webnovel

Pulau Ajaib

----TAMAT---- Aquila Octavi, Putri Mahkota dari Kerajaan Gisma dijodohkan dengan seorang pendatang di Kerajaannya. Akibat penolakan darinya, istana menjadi dalam keadaan genting. Inti batu itu dicuri oleh seorang penyihir. Namun, ada juga sisi baiknya dari kejadian itu. Karenanya, ia dapat menemukan sahabat yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Ia juga bisa mengenal seorang pria yang kelak menjadi suaminya. Jangan lupa rate, vote, dan comment ya! . Baca juga novel author lainnya dengan judul "Kisah SMA"

AisyDelia · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
38 Chs

Tinggal dengan Cornelia

Aquila akan pergi dari istananya untuk tinggal bersama Cornelia. Kenapa? Karena dia ingin membuktikan firasatnya tidak salah. Siang hari itu juga, setelah bertengkar dengan Ayah dan Ibunya, ia berangkat pergi. Walau awalnya dicegat oleh Ayahnya, akhirnya ia diizinkan pergi. Meski sebenarnya, hal itu tidak memberi pengaruh besar padanya.

Tak berapa lama kemudian, Aquila sampai di istana Dewi Kegelapan yang sekarang sudah diyakini Aquila menjadi milik Cornelia. Ia masuk perlahan ke dalam istana sambil memandang ke sekelilingnya, mencari keberadaan Cornelia. Namun, Cornelia tidak ada di sekitar sana. Maka dari itu, Aquila masuk lebih dalam, tepatnya menuju ke kamar yang diyakini milik Cornelia. Setelah ia berada di depan pintu kamar itu, ia mengetuk beberapa kali, berharap Cornelia ada di dalamnya.

Sementara itu, Cornelia yang berada di dalam tersentak kaget mendengar suara ketukan pintu yang diduga berasal dari pintu kamarnya. Ia mendekati pintu itu perlahan, tanpa membuat suara sekecil apapun itu. Ia mendekatkan telinganya ke sisi pintu untuk mendengar suara suara yang berada di luar. Belum lama ia berusaha mendengar suara di seberang sana, ia sudah mendengar ketukan sebanyak 3 kali. Kali ini ditemani dengan suara yang agak nyaring.

Itulah yang dilakukan Aquila karena tidak juga mendapat jawaban dari dalam. Ia mengulangi ketukannya juga berkata, "Cornelia, apa kau di dalam? Ini aku, Aquila." katanya. Cornelia yang mendengar itu pun sedikit lebih lega dan tenang dari sebelumnya. Ia membuka pintu kamarnya dengan lebar tanpa berpikir 2 kali memperlihatkan seorang wanita yang seumuran dengannya dan tinggi yang tak beda jauh darinya yang sedang membawa koper di tangannya.

"Halo..." sapa Aquila sambil memamerkan senyumnya.

"Ee... Hai.." sapa balik Cornelia yang pandangannya berpaling dari kopernya ke Aquila. "Apa yang kau lakukan di sini dengan kopermu?" tanya Cornelia tanpa basa-basi yang pandangannya kembali lagi ke koper itu seakan-akan koper itu lebih nyaman dilihat daripada orang yang membawanya.

"Menginap di sini." jawab Aquila ringan masih dengan senyumnya.

"Eh? Menginap? Di sini? Untuk apa?" kata Cornelia tergagap-gagap.

"Iya, untuk membantumu mencari tahu tentang Augusta seperti janjiku." jawab Aquila yang kini tersenyum tipis.

Suasana menjadi lengang sejenak. Cornelia sedang berusaha memahami setiap perkataan Aquila, sedangkan Aquila sedang menunggu respon teman barunya dengan tersenyum tipis.

"Jadi, kau akan menginap di sini untuk membantuku?" tanya Cornelia setelah beberapa menit memecah keheningan dengan wajah bertanya-tanya.

"Tepat sekali." jawabnya sedikit antusias.

"Kau diusir dari tempatmu?"

"Oh, tentu saja tidak. Aku hanya sedang ingin pergi dari sana." katanya yang sekarang sudah tidak tersenyum lagi.

"Jika tidak diusir, berarti melarikan diri?"

"Tidak, tidak melarikan diri. Aku bilang aku hanya pergi dari sana selama beberapa saat. Lagipula, Ayahku sudah mengizinkan aku pergi. Jadi, bukan melarikan diri."

"Kenapa kau harus pergi? Maksudku, jika hanya untuk membantuku, kau bisa datang kemari beberapa kali."

