. Kedua manik gadis itu sesekali mengintip ke arah jendela kecil di dekat pintu, hanya untuk memeriksa apakah Lucio telah kembali atau belum. Namun, untuk yang kesekian kalinya, dia lagi-lagi tidak menemukan apapun selain jalan remang dengan beberapa cahaya obor sebagai penerang.
Mr. Rolleen menghela napas kemudian duduk di kursi kayu tidak jauh dari posisi Cleo. Dan tanpa Cleo duga, Mr. Rolleen akan berkata, "Aku tidak menyangka kamu akan terlihat sangat khawatir." Kedua manik Mr. Rolleen menyipit curiga, sementara di sisi lain, Cleo segera berbalik dan telah melotot ke arah pria tua itu tepat setelah dia menambahkan, "apa jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta? Mungkinkah kamu takut sesuatu terjadi kepada tunanganmu?"
"Yang benar saja!!" sangkal Cleo cepat. Kedua maniknya mengerjap beberapa kali, sedang tangannya bergerak mengibas-ngibas seolah di sana lah yang seharusnya dia singkirkan. "Dari mana kamu bisa mendapatkan kesimpulan mengerikan seperti itu." Cleo tiba-tiba bergidik. "Oh, aku benci hal gila ini!"
Kening Mr. Rolleen mengernyit keheranan. "Lalu mengapa kamu berdiri gelisah sejak tadi di situ? Kamu tidak sadar ya, kalau kamu nyaris saja mengigit jarimu sendiri."
"Hah?!" Sekali lagi manik Cleo mengerjap, tampak kebingungan dengan apa yang Mr. Rolleen katakan. Dengan suara kecil, Cleo berkata, "aku tidak pernah melakukan hal seperti itu."
"Oh begitu ya," tahu-tahu Mr. Rolleen menyeringai dengan wajah nakal, "mungkin yang aku lihat beberapa waktu lalu hanyalah khayalan saja."
"Benar, itu hanya khayalan saja. Aku jelas tidak akan pernah mencemaskan Lucio. Lagi pula, bukankah kamu yang memintaku untuk menunggu di sini. Jadi, dengan kata lain aku hanya menuruti permintaanmu sebagai cucu yang berbakti." Cleo menyengir.
Sebaliknya, Mr. Rolleen memutar bola mata dengan jengah. "Cih, dasar pembohong," gumamnya.
Detik selanjutnya, sesaat setelah perdebatan tidak penting itu terjadi, keheningan telah menelan keduanya sehingga yang terjadi hanyalah kesibukan batin tak berujung. Jika Mr. Rolleen sedang mencoba menghabiskan cerutu yang tengah dihisapnya, maka Cleo hanya berdiam diri di depan pintu sembari sesekali melirik ke arah jendela yang sengaja dibuka gordennya.
Kemungkinan karena tidak ingin berakhir mendapatkan ejekan dari Mr. Rolleen lagi, Cleo tidak punya pilihan untuk terlihat lebih tenang dari sekarang.
Sampai kemudian, saat di mana Cleo nyaris saja ingin menyerah untuk menunggu dan memilih beranjak tidur di kamarnya, siapa yang menduga bahwa sosok Lucio perlahan-lahan muncul di jalan setapak menuju pondok. Mengingat bagaimana postur tubuh Lucio yang bagus dan mudah dikenali, Cleo sudah bisa menebak sosoknya hanya dengan sekali lihat kendati kondisinya dalam keadaan gelap.
"Akhirnya dia pulang," Cleo mengeram jengkel. Tanpa bisa basi, dia segera membuka pintu dan berdiri di depan teras dengan wajah garang. Tangannya bahkan sudah memegang sapu, berlagak bagai seorang ibu yang akan memberi hukuman kepada anak laki-lakinya yang suka berkeliaran.
Nyatanya, Lucio cukup terkejut saat mendongak dan kedua maniknya telah mendapati keberadaan Cleo. Gadis itu menghadangnya dengan aura membunuh yang amat kentara. Di sisi lain, ketika Lucio melirik ke dalam pondok, dia bisa melihat keberadaan Mr. Rolleen sedang menatapnya dengan intens sembari menghisap dalam-dalam cerutu tembakaunya.
Tatapan Lucio berubah datar saat dia memilih untuk menatap gadis itu. "Apa?"
"Apa?!" Cleo menghembuskan napas, mencoba tetap mengendalikan diri untuk berada digaris aman kesabarannya. "Kamu masih bilang 'apa' setelah pulang sangat terlambat dan membuat Mr. Rolleen cemas seperti orang tolol?"
"Ah, bukankah itu dirimu?" celetuk Mr. Rolleen tiba-tiba.
Cleo menghunus batang sapu ke arah belakang kendati dia tidak menoleh. "Mr. Rolleen, kamu diam saja. Biarkan aku yang memberi hukuman kepada pria pembangkang ini. Semoga setelah kesalahannya, dia bisa segera meninggalkan pondok."
"Heh?" Mr. Rolleen sudah hendak melangkah mendekati Cleo untuk memberi koreksi atas perkataan gadis itu. Namun, dia bahkan belum mengambil langkah pertama saat Cleo kembali menghadangnya dengan sapu.
"Sudah kubilang diam saja, dan biarkan aku yang mengurus si pembangkang ini."
"Siapa yang pembangkang?"
"Tentu saja Lucio!" bentak Cleo, sementara Mr. Rolleen terdiam.
Huh! Jadi ini yang direncanakan Cleo, lantas menerima dengan mudah begitu dimintai menunggu Lucio. Tidak lain hanyalah untuk menjadikan alasan tersebut sebagai kunci membuat Lucio terusir dari pondok. Licik sekali gadis itu! pikir Mr. Rolleen, jengah."Sebenarnya apa yang sedang kalian lakukan? Bukankah seharusnya kalian telah berada di kamar dan tidur?" Pada akhirnya, Lucio bertanya demikian.
"Hei, kamu benar-benar tidak sadar diri? Semua ini kerja salahmu. Kamu pulang sangat terlambat sehingga Mr. Rolleen yang terkasih memintaku untuk menunggumu." Telunjuk gadis itu mengarah ke wajah Lucio yang sedang menatapnya dengan mimik datar. "Alasan ini seharusnya cukup untuk membuatmu diusir dari pondok."
"Cleo, jangan seenaknya!" sahut Mr. Rolleen jengah.
"Aku tidak seenaknya, memang itulah kenyataannya." Telunjuk Cleo kembali diarahkan kepada Lucio sementara wajahnya menatap dengan garang. "Dia ... sungguh tidak pantas berada di pondok ini. Orang yang telah melanggar aturan seperti itu tidak layak dipertahankan."
"Lalu bagaimana denganmu? Bukankah kamu juga sering terlambat?" celetuk Lucio dengan wajah datar.
Kontan Cleo berbalik menghadap pria itu. Maniknya melotot tak senang sesaat setelah tatapan mereka saling menubruk. "Itu ...,"
"Sudahlah, aku tidak suka memperpanjang masalah." Mr. Rolleen berjalan mendekati Lucio lantas menepuk pundak pria besar itu dengan senyum sumringah. "Nah, Lucio, masuklah ke dalam kamarmu, aku sangat tahu apa yang kamu alami sebelumnya. Kamu pasti lelah, abaikan saja Cleo."
Cleo sudah hendak melayangkan banyak protes mengingat bagaimana kelakukan Mr. Rolleen yang acap kali membela Lucio, tetapi pada akhirnya gadis itu bahkan tidak sanggup mengeluarkan satu kata begitu Mr. Rolleen berlalu sembari menuntun Lucio memasuki pondok. Cleo hanya bisa termangu dengan wajah muram luar biasa. Ini bukan kali pertama terjadi, fakta kelamnya Cleo sudah sangat sering mendapati perlakuan tidak adil seperti ini dari Mr. Rolleen.
Sembari menendang batu kecil di bawah kakinya, Cleo mengeram marah lalu menatap kepergian Mr. Rolleen dan Lucio. Nyatanya, rencana besarnya hari ini benar-benar gagal.