webnovel

Siang Menjelang Sore Hari

Pengulangan waktu telah terjadi padanya. Menyebabkan pria yang telah berkeluarga itu menderita insomnia, penyakit yang tidak dapat tidur di malam hari karena gangguan tertentu. Nama kepala keluarga itu adalah Owen Geraldo.

Ayah yang selalu mempunyai rasa tanggung jawab. Sejak pengulangan waktu pada tanggal 23 hari itu, Owen mulai resah setiap waktu. Kepalanya pening, lantaran Ia pula mengingat kejadian 3 bulan lalu.

3 bulan lalu, kasus di mana banyak petugas dari kepolisian gugur saat menggerebek TKP yang diduga digunakan sebagai tempat transaksi dan sejenisnya untuk barang yang disebut narkoba.

Benda yang akan membuat semua orang tergila-gila setiap menggunakannya. Barang terlarang di negara ini.

Mengetahui hal itu, mereka lenyap karena ledakan yang dibuat oleh beberapa pelaku dan sekarang pelaku sudah tertangkap. Namun kenapa Ayah yang memiliki putra yang gugur pada saat bertugas saat itu, kini masih terbayang-bayangi?

"Pak Owen, sebentar lagi akan sore. Yakin tidak ingin istirahat sebentar saja? Paling tidak minumlah walau hanya seteguk."

Pak Seta menceramahinya seraya mengetik sesuatu di layar laptopnya sendiri.

"Anda sendiri menyibukkan diri untuk produk yang akan datang."

"Hm, ya kau benar." Pak Seta berdeham.

"Kita tidak ada bedanya," ucap Owen

Beberapa kali, suara ketikan dan jarinya yang terus bergerak detik demi detik. Tak ada lelahnya, menatap layar dan memainkan jari tanpa mengenal waktu. Seta memiliki waktu untuk beristirahat sedangkan Owen sama sekali tak mau membuang waktunya.

Pukul 2 siang menjelang sore hari. Adinda, rekan kerja Owen yang seharusnya mengerjakan pekerjaan itu kembali datang setelah tengah siang tadi Ia pulang.

"Ada yang bisa ku bantu, Adinda?" Pak Seta bertanya lantaran, Adinda hanya berdiri diam di tengah jalan masuk.

"Maaf pak. Saya ingin membantu Pak Owen saja. Karena merasa tidak enak."

"Oh, rupanya begitu. Tapi kau selalu tak becus saat aku menyuruhmu sesuatu. Sebenarnya apa keahlianmu?"

"Sekali lagi maafkan saya."

Adinda bergegas ke tempat Owen berada sekarang. Dan bertanya apa ada hal yang bisa Ia bantu selain mencatat catatan itu.

Tidak lama, Adinda pun duduk di bangkunya, mengerjakan apa yang telah Owen perintahkan. Membantu menyalinnya, maka Owen akan memeriksanya kemudian.

"Jangan lakukan dengan tergesa-gesa. Takutnya nanti kau akan melakukan kesalahan lagi."

"Baik, saya mengerti."

"Adinda sangat menurut padamu rupanya," kata Pak Seta seraya berjalan ke arah jendela lalu membukanya untuk menyulut api pada cerutu miliknya.

"Bukankah sama saja. Bapak sendiri, mengapa menggunakan meja karyawan untuk bekerja?"

"Tidak masalah, bukan? Lagipula aku ingin menemani para karyawanku. Mana mungkin aku tega meninggalkan kalian begitu saja. Ah, iya," kata Pak Seta yang sepertinya melupakan sesuatu.

"Ada apa, Pak?"

"Adinda datang lagi kemari untukmu. Aku pikir kau akan menambah istri lagi, Pak Owen."

"Saya sudah tua. Lagipula sudah berkeluarga, untuk apa menambah be– istri."

Tampaknya, Owen hendak mengatakan sesuatu yang lain. Karena itu Ia mengganti kata-katanya.

Pak Seta lantas tertawa, mengerti apa yang hendak Owen katakan. Pak Seta, kemudian duduk di samping bangku Owen saat ini. Melihat kerja keras yang Owen lakukan seraya mengobrol dengan santainya.

"Kemampuan mu tidak pernah luntur sekalipun. Tua tidak membuatmu pikun, bukankah begitu Pak Owen?" kata Pak Seta menghembuskan asap cerutunya.

"Saya pikir, tua maupun muda tak ada bedanya kecuali kapasitas otak." Owen menjawab dengan kalimat yang mudah mengecoh pikiran.

"Apa barusan kau menyindirku?"

"Tentu tidak."

Pak Seta kembali tertawa.

Jari jemari Owen terhenti ketika Ia mendapatkan telepon dari ponsel pribadi. Tris yang menelpon maka Owen lekas mengangkatnya dan berjalan keluar dari kantor untuk menyendiri.

"Permisi sebentar."

"Istri tercintanya Pak Owen memiliki firasat yang bagus. Dia seolah tahu kalau ada gadis lain yang di dekat suaminya. Ck, ck."

"Tolong hentikan itu Pak Direktur. Saya terkesan seperti perusak hubungan seseorang kalau begitu."

Adinda merasa tersinggung namun Pak Seta sedikit tertawa lalu meminta maaf karena sebenarnya Ia tidak berniat mengejek mereka.

"Cinta memang sulit diungkapkan. Apalagi kalau cintanya adalah pria yang sudah berkeluarga. Jika, Pak Owen sudah menjadi duda, apa yang akan kau lakukan?"

"Apa maksudnya? Saya tidak bermaksud untuk berada di antara mereka."

"Heh, anak muda memang mudah ditebak. Tapi tetap saja tak mau mengaku, ya?"

Tentu saja yang barusan Pak Seta katakan adalah sindiran keras bagi Adinda. Lantaran Adinda telah menyukai Owen yang sudah memiliki beberapa uban di kepalanya. Wajahnya pun sudah mulai berkeriput, memang wanita aneh jika Ia menyukai pria tua seperti itu.

"Ya? Apa ada sesuatu?"

"Ini, di rumah. Kau tadi berpesan untuk tidak mengangkat telepon dari nomor asing terutama pada jam 10 malam. Tetapi, nomor asing yang mungkin sebelumnya kau pikirkan, sekarang telah menghubungi telepon rumah kita. Apa yang harus kulakukan?"

Pukul 3 sore hari. Senja mungkin akan sebentar lagi tiba. Akan tetapi, terdapat telepon yang menganggu di rumah.

"Jangan diangkat sampai aku pulang ke rumah."

Segera Owen menutup telepon lalu kembali masuk ke dalam kantor dan mengatakan sesuatu telah terjadi di rumahnya, maka Owen berpamitan untuk mengurusnya. Mungkin akan butuh waktu lama, meski begitu, Pak Seta mengijinkannya pulang.

Selama perjalanan kembali ke rumah dengan mobilnya. Owen menelpon telepon rumah lalu ke ponsel Tris, namun tak ada satupun panggilan yang terjawab. Seolah tidak diangkat entah karena gangguan atau hal lainnya.

Memikirkan hal buruk yang akan terjadi, membuat bulu kuduk Owen bergidik merinding. Rasanya, perasaannya kacau saat setelah mendapat telepon dari Istrinya.

"Suara parau, dan suara yang gemercik api. Aku tidak tahu apa yang Tris lakukan tapi aku juga tidak bertanya karena takut sesuatu akan benar-benar terjadi. Tapi semoga saja apa yang aku pikirkan itu tidak benar."

Suara parau dari Tris sungguh membuat Owen berpikir panjang. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah saat Owen tidak ada. Tapi seharusnya, jika benar ini pengulangan waktu maka harusnya waktu kematian Istri dan Anaknya saat di jam malam.

"Tapi kenapa nomor asing itu menelponnya sekarang? Saat itu, persis seperti ini. Aku tidak ada di rumah lalu kejadian itu terjadi. Kenapa waktunya jadi kacau? Apakah ini karena kepergianku dari rumah yang terlalu cepat?"

Dan benar saja apa yang menjadi firasat sekaligus yang dipikirkan oleh Owen saat perjalanan. Lantaran, ketika Ia sudah mendekati jalan rumahnya, terdapat mobil damkar yang lewat.

"Tris! Mia! Aku harap mereka–"

Kalimat yang berharap mereka akan baik-baik saja. Mendadak tak dapat Ia ucapkan saat itu. Owen berhenti tepat di dekat rumahnya.

Melihat asap dan damkar yang menghalangi jalan. Owen pun segera keluar dari mobil. Bahkan sebelum keluar dari mobil, Owen jelas melihat keadaan rumahnya yang nyaris hangus terbakar setengahnya.

Kurang dari jam 4 sore, terlihat dua mayat menggantung di balkon atas dalam keadaan terbakar. Tidak berkedip sekali pun bahkan sampai menganggu petugas damkar yang bertugas memadamkan rumahnya. Owen kembali ke awal dari semuanya ini terjadi.