"Itu terlalu melelahkan," jawab Aquila mulai jengkel dengan pertanyaan bertubi-tubi. "apa ada lagi hal yang perlu aku jawab? Aku lelah berdiri sejak tadi." keluhnya.

"Oh, tidak. Tidak ada. Kalau begitu, silakan masuk!" kata Cornelia sedikit tergagap-gagap. Aquila pun masuk dan menaruh koper miliknya di sebelah rak buku.

"Duduklah! Kau lelah berdiri, bukan?" ucap Cornelia yang sudah duduk di salah satu kursi yang menghadap meja kecil yang sudah terisi 2 cangkir teh. Tanpa disuruh 2 kali, Aquila langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi yang berhadapan dengan Cornelia.

Mereka berdua tidak berbicara sepatah kata pun setelahnya. Mereka hanya menikmati cangkir teh mereka masing-masing. Aquila meneguk teh itu sambil memandang sekeliling dan Cornelia hanya terus menatap cangkir miliknya bersama isinya. Hingga kedua cangkir itu kosong, tak tersisa setetes pun, mereka hanya saling menatap satu sama lain lekat-lekat.

Suasana itu hening lama sekali sampai Aquila mulai bertanya, "Apa kau sudah menemukan petunjuk tentang keberadaan Augusta sekarang?"

"Belum. Aku sudah mencari di sini dan tidak ada foto yang mirip dengan Augusta." jawab Cornelia yang memandang ke arah lain.

"Foto? Kau tahu wajah Augusta dari mana?" tanya Aquila curiga.

"Dari mimpiku." jawabnya singkat.

"Mimpi? Kau bermimpi apa?" kecurigaannya berubah menjadi penasaran.

"Kakakku melihat Augusta dan dirimu di istana. Ia mendekati Augusta saat kau pergi entah untuk apa. Lalu, kakakku mengangkatnya menjadi adiknya dan mengajaknya tinggal di istana ini. Lalu memberi tahunya bahwa kamar ini adalah miliknya. Itu saja." jelas Cornelia.

"Kakakmu? Maksudmu Dewi Kegelapan?" tanya Aquila memastikan.

"Iya. Dan jangan memanggil kakakku Dewi Kegelapan! Namanya Feirla." Cornelia entah kenapa merasa kesal mendengar kata "Dewi Kegelapan" yang ditujukan pada kakaknya.

"Lalu, apa tanggapanmu tentang mimpi itu?"

"Aku hanya merasa aneh. Kenapa mimpi yang kualami itu sangat mirip dengan kehidupanku?"

"Jadi, kau mengalami hal yang sama dengan mimpi itu? Apa semuanya benar benar sama?"

"Tidak. Yang berbeda hanyalah saat pertama kali aku bertemu dengan Kak Feirla."

"Kau bertemu dengannya di mana?"

"Yang pasti bukan di pulau ini. Aku tidak tahu tepatnya di mana."

"Apa Feirla pernah mengangkat Augusta sebelum dirimu?"

"Entahlah. Kak Feirla tidak memberi tahu apa-apa tentang itu. Tapi, jika Kak Feirla melakukannya, berarti dia harusnya berada di sini bersamaku."

"Maksudmu?"

"Aku diangkat menjadi adik Kak Feirla di umur yang kurang lebih sama dengan Augusta."

"Hmmm... Kau benar adik angkat Feirla?" Aquila mengernyit sambil menatap Cornelia dengan saksama. Cornelia hanya mengangguk.

"Jika kau adik angkatnya, kenapa wajah kalian mirip? Kau memiliki mata dan bibir yang sama dengannya."

"Itu hanya kebetulan. Buktinya, kau yang memiliki hubungan darah dengan adik kembarmu saja tidak mirip sama sekali, kukira."

"Yeah, itu benar. Tapi, mereka benar-benar adik kandungku," Aquila sama sekali tidak menyangkal pernyataan Cornelia, "di samping kemiripan kalian, bukankah hal-hal yang sama-sama terjadi di hidupmu dengan hidup Augusta dalam mimpimu itu saja sudah sangat aneh?" ungkap Aquila yang merasakan keganjilan dengan cerita itu. Cornelia hanya mengangguk beberapa kali sebagai jawaban setuju.

"Eee... Bagaimana jika....kau dan Augusta adalah.....orang-yang-sama?" kata Aquila ragu-ragu.

Cornelia langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak mungkin. Wajahku dan wajahnya jauh berbeda. Jika aku dan dia orang yang sama, kemungkinan kami memiliki wajah yang kurang lebih sama."

"Bisa saja kan kalau Feirla mengubah wajahmu dan memanipulasi ingatