Keduanya sudah berdiri di depan pintu istana. Sementara Mr. Rolleen tampak antusias ketika pintu besar yang menghubungkan aula istana dengan tangga utama di mana dirinya berada dibuka, tetapi anehnya Lucio justru tampak murung, tatapannya kosong, dan jangan lupakan rahangnya yang mengeras. Jelas, perkataan Mr. Rolleen beberapa waktu lalu telah mengusiknya, lantas membuatnya tidak bisa mengendalikan suasana hatinya hingga terlihat jelas.
Niatnya, Lucio ingin menanyakan beberapa hal kepada Mr. Rolleen perihal kesepakatan sepihak mereka di jembatan. Tetapi tampaknya Mr. Rolleen terlihat enggan membahas hal tersebut sehingga ketika Lucio berniat mengangkat pembicaraan itu, Mr. Rolleen selalu mengalihkan ke arah yang justru cenderung tidak penting.
"Silahkan, Menteri Louis sudah menunggu kalian di dalam."
Lucio mendongak begitu lengannya tiba-tiba ditarik oleh Mr. Rolleen dan mereka kini melangkah memasuki aula istana. Tempat ini jelas sangat megah dan luas. Bila Mr. Rolleen terpana menyaksikan kemilau serta kemerlap itu, maka sekali lagi Lucio justru tampak tidak senang. Oh, percayalah ketika Lucio berkata bahwa dirinya tidak begitu menyukai kemewahan. Jika saja dia ingin, Lucio tentu tidak akan meninggalkan rumahnya yang besar hanya untuk berada di pondok kecil milik Mr. Rolleen.
"Lucio, apa yang kamu lakukan? Kemari dan nikmati lah semua kemegahan ini," sahut Mr. Rolleen sementara pria itu sedang menunjuk lampu istana yang besar. Tergantung sempurna di atas langit-langit yang kokoh dan tinggi. "Aku jadi berpikir, betapa hebatnya orang-orang yang berperan penting dalam pembangunan tempat ini." Pria tua itu berdecak kagum sekali lagi, "aku terkesan!"
"Sudah sepantasnya istana dibuat sangat indah. Akan sangat memalukan jika kerajaan lain datang berkunjung dan menjumpai kerajaan Naserin yang terkenal karena kemakmurannya, nyatanya memiliki istana yang menyedihkan."
Mr. Rolleen tercekat mendengar komentar panjang Lucio. Sementara di sisi lain, pelayan istana yang sedang berjalan beberapa langkah di depan mereka kontan berbalik sebentar hanya untuk memelototi Lucio yang dibalas pria itu dengan senyum remeh.
Lucio tampaknya tidak nyaman dengan suasana istana, pikir Mr. Rolleen.
Apa mungkin ini adalah kali pertamanya masuk ke istana?
Mr. Rolleen mungkin pernah ke sini beberapa tahun terakhir, tetapi sudah cukup lama sehingga dia sangat takjub menjumpai perubahan besar ini.
Mr. Rolleen lalu mendekati Lucio dengan wajah memerah. Jujur saja, dia merasa tidak enak hati kepada pelayan pria yang sedang mengantarkan mereka ke ruangan Menteri Louis.
"Hei, Lucio, seharusnya kamu tidak mengatakan sesuatu seperti itu," bisik Mr. Rolleen. Lucio tidak mengindahkan selain hanya mengangkat bahu dan melanjutkan langkah, sebaliknya, Mr. Rolleen mencoba mengimbangi langkah cepat pria muda itu. "Kamu ini kenapa? Aku perhatikan suasana hatimu sedang memburuk sejak memasuki istana?" Kedua maniknya menyipit curiga, "apa mungkin kamu punya—"
Siapa yang tahu bahwa Lucio akan berbalik dengan tiba-tiba, lalu memaksa Mr. Rolleen menghentikan langkah berserta kalimat panjangnya. "Mr. Rolleen, sepertinya kita sudah hampir sampai jadi persiapkan dirimu untuk bertemu dengan Menteri Louis," potong Lucio. Usai berkata demikian, dia bergegas meninggalkan Mr. Rolleen beberapa langkah di belakang.
Di sisi lain, pria tua itu justru memiringkan kepala, mengamati kepergian Lucio yang kini memasuki lorong penghubung di dalam istana. "Ada apa dengan anak-anak ini?" gumamnya.
***
Menteri Louis sedang berkutat dengan tumpukan pekamen kerajaan ketika tiba-tiba saja pintu ruangannya diketuk dari arah luar, dan sedetik kemudian, sosok pelayan pribadinya masuk bersama dua orang lainnya di belakang. Mereka tampak tidak asing sehingga segera setelah sang menteri menyadari siapa yang tengah bertandang ke tempatnya, menuntunnya segera bangkit untuk menyambut.
"Kalian sudah datang rupanya." Menteri Louis menuruni undakan tangga batu dan menghampiri keberadaan Mr. Rolleen bersama Lucio, sementara pelayan pribadinya berderak meninggalkan ruangan. Menutup pintu dengan pelan dan menyisakan ketiga orang itu di dalam. "Duduklah," ajaknya sembari menuntun keduanya mendekati sofa kulit di samping mereka.
Tampaknya, Menteri Louis memiliki selera yang bagus untuk urusan dekorasi.
