webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · สมจริง
Not enough ratings
312 Chs

Abimanyu dan Arjuna

Kebanyakan orang berpikir, sisi positif dari menjadi anak bungsu adalah selalu di manjakan, selalu bisa berbuat apa saja, dan semua keinginan akan selalu di kabulkan. Tapi tidak di keluarga Adyatma. Abah dan ibuk selalu memperlakukan keempat putra mereka dengan sama rata. Tidak perduli ia anak sulung atau anak bungsu. Di mata abah dan ibuk, mereka sama, sama-sama anak abah dan ibuk.

Walaupun begitu, menjadi anak bungsku bagi Aksara mempunyai banyak sisi positif yang tidak di dapatkan kakak-kakaknya.

Sejak kecil, Aksara selalu mempunyai tameng kuat berupa ketiga kakaknya. Anak itu juga merasa beruntung karena mempunyai tiga saudara yang di nilai mampu menuntunnya, memberi tau apa yang sebaiknya ia lakukan ketika menghadapi beberapa persoalan, yang abah dan ibuk tidak bisa lakukan.

Kakak-kakaknya juga tegas, di bandingkan Abah dan ibuk, sejujurnya Mas Abim yang paling Aksara takuti ketika pemuda itu marah. Apalagi jika anak kedua abah dan ibuk itu mulai kehilangan kontrol diri. Jika Aksara boleh berlebihan, rumah dua tingkat saja bisa roboh jika Mas Abim mengamuk.

Suara dering ponsel mengagetkan Aksa, membuyarkan lamunannya. Si bungsu yang tengah tidur terlentang di ruang tengah dengan menggunakan perut Mas Yudhis sebagai bantalnya sontak menoleh. Ponsel kakak sulungnya itu berdering nyaring.

"Abah nelepon nih," ujarnya.

Mas Abim yang tengah sibuk dengan skirpsinya mendengus, wajahnya dongkol luar biasa, "Baru sekarang nelepon. Keenakan jalan-jalan tuh sampe anak-anaknya di telantarin kaya gini,"

Juna mengangguk mengiyakan, "Emang tega abah mah ama kita,"

"Jangan lebay deh. Abah sama ibuk sibuk pasti jadinya baru bisa ngabarin sekarang," ujar Mas Yudhis kemudian bergegas menerima panggilan telepon dari abah, "Halo bah?"

"Halo Yudh. Gimana adek-adekmu nggak ada yang kesurupan to?"

Aksara mencebik kesal, "Bah kemaren Aksa di pakein rok span punya ibuk coba,"

"Siapa yang makein?" tanya abah.

"Mas Abim sama Juna tuh," adunya.

Mas Abim memekik tidak terima, "Orang dia kalah karambol kok bah. Dari awal udah di janjiin kalo yang kalah harus nurut diapain aja,"

Tawa renyah abah terdengar, Aksara semakin mencebik. Bibirnya maju beberapa senti.

Mas Yudhis terkekeh, menggelengkan kepalanya akan tingkah sok imut sang adik, "Kita ke Jogjanya naik pesawat kan bah? Udah di pesenin tiketnya?"

"Abah lagi berhemat le. Nyetir aja yo ke Jogjanya,"

Mas Abim sukses tersedak, melotot dramatis menatap sang kakak, "Mobil?"

"Kalo kamu mau bawa motor gede mu itu ke Jogja abah nggak masalah. Tapi sanggup?" terdengar abah tengah menahan tawanya di seberang sana.

Mas Abim semakin melotot, "Yo mboten lah," [ya enggak lah]

"Mas Yudhis, Mas Abim, sama A' Ajun punya SIM A semua kan?" abah memastikan.

Ketiganya mengangguk sontak mengundang desisan si bungsu, "Abah mana liat kalian ngangguk-angguk kaya patung kucing china," serunya asal, "Punya semua bah,"

"Yaudah nanti kalian gantian nyetirnya,"

Arjuna menarik napas dramatis, "Mas kayanya gue demam gara-gara kemaren kejedot si bahenol deh,"

"Lo jangan bawa-bawa bahenol gue dalam rencana licik lo ya Jun," Mas Abim memperingati, matanya memincing menyorot Arjuna yang jadi senewen sendiri, "Bahenol gue tuh suci dari segala dosa ya. Jangan lo salahin,"

"Udah jangan berantem," lerai Mas Yudhis, "Ab—lah udah di matiin sama abah,"

Mas Abim mendengus, "Kan apa gue bilang. Abah tuh pasti lupa sama anaknya kalo dia lagi seneng,"

"Julid julid," Arjuna bersorak, melempari sang kakak dengan kulit kacang.

Yang menjadi korban lemparan hanya melengos tidak peduli, lebih memilih mengotak atik ponselnya di banding meladeni seorang Arjuna Dhilan Adyatna yang tidak ada habisnya.

Hening. Semuanya fokus pada kegiatan masing-masing. Hingga suara serak si sulung memecah keheningan, "Lo pacaran sama Camila Jun?"

Arjuna menoleh lalu mengangguk, "Iya, kenapa?"

"Camila? Camelia Adisthy maksud lo?" tanya Mas Abim diangguki sang adik, "Putusin. Dia bukan cewek baik-baik,"

"Atas dasar apa lo bilang gitu?" Arjuna tersulut, menatap tajam sang kakak.

"Itu kenyataan. Putusin dia,"

"Kasih gue alasan yang jelas baru gue bakalan nurutin apa mau lo,"

Melihat sinyal bahaya Aksara segera beranjak diikuti Mas Yudhis, anak itu segera menyiapkan kuda-kuda mengantisipasi jika kedua kakaknya kembali adu jotos seperti beberapa waktu yang lalu.

"Gue nggak mau lo pacaran sama Camila. Dia bukan cewek baik-baik,"

Bugh

Tubuh Mas Abim tersungkur setelah Arjuna melayangkan bogeman mentah pada rahang bawahnya.

Sang kakak tertawa sinis, tanpa aba-aba balas meninju pipi sang adik, "Cuma gara-gara cewek itu lo berani ninju gue duluan?"

Aksara meringis nyilu, tidak bisa membayangkan sesakit apa bogeman yang baru saja Mas Abim layangkan.

"Gue nggak suka lo jelek-jelekin cewek gue," Arjuna berdesis, kembali melayangkan tinjunya hingga mengenai perut yang lebih tua.

Abimanyu Argan Adyatma, mundur beberapa langkah, meringis sakit. Tinjuan Arjuna memang tidak main-main. Kalau seperti ini ia jadi menyesal memaksa Arjuna untuk ikut club bela diri saat mereka duduk di sekolah menengah atas.

Sebelum Mas Abim membalas, si sulung terlebih dahulu bertindak, menarik telinga kedua adiknya hingga keduanya meringis, "Abah sama ibuk pernah bilang buat selesaiin masalah baik-baik. Jangan sampe ke bawa emosi,"

Mas Abim kontan meringis, memukul beberapa kali tangan kakaknya untuk melepaskan jeweran yang demi baju elsa kesayangan Aksa, bukan main sakitnya.

"Ke kamar sekarang. Kalian boleh balik kalo udah menyadari kesalahan masing-masing," ujar Mas Yudhis tegas.

Keduanya mau tidak mau mengangguk, melangkah gontai menuju kamar masing-masing.

Yudhistira menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, berbalik menatap Aksara yang berlindung di balik bantal, "Rah dengerin mas ya. Nggak semua masalah itu bisa di selesaikan dengan berantem. Berantem itu alternatif terakhir. Lebih baik menyelesaikan masalah dengan berunding. Membicarakannya dengan baik-baik,"

Yang lebih muda mengangguk patuh, tidak membantah sama sekali.

"Kalau kamu ada masalah bilang sama Mas. Cerita, jangan di pendam sendiri. Dan kalau kamu ribut kaya Abim sama Juna barusan, lebih baik kamu pergi dulu. Tenangin diri, jangan semakin terpancing amarah,"

"Iya Mas,"

"Sekarang kamu packing dulu, siap-siap buat besok. Pagi-pagi kita harus berangkat,"

"Sekolah Aksa gimana dong?"

"Abim tadi siang udah kasih ke wali kelasmu kok tenang aja,"

Aksara mengangguk malas, lalu mengerang, "Kenapa nggak pesawat aja sih?"

"Ya mas nggak tau. Kirain juga abah udah beliin tiket pesawat. Tau gitu mending mas aja yang beliin dari kemaren," jelas Mas Yudhis, "Kalo udah gini ya mau gimana lagi. Uang mas juga sebagian udah kepake,"

"Abah mah gitu banget. Mentang-mentang sekarang udah di Jogja,"

"Udah jangan ikutan julid kaya masmu,"

"Abahnya minta di julidin kok,"