webnovel

RABU DAN SELASA

Happy Reading *** Namanya Rabu Sore Hari, seorang pelukis jalanan yang 'katanya' sangat pemalas, tidak punya gairah hidup sama sekali dan selalu kelaparan. Kelebihannya satu, sangat percaya diri dan cerewet. Note : Kelaparan disini memang si pelukis kita ini malas sekali kalau disuruh makan— kalau sudah benar-benar lapar baru kelabakan ke tempat lukis untuk bekerja. Rabu selalu menyebut tempat itu, Jalan Art Place— dimana semua seniman jalanan yang tak punya profesi tetap berkumpul disitu. … Namanya Selasa Langit Malam, seorang Model Papan Atas Internasional yang 'lagi' mengalami nasib sial. Note : sial disini memang si model cantik kita ini baru saja mengalami kecelakaan serius. Selasa sebelum mengalami kecelakaan, ia selalu bermimpi bisa berjalan di runway— di seluruh perhelatan akbar Fashion Show dunia. Taraaaa … salah satu mimpi itu tercapai namun, bentuk dari kesuksesan mimpinya itu harus dibalas dengan kelumpuhan kakinya. No!! Disaat Selasa kehilangan harapannya, disitulah muncul sebuah harapan baru, yaitu Rabu Sore Hari— pria antah berantah yang super cerewet dan tidak tahu datang darimana dan iya… Itu semua adalah pertemuan yang tidak di sengaja! Iya, semua diawali dengan pertemuan seperti itu. Kalau tidak sengaja, mereka tidak akan bertemu. Yang jadi pertanyaannya… Apakah dibalik pertemuan yang tidak sengaja itu ada perasaan yang spesial diantara keduanya? Jika mereka punya perasaan spesial, apakah mereka bisa menjadi pasangan sempurna dan saling melengkapi? Dan, apakah mereka berdua bisa saling memberi dukungan supaya kehidupan mereka berdua bisa lebih baik lagi? Apakah Rabu bisa berubah menjadi orang yang tidak pemalas dan selalu giat bekerja supaya bisa menjadi Pelukis Profesional yang bisa mengadakan Pameran Tunggalnya sendiri? Apakah Selasa bisa mengembalikan lagi rasa percaya dirinya untuk bisa merasakan kembali kakinya melangkah di runway dengan segala keterbatasannya? Yukk… ikuti kisah receh perjalanan Rabu dan Selasa. Si Pelukis Jalanan yang pemalas dan super cerewet dan Si Model Papan Atas yang kehilangan kepercayaan dirinya. Follow sosial media saya… Instagram : @galuhlinan ... Cover by CANVA *** Salam Galuh

Galuhlinanti · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
35 Chs

MIMPI SELASA

21/3/22

Happy Reading

***

"Akhhh?!"  Selasa berteriak kaget. Refleks ia mendorong siapa saja yang ada di depannya dengan kuat. "Minggir! Jangan bawa aku!! Keluarkan aku dari sini?!" teriaknya begitu kalap. "Jangan sentuh aku!! Jangan bawa aku kesana!! Hah ... hah, minggir!!"

"He … he, buka matamu, Selasa." Rabu meraih tangan Selasa yang melayang-layang diudara. "Ini aku Rabu," lanjutnya, yang merasa sangat kasihan melihat keadaan Selasa yang seperti ini. 

"SELASA LANGIT MALAM!!"

Deg!

Mendengar namanya dipanggil sedemikian intens, membuat kedua mata Selasa langsung terbuka, dan membulat tegang.

Lagi-lagi saat ia membuka mata yang dilihatnya adalah mata biru safir milik pria yang baru saja dikenalnya.

Napasnya bersengalan amat takut. Dadanya seperti dililit oleh tali tampar. Jantungnya pun serasa mau meledak saat ini juga.

Ahh, sesak, sakit dan perih!!

"Tenang ... tenang, ini aku Rabu." Rabu mengunci kedua tangan Selasa yang gemetaran, menahan dan menekannya di dadanya. "Tarik napas, Sel ...." 

Hah ... hah ... hah.

Selasa menarik napasnya panjang-panjang. Mengikuti instruksi dari Rabu. Ia berusaha menghilangkan mimpi buruk yang baru saja didapatkannya saat tertidur tadi.

Jujur, ia tidak menyangka mimpi semengerikan itu akan hadir dalam tidurnya di siang bolong seperti ini, apalagi ini bukan di dalam kamarnya, ini tempat umum, yang udaranya pun sangat sejuk, dan begitu menenangkan jiwa dan raganya.

Hargh, sialan!!

Minggu dan Senin!!

Dalam mimpinya, mereka berdua berdansa dengan sangat mesra di tengah-tengah pesta yang terlihat sangat mewah. Mereka berdua pun sangat menikmati hidup mereka di dalam rumah yang dibangunnya dengan susah payah.

Apalagi kamar utama miliknya dibuat untuk tempat bercinta— cara bercinta mereka pun begitu sangat heboh dan sangat panas. 

Hah ... hah!

Kenapa mereka berdua sangat jahat padaku?!

Selasa menangis tersedu, hatinya teriris-iris melihat adegan demi adegan yang ia lihat di dalam mimpinya.

Dan, saat mereka berdua bersenang-senang diatas kesedihanku, dimana keberadaanku? Dimana aku didalam mimpiku sendiri?

Cihh?!

Mereka berdua menyeretku ke penjara dengan sangat kasar, mereka membuangku ke penjara, mereka memakiku dengan kata-kata kasar, dan mereka meninggalkanku disana. 

Iyaa, hahaha ....

Aku di penjara! 

Penjara itu sangat lembab. Tidak ada siapapun di dalam sana. Aku sendirian. Makanan yang mereka berikan pun adalah makanan basi.

"Sel?" 

Deg?!

Ah, Rabu, iya?

Selasa menggelengkan kepalanya dengan pelan, mencoba melihat mata biru safir yang bisa menenangkan jiwanya dalam waktu sekejap.

Ini, Rabu, Sel ... 

Oke, tadi itu hanya mimpi! Bukan kenyataan!

Minggu dan Senin, tidak akan sejahat itu padaku!

"Ada apa?" tanya Rabu, mencoba tidak panik menghadapi Selasa.

Selasa menarik napasnya panjang-panjang, lalu menggeleng cepat. "Ti-tidak a-apa—"

"Yakin?" Rabu dengan segera memotong ucapan Selasa.

Selasa mengangguk. "Ta-ta-tadi a-aku mi-mi—"

"Iya, aku tahu." Rabu mengambil termos, menuangkan isinya didalam tutup termosnya. "Tenangkan dirimu dan minum ini. Habiskan, ok?"

Selasa mengangguk, menerima gelas dan meminum airnya dengan sekali tenggak.

"Good." Rabu mengambil gelas itu, "Lagi?"

Selasa menggeleng.

"Sudah baikkan?"

Selasa mengangkat tangannya, dan ibu jari serta telunjuknya membentuk huruf O, yang artinya, "I'm ok."

"Oke." Rabu mengangguk mengerti. "Bisa ku tinggal lagi?" tanyanya, belum mau tahu tentang apa yang dimimpikan Selasa. Ia menunjuk ke arah easel-nya yang masih berdiri. Disana masih ada kanvas yang tadi digunakan untuk membuat sketsa Sun.

"Jangan tidur lagi, ok?!"

Selasa mengangguk. "Ma-ma-ma—"

"Ya, tidak masalah," kata Rabu mengambil alat lukis lagi. Ia akan memoles sketsa Sun supaya lebih bagus dan jika ada waktu, sedikit-sedikit ia akan memberikan warna pada sketsa itu.

"A-anak—"

"Sudah pulang. Dia titip salam padamu." 

"O-oh."

Rabu menarik easel dan kursi lipatnya dekat dengan Selasa. Ia tidak mau hal yang seperti tadi terulang lagi, huh.

"Ke-ke-kenapa pi-pindah ke—"

"Disana lumayan panas," kata Rabu mencari alasan. "Lagi pula, aku tinggal menebalkannya saja."

"O-o-ohh ...."

Rabu meneruskan lagi pekerjaannya.

Setelah selesai menebalkan sketsanya, ia mengambil piring palet yang warnanya sudah pudar dan mencari cat minyak yang akan digunakan.

"Su-sudah be-berapa la-lama—"

"Dari SD. Tapi mulai serius melukis sejak masuk SMP. Iyaa ... jika dihitung sudah ada 15 tahunan. Mungkin." Ia mengedikan bahu. "Aku tidak pandai berhitung," jawabnya yang seakan mengerti pertanyaan Selasa. 

Selasa mendengus. Menyebalkan!

"Me-memang kau um-umur—"

"Dua puluh delapan." Rabu sudah menaruh lima macam warna cat minyak di palet piringnya.

Huh, Selasa mendengus lagi.

"Kau?" tanya Rabu tanpa melihat Selasa karena ia sudah mencelupkan kuasnya di salah satu warna yang dipilihnya. Ia mengetuk-ngetuk pelan kuas itu terlebih dulu, dan bersiap akan memberikan warna pada sketsa Sun.

"Du-dua pu-puluh ...." Selasa mengangkat kedua tangannya, melebarkan kedua telapaknya, dan mengangkat enam jarinya.

"Ohhh, berarti aku lebih tua darimu. Sopan pada yang lebih tua, ok?!"

Selasa mengerucutkan bibirnya. "Hu-huuu ...."

Rabu tertawa samar saat mendengar sorakan patah-patah dari Selasa. Haha, lucu juga ternyata.

"I-i-ini se-selai be-be—"

Rabu menghentikan gerak tangannya yang sedang memberi warna. 

Tuh, kan!

Kalau sudah memegang kuas dan fokus pada lukisannya, ia jadi lupa akan segalanya.

Rabu melihat Selasa yang sedang menunggu jawabannya dan lalu, matanya beralih melihat luka yang ada di lutut Selasa.

Kalau tidak cepat diobati akan jadi infeksi, dan lihatlah, disana masih ada bulir-bulir pasir yang tertinggal.

Oke.

"Kau lapar tidak?"

"Heuh?" Selasa yang tadi fokus mengagumi lukisan Rabu yang baru setengah jadi— jadi melihat Rabu yang sudah meletakan piring paletnya di meja kecil yang ... yang, entah dapat darimana. 

Dan, disana Rabu sudah beranjak dari duduknya. Bersiap-siap akan pergi.

"Ma-mau ke-ke—"

"Aku titip alat-alat ku sebentar, Sel." Rabu sudah melangkahkan kaki meninggalkan Selasa yang sedang berkedip-kedip bingung.

"E-eh—"

Huh, Rabu memang menyebalkan iya?!

Selasa mendengus kesal, melihat kepergian Rabu yang entah kemana.

Eh, tapi ... aku sendirian lagi?

Selasa dengan panik menoleh kebelakang, yang dilihatnya hanya tinggal punggung Rabu yang begitu tegap.

"Ja-ja-jangan la-lama-lama, a-kau ta-takut di-di-ti-tinggal sen-sendiri, Ra-rabu!!"

Rabu tidak mendengar suara Selasa yang gagap itu, dan ia pun melewati Sabtu begitu saja tanpa menyapanya seperti biasa.

"Heh, Rabuuu!!" Sabtu menengok ke belakang, tidak terima selalu dicuekin Rabu seperti itu. "Mau kemana?" tanyanya.

"Titip wanita itu, 10 menit," kata Rabu tidak menengok kebelakang. Ia berlari-lari kecil menuju food truck yang sudah datang.

Sabtu jadi melihat wanita itu yang sedang berusaha memutar kursi rodanya. Tadi, ia sempat terkejut saat mendengar teriakkan histeris wanita itu. "Sepertinya dia benar-benar pasien rumah sakit gila," gumamnya, heran— melanjutkan pekerjaannya kembali.

.

.

.

Sesampainya di food truck, Rabu mencari makanan termurah. Ia membeli dua bungkus makanan, yang isinya nasi, telur dadar dan sop ayam. Ngirit. Hari ini ia baru mendapat 200 ribu. 

Oke, setelah itu ia berjalan kearah apotik. Membeli beberapa obat luka yang menghabiskan uang …

"Hah, 150 ribu?" Rabu menatap nanar uang yang ada di tangannya. Uangnya tinggal 175 ribu. "Oke, tidak masalah," cengirnya salah tingkah pada kasir, dengan berat hati ia  membayar obat-obatan itu.

Rabu keluar dari apotik. Ia bisa melihat Art Place dengan jelas dari sini. 

Huh, Art Place semakin siang semakin ramai dan panas saja udaranya.

Huh hah!

Ia melangkahkan kakinya kembali ke tempatnya.  

Lho?

Dahi Rabu mengernyit heran saat melihat Selasa yang sudah memutar kursi rodanya.

"Ada apa lagi dengannya?" batinnya yang merasa bingung sendiri melihat tingkah Selasa yang benar-benar random. 

"Tuan ...."

Jujur, Rabu sama sekali tidak dengar jika ada yang memanggilnya dari arah belakang. Sebab, ia sedang fokus melihat Selasa yang sepertinya sedang menunggunya.

Perasaan ini?

"Kenapa aku seperti de javu?" Dada Rabu mendadak terasa sesak. "Agh, tatapan itu, gesture tubuh itu dan ..."

Plak!

Deg?!

Rabu dengan cepat menoleh kebelakang saat bahunya ada yang menepuknya dari belakang.

***

Salam

Galuh