"Jadi, bisakah kita langsung ke intinya saja, mohon maaf tetapi tampaknya aku harus segera pulang."
Tidak hanya menteri Louis yang terkejut mendengar perkataan tiba-tiba Lucio, tetapi Mr. Rolleen bahkan sudah menjatuhkan diri di atas sofa saking syoknya.
"Lucio, apa yang kamu katakan?!" Mr. Rolleen setengah mengerang, tidak habis pikir dengan kelancangan pria itu. Kesannya, Lucio sedang memerintah Menteri Louis seolah-olah dia jauh lebih sibuk. "Hei, jangan membuat masalah di hadapan Menteri," kesalnya.
Kendati cukup terperangah dengan perubahan sikap Lucio yang terkesan tiba-tiba, pada akhirnya, Menteri Louis hanya tersenyum lantas menatap Lucio. Pria muda itu terlihat tenang. "Mr. Rolleen, aku tidak masalah, mungkin Lucio memiliki urusan penting."
"Benar, Cleo sedang sendiri di pondok," sahut Lucio enteng.
Sekali lagi Mr. Rolleen dibuat terpanah. Dengan senyum canggung dia menatap menteri Louis dibarengi wajah memerah menahan malu. "Ah, sepertinya Lucio sangat mengkhawatirkan Cleo." Pria tua itu segera terkekeh lantas disambut senyum ramah milik Menteri Louis. "Mereka sudah seperti saudara, jadi sudah sepantasnya Lucio mengkhawatirkan Cleo, belum lagi akhir-akhir ini gadis itu sedang menjadi incaran beberapa orang tak menyenangkan. Anda sudah melihatnya sendiri saat berkunjung ke pondok kami terakhir kali."
"Ya—"
"Kami tidak bersaudara." Lucio lagi-lagi memotong tanpa mencoba mengerti situasi. Sebaliknya, tatapan pria muda itu menghunus Mr. Rolleen yang balas menatapnya dengan manik melotot. "Apa kamu lupa aku ini tunangannya?"
"Apa?! Tapi—" Mr. Rolleen tercekat.
"Ah, apa kalian punya masalah? Tampaknya Lucio lebih tertarik membahas masalah keluarga kalian alih-alih mengenai sayembara yang akan digelar Ratu Veren." Anehnya, Menteri Louis justru terkekeh mendapati perdebatan kecil antara Lucio dan Mr. Rolleen.
Sembari menahan malu, Mr. Rolleen beralih ke arah Menteri Louis. Pria tua itu mencoba menyinggungkan satu senyum, tetapi tampaknya satu-satunya garis bibir yang dapat dia munculkan hanyalah senyum canggung yang terkesan mengerikan.
"Menteri, Anda sangat tahu bahwa bukan itu tujuan kami kemari, maksudku, kami datang hanya untuk membahas keikutsertaan Lucio sebagai peserta nanti mengingat aku sudah tidak memungkinkan untuk mengikutinya." Mr. Rolleen mencebik tak senang ke arah Lucio begitu menambahkan dengan suara jengkel, "lagipula, urusan keluarga kami sudah selesai dan Lucio sudah sepakat."
"Sepakat?" Lucio mengernyit. "Aku sama sekali tidak ingat kapan aku menyetujuinya, yang ada, kamu lah yang terkesan memaksaku untuk menyetujui kesepakatan sepihak itu tanpa mau mendengarkan penjelasanku."
Mr. Rolleen terbelalak. Terburu dia mendekat ke arah Lucio lantas membisikinya kata, "Bodoh! Apa yang kamu lakukan di depan Menteri Louis? Lupakan masalah Cloe dan fokus saja kepada sayembara ini."
Lucio menyeringai. "Kurasa aku perlu meluruskan sedikit masalah ini Mr. Rolleen. Sejak awal, kedatanganku ke pondokmu adalah untuk meneruskan wasiat mendiang kedua orang tuaku. Dan kesepakatan awal kita adalah aku akan menjadi muridmu jika bersedia menikahi cucumu yang menyebalkan itu. Tetapi tampaknya kamu sudah ingin merubah isi perjanjian tidak tertulis kita dengan sangat mudah. Padahal aku sama sekali tidak berniat mengubahnya."
Mr. Rolleen sungguh kehabisan kata-kata. Apa yang Lucio katakan sama sekali tidak dia mengerti. Jika selama ini pria itu tidak keberatan menikahi Cleo, lalu mengapa dia justru tampak acuh tak acuh, bahkan cenderung membuat Cleo tersakiti kendati gadis itu tidak menyadari perasaannya sendiri.
Huh! Ini menyebalkan!
Pada akhirnya, Mr. Rolleen mencoba memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Semua fakta tentang kejelasan hubungan antara Lucio dan Cloe benar-benar membuatnya pusing.
Maniknya lantas bergulir menatap Menteri Louis yang sedang mengamati dalam senyum. Sepertinya sang menteri tidak keberatan bila waktu mereka dialokasikan sedikit ke pembahasan masalah 'perjanjian' yang tak kunjung menemukan titik terang.
"Kamu ini ...," ujar Mr. Rolleen setengah mengerang jengkel kepada Lucio yang tiba-tiba menyeringai.
Sebaliknya, Menteri Louis menghela napas di kursinya. Ini akan panjang, pikirnya.