Regina menatap berkas di tangannya. Pada cetakan dari kumpulan informasi tentang Prabu Adhinatha Wijaya, pria yang akan dijodohkan dengannya. Darwin memang anak yang sangat niat. Dia mengumpulkannya jadi satu dan dijilid menjadi sebuah kliping.
Sepasang netra wanita itu melebar setelah membolak-balikkan halaman demi halaman, sampai akhir, tapi tak menemukan apa yang ia cari.
"Dia … ini serius, tidak ada minusnya? Tidak suka berpesta, main perempuan, atau sebagainya?" Darwin mengangguk yakin, menjawab tanya yang Regina ucapkan dengan nada heran.
"Kaget, 'kan? Sama, akupun begitu, Kak. Adhinatha ini, benar-benar definisi pengusaha muda yang bersih dan lurus."
Bagus, awal mula yang bagus. Tapi Regina jelas tak boleh berpuas diri terlalu awal.
"Jangan mudah percaya dulu. Mungkin sumbermu kurang akurat. Coba cari lagi. Sampai ketemu minusnya."
Mengangguk, Darwin menuruti kemauan kakak perempuannya itu. "Jadi, akhir pekan nanti kamu akan tetap ikut makan malam itu? Bertemu Adhinatha itu?"
Wanita dengan rambut diikat satu itu mengangguk mengiyakan. "Tentu aku harus datang. Papa sudah menghendaki itu."
"Kalau kamu keberatan-"
"Darwin … aku sudah berjanji akan menjadi anak yang menurut."
Pria itu mencebik.
"Kamu memang menuruti apa yang orangtua kita kehendaki. Tapi hatimu ingkar, Kak. Kamu terus mencari minusnya pria yang papa pilih. Kamu ingin buktikan kalau papa salah pilih, 'kan?"
Regina menggeleng tegas. "Bukan itu." Memang bukan itu alasannya meminta Darwin melakukan tugas mata-mata ini. Bukan.
"Aku hanya mau pastikan laki-laki yang akan jadi pemimpin dan pendamping hidupku, adalah pria yang benar-benar baik dan takkan membuat ayah menyesal telah merelakanku untuknya."
"Denial saja terus, Kak."
Regina tersenyum. "Sana kembali ke ruanganmu, Pak Manager."
"Baiklah ibu direktur."
Tersenyum, Regina mengibaskan tangannya, mengusir adik lelakinya agar kembali ke ruangan untuk bekerja alih-alih di sini, menceramahinya. Ditatapnya berkas di tangannya, ditatapnya wajah pria bernama Adhinatha itu.
Prabu Adhinatha Wijaya, namanya sudah seperti seorang raja saja. Prabu. Wanita itu pun mendecih. Kembali mengamati bagaimana foto pria itu yang benar-benar terlihat sederhana dari gaya maupun cara berpakaian. Walau jelas pakaiannya bukan dari merk yang murah, tapi dari model dan gayanya benar-benar sederhana.
Ketukan pintu dari luar membuat Regina mendongak. "Masuk," ujarnya mengizinkan siapapun yang di luar sana untuk masuk ke ruangan wanita itu. Dimas, sekretarisnya itu muncul dengan membawa beberapa berkas di tangannya.
"Siang, Bu Gina. Saya mau menyampaikan beberapa berkas dari Pak Budi." Gina mengangguk, memberi izin Dimas menaruh berkas yang dia bawa.
"Ini berkas laporan dari tim kontrol Proyek Hotel Angkara?" Dimas mengangguk pelan.
"Sejauh mana progress pembanguannya?"
"Lima puluh persen, Bu."
Gina mengangguk mengerti. Dibukanya lembaran-lembaran berisi foto progress pelaksanaan
pembangunan, laporan keuangan rekapan minggu ini, dan rencana pelaksanaan dalam seminggu kedepan.
"Baik, ini akan saya pelajari nanti. Terima kasih, Dimas. Kamu bisa kembali ke mejamu." Dimas mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi, Bu." Dia pamit, mengangguk sopan sebelum berbalik meninggalkan Regina di kursinya. Wanita itu kembali pada berkas di tangannya, menekuri bagaimana wajah pria yang akan menjadi
suaminya itu.
***
"Mas Adhi …." Adhinatha, pria dengan kemeja biru donker dilapisi jas abu-abu itu menoleh dan menemukan pria dengan kemeja bergaris melambaikan tangannya menunjukkan eksistensi. Senyum pria itu terukir apik, menghampiri meja di dekat jendela guna memenuhi panggilan akan dirinya.
