Ini sudah lebih beberapa menit semenjak Johan menangis karna kejadian mendadak yang tadi menimpa Anna, terbilang cukup membahayakan.
Terasa sesak di dada sekaligus di pernapasannya, ucapannya tersendat dan terbata, "Maafin Johan.. hiks Johan gabisa ngapa-ngapain, Johan gabisa beladiri kaya kakak, Johan takut kak Anna-"
"JOHAN DRESTA." Anna menangkupkan kedua telapak tangannya di kedua pipi Johan secara bersamaan seperti tamparan, tak ada cara lain agar Johan bisa tenang dan diam.
Cara itu berhasil, Johan berhenti menangis dan mendadak tenang meski nafasnya masih tak beraturan, "Kak.."
"Jangan cengeng, lo udah besar, liat kan gue gapapa dan babon itu ga akan bisa ganggu gue lagi." Anna menegaskan sekaligus menenangkan pria cengeng dihadapannya.
"Aku cuma takut kakak luka.." Johan menundukkan kepalanya, dia sedih karna sama sekali merasa tak berguna.
"Gue gapapa, lo juga bantu gue lepasin dari kuncian babon itu. Jangan nangis lagi udah." Anna melihat sekilas wajah Johan terdapat bekas merah di kedua pipinya, 'gue kayanya keterlaluan deh tadi.' Batinnya.
"Maaf kak, Johan sensitif banget yaa.., maaf." Tangisannya sudah berhenti namun tetap saja suaranya terdengar menurun dan sedih.
Anna menghela napasnya berat, "Terus sekarang lo maunya apa? Biar lo bisa tenang?"
"Eh?" Johan mendelik kaget, barusan apa dia tak salah dengar jika Anna menawarkan sesuatu.
"Ya.. kalau dipikir berkat lo juga gue bisa nyerang dia, ini sebagai tanda terimakasih aja." Ujar Anna seraya mengutak-atik ponselnya. 'Ini taksi online gue nyasar ke dimensi lain apa gimana deh, nyebelin.'
Mata Johan berbinar, "Yang bener kak???" Suaranya kembali ceria dan penuh antusias.
"Hm."
"Asik, Johan mau peluk kakak boleh kan?? Boleh yaa?"
Anna terkesiap, "Gak!" Apa-apaan itu kenapa ngelunjak.
"Yahh." Raut wajahnya berubah lagi, mudah sekali rasanya mengatur suasana hati anak ini. "Yaudaa aku mau nganterin kakak pulang aja, aku takut kakak dihadang lagi sama orang jahat, sekarang biar aku yang lawan."
Rasanya baru sebentar Anna tak tau apa ini bisa dibilang ungkapan perdamaian atau bagaimana, "Oke." Anna meng-iyakan, meski berpikir interaksi baik ini hanya akan terjadi sementara tetap saja Anna tak percaya sepenuhnya pada Johan.
Johan terlihat senang, "Aku dianter supirku kak, sebentar ya kuhubungin dulu."
Ini hanya permukaan, firasat Anna mengatakan ada kartu yang tak dikeluarkan Johan. Entahlah hanya firasat tapi mengingat anak ini bisa sesuka hati memainkan panggung sandiwaranya, wajar jika Johan memiliki rahasia yang tak diketahui Anna bahkan siapapun.
'Ya, bukan urusan gue tapi kalau sampe dia bawa-bawa gue, gue bakal habisin dia sama kaya babon tadi.' Batin Anna.
Beberapa menit mereka berdua menunggu dan duduk di tepi, di kursi panjang yang disediakan khalayak umum.
Keheningan menjalar sesaat sampai Johan membuka suara, "Kakak belajar gerakan terakhir tadi dimana? Kupikir kakak cuma bisa taekwondo. Kakak bisa banyak beladiri ya."
Suasana jadi mencekam layaknya introgasi, ada apa ini? Jawab saja seadanya, "Ah itu systema seni bela diri Rusia."
"Systema ya.. jarang ada yang bisa disini, bukannya itu diperuntukan buat tentara Rusia? Kakak diajarin siapa?" Johan melirik sekaligus menatap Anna, tatapan yang berbeda dari sebelumnya, tatapan yang tadinya ceria dan hangat berubah menjadi penuh intimidasi.
Seakan menggali jawaban dan Anna juga sadar, situasi ini seperti introgasi, kartu yang disembunyikan Johan. Ini hanya dugaan, apakah Johan sedang mencari seseorang yang berhubungan dengan beladiri ini?
"Kenapa lo mau tau?" Anna bertanya balik, enak saja pikirnya menggali informasi orang seenaknya.
Suasananya mendadak berubah lagi, "A- ah itu soalnya keren banget terus beladiri itu juga jarang, jadi mungkin Johan juga mau belajar."
Senyuman palsu itu terpampang lagi, benar-benar tak bisa dipercaya pikir Anna.
"Ah itu kak mobilnya udah dateng." Johan lekas menghampiri begitupun dengan Anna. Mereka langsung masuk kedalam dan duduk di kursi belakang.
Supir tersebut melirik Anna dari spion depan, "Tuan muda-"
"Akhh Yatora-san, jangan panggil begitu." Johan memotong kalimat supirnya.
Yatora? Orang jepang?
"Maafkan saya, sekarang kita akan kemana?" Supir tersebut bertanya lagi seraya melirik pada Anna lewat spion depannya.
"Apartemen tulip." Anna menjawab singkat.
"Baiklah."
Di sisi lain Johan hanya diam tersenyum. Entah situasi apa yang akan menimpanya, Anna cukup waspada.
Setelah perjalanan berlalu dan sampai tujuan, Anna mengucapkan terimakasih dengan sopan kemudian bergegas pergi. Johan keluar ikut mengantarkan tapi Anna menolaknya dengan tegas dan tatapannya kembali sinis.
"Makasih tapi lo pulang aja, oh iya gue gatau apa yang lo cati tapi jangan libatin gue ke urusan lo, camkan itu." Setelah mengatakan sepihak Anna pergi meninggalkan Johan ditempat namun hal itu tak membuat Johan diam saja.
"Kak Anna.. " Johan memanggil gadis itu dari belakang agar berhenti. Suaranya terdengar sendu, Anna berbalik singkat memastikan apa yang sebenarnya ingin dilakukan anak ini padanya?
Johan menunduk, "Anu.. aku boleh minjem kunci mobil kakak? Ah ituu aku ga akan macem-macem, aku ngerasa ga berguna tadi jadi biarkan aku berguna meski sedikit.
"Apa maksudmu?"
"Biarin aku yang bawa mobil kakak ke bengkel." Di akhir Johan berani menatap Anna, Anna tak beegeming ia menghela napasnya kemudian melemparkan kunci mobil miliknya. Johan menerimanya dengan mata berbinar.
"Inget konsekuensinya kalau lo macem-macem." Anna memberikan peringatan lalu pergi begitu saja meninggalkan Johan, sedangkan itu Johan tersenyum, "Serahin samaku kak, aku janji ga akan macem-macem."
Semenjak berpisah Anna tak tau jelas bagaimana Johan menjalani kehidupannya, yang jelas ada warning dalam kepalanya, pria itu, Johan terlihat menipu.
Setidaknya apapun yang terjadi Anna telah memberikan bocah itu peringatan. Mengingat bocah itu cengeng dan lemah, mudah untuk menghabisinya.
Sekarang waktunya istirahat, pekerjaan hari ini dan kejadian tadi ketika Anna dicegat OB babon itu membuatnya penat.
Ketika ingin masuk ke kamar apartemennya Anna menyadari sesuatu, tetangga kamarnya yang biasa lampunya dimatikan kini menyala.
"Apa ada tetangga yang baru pindah ya?" Tak ada salahnya menyapa, toh mereka akan hidup berbarengan kedepannya.
Anna membersihkan dirinya, berganti pakaian, dan memberikan Leon makan kemudian menyisihkan beberapa potong kue sebagai sambutan hangat untuk tetanganya.
"Ini bukan masalah besar tapi kue Laura yang enak harus beneran gue kasih nih ah.." Anna sedikit menggerutu, ada rasa tak ikhlas memberikan kue kesukaannya secara percuma.
Sembari berjalan keluar Anna mencoel sedikit krim coklat di piringnya, "Ah enak banget, awas aja kalau ga di abisin gue kutuk lo tetangga."
Anna celingukan melihat sekitar, suasana apartemen sepi mungkin karna sudah gelap dan waktu bagi mereka istirahat. "Makan satu kali, ga ketauan ini." Tanpa perasaan bersalah Anna memakan 1 potong kue yang akan diberikan ke tetangganya.
"Enak bwanget asli." Perasaan senang karna indra perasanya menyapa kue coklat buatan Laura sahabatnya, kue yang sangat lembut serta coklat yang lumer di mulut, manis yang pas, ini semacam surga bagi Anna.
"Udah ah ntar kalap." Anna berdehem mempersiapkan dirinya, dengan satu tarikan nafas Anna mengetuk pintu kamar tetangganya.
"Halow bestie eh gaa anu- kalau cewek kita bisa temenan dan bisa gue ajak ghibah, kalau cowok bisa gue jadiin babu sih-" Anna bergumam sendiri memikirkan sapaannya hingga pintu kamar tertangga mulai terbuka.
Dengan penuh senyum mengharapkan hubungan baik, "Haii." Anna menyapanya namun sedetik kemudian raut wajah Anna berubah 180 derajat. Lagi? Kesialan apa yang menimpanya?
Pria di hadapannya, sosok yang Anna ketahui dan sosok yang Anna benci setengah mati.
"H- halo." Pria itu membalas dengan kaku sambil menunduk. Perawakannya lebih tinggi dari Anna, penampilannya berantakan seperti tak diurus, kantung mata yang legam menghiasi bawah matanya, tatapan kantuk, dan bau ini seperti bau bawang.
Daniel Saputro, mantan Anna yang kedua. Tak ada yang terlalu spesial dari dirinya kelihatan seperti seorang ansos penggila anime apa ya sebutannya, benar seorang otaku. Penampilan yang tak terlalu berubah, Daniel sangat suka memakai hoodie merah polos, lebih tinggi dari Anna namun sepantaran dengan Johan. Wajahnya cukup lusuh dengan kantung mata yang agak legam seperti tak ada warna dalam penampilannya.
Anna juga bisa menebak jika Daniel tak terlalu memperhatikan gaya hidupnya, hanya terkurung di dalam kamar seharian menghabiskan aktivitasnya menonton serial 2 dimensi itu.
Banyak pertanyaan melintas serentak di kepala Anna, apa alasannya? Kenapa Daniel tinggal di sebelahnya sekarang?
"Kebetulan ya Anna." Suaranya sama seperti dulu, kecil seakan sukar didengar, kebalikannya dengan Johan yang ekstrovert, Daniel tipikal introvert. Pemalu dan pendiam.
'Bocah wibu freak ini,' Anna membatin kesal. Jelas bukan kebetulan semata, apa yang sebenernya dilakukan Daniel disini?
"Oh ya kebetulan ya haha." Jelas Anna tak percaya begitu saja, "Kenapa lo bisa tinggal disini?" Nada suara Anna berubah di akhir. Tajam dan dingin seakan ingin menyeruak keberadaan Daniel yang tiba-tiba ada disini.
"Itu, ada urusan kerjaan, oh ini buatku?" Daniel merujuk ke kue yang dipegang Anna.
Dia mengalihkan topik ya.
"Makasih Anna." Tanpa panjang lebar Daniel merebut piring yang dipegang Anna, "Kue coklat ya, kebetulan aku lagi mau makan manis-"
Anna jelas kaget piringnya diambil tiba-tiba dari tangannya, ia merasa kesal. "Hei, balilin kue gue, lo pikir gue bakal percaya gitu aja sama lo?"
Daniel menghela napasnya kemudian memakan kue coklat tersebut di depan Anna.
"Heh." Anna jelas tak suka dan tak ikhlas, kue Laura yang enak harus berakhir di pria ini, mantannya yang menjijikan.
"Makanya Anna kan gitu, mau aku bilang karna kerjaan juga pasti ga akan percaya, mau aku bilang kebetulan juga ga percaya, semuanya serba ga percaya." Sambil melahap kue tersebut Daniel menatap Anna, "Kalau Anna terus-terusan ga percaya tinggal tanya aja atasanku sendiri."
Mulai, inilah sikap Daniel yang Anna benci.
"Kenapa Anna, kok diem? tanya atuh sama atasanku." Daniel menekannya dengan kalimat.
"Lo ga pernah berubah." Anna membuang tatapannya, sangat enggan menatap pria ini.
"Apasih, kan Anna yang buat aku kaya gini." Setelah beberapa kalimat dilontarkan Daniel menghabiskan kue tersebut.
"Apa lo bilang?" Anna tersulut emosi, bisa saja ia menghabisi Daniel saat ini, Anna mengepal tangannya begitu marah. Pria ini tak pernah berubah, selalu saja melimpahkan kesalahannya ke orang lain, menjadikan orang lain perisainya.
"Nih." Daniel menyerahkan piring kosong tersebut ke Anna, "Oh ada yang ketinggalan." Sekilas Daniel melihat ada krim coklat di samping bibir Anna. Daniel mengelapnya dengan ibu jari kemudian menjilat krim coklat tersebut di hadapan Anna.
Anna bergidik geli dan merinding, 'dasar bocah mesum.'
"Semoga kita jadi tetangga yang baik ya, Anna." |-Daniel