"Lama menunggu?" tanya Adhinatha begitu sampai di meja. Dia memeluk Damar yang membuka tangannya. Ditepuknya beberapa kali punggung pria itu, memberikan pelukan yang begitu ramah dan akrab.
"Aku juga belum lama sampainya." Cengir Damar begitu melepas pelukannya.
"Jadi, ada apa? Tidak biasanya kamu mengajakku makan siang bersama begini."
"Jadi begini, Mas. Aku perlu bantuanmu tentang masalah yang melanda perusahaan bosku. Aku perlu pendapatmu tentang ...."
Obrolan mereka berlangsung begitu serius sehingga tak menyadari ada orang yang diam-diam merekam interaksi mereka dengan kamera ponsel. Orang itu adalah Darwin, yang tak sengaja melihat Adhinatha saat makan siang yang sengaja cukup jauh dari kantor agar sekalian menghilangkan suntuk. Taunya, dia malah menemukan berita besar untuk kakak tercintanya.
Regina, di tempatnya yang baru saja selesai memutar video yanga diknya kirim sontak mengernyit heran melihat siapa dua orang yang direkam dari jauh itu. Die tak begitu mengenali siapa itu dan apa maksud Darwin mengirim video berdurasi enam detik itu tanpa keterangan apapun.
"Apa maksudnya sih, ini?" gerutunya dengan raut sebal.
"Ada apa, Re?" Regina mendongak, menemukan raut bingung di wajah temannya itu yang amat ketara. Regina hanya nyengir, menyadari kalau gerutuannya sampai di telinga irish —teman wanita yang saat ini tengah makan siang bersamanya.
"Bukan apa-apa. Ini adikku mengirimkan video tidak jelas."
Irish makin mengernyit. "Video tidak jelas?" Wanita dengan rambut diikat samping itu bertanya dengan nada
ambigu membuat Regina sontak menggeleng, mengibaskan tangan dengan panik.
"Bukan yang … argh bukan begitu." Melihat kepanikan Regina, Irish tergelak sejadi-jadinya. Regina itu
dari dulu tidak pernah berubah. Masih begitu menggemaskan dan polos secara personal. Irish tidak menyangka setelah bertahun-tahun berlalu, sifat itu masih melekat kuat pada diri Regina yang mana sudah tumbuh menjadi seorang direktur di usianya sekarang.
"Jadi … bagaimana?" tanya Regina setelah diam cukup lama menyelimuti keduanya.
"Apanya?" tanya Irish seraya memainkan pinggiran cangkirnya.
"Kamu menghilang untuk waktu yang sangat lama. Memblokir semua kontak yang bisa diakses, seolah menghilang semenjak kita lulus SMA."
"Aku melarikan diri."
"Dari?" Regina benar-benar tak mengerti apa yang Irisha maksud.
"Kamu melarikan diri dari apa, Rish? Sampai-sampai aku merasa dicampakkan oleh sahabatku sendiri."
Irish menghela napas. "Tidakah ini terlalu awal untuk membicarakan ini?"
Regina menggeleng tegas. "Jelas tidak ada yang terlalu cepat di sini, Rish. Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, dan sudah seharusnya kamu menjelaskan itu sesegera mungkin, bukan?"
"Tapi kita bahkan baru bertemu kali ini setelah sekian tahun berlalu. Bukankah sebaiknya menanyakan kabarku dulu saja?"
"Aku sudah mengetahuinya hanya dengan melihat dirimu yang sekarang. Yang aku tidak tahu itu alasan kamu pergi, Rish."
"Ginaaa!" rengekan Irish sama sekali tak meruntuhkan keinginan Regina untuk memaksanya bercerita. Apalagi tatapan wanita itu —yang seolah tak terbantahkan, membuat Irish tak bisa berkata tidak.
Dia menghela napas. Regina bukanlah tandingannya soal ngotot-ngototan. Wanita itu jelas tak pernah bisa kalah dari Regina yang pada dasarnya memiliki sifat pengatur, pemimpin, dan mampu menundukkan lawan bicaranya hanya dengan tatapannya yang lurus.
"Baiklah aku akan cerita. Jadi —"
Drrrt~~~
Regina melirik ponselnya yang bergetar menandakan pesan masuk. Sedetik kemudian notifikasi pesan nuncul, dan Darwinlah orangnya.
Darwin: aku curiga dia penyuka sesama jenis
"Apaaa?!"
***
Adakah yang rindu tulisan ini? Yuk tulis ulasan, komentarmu, biar aku masih semangat!
See you on the next part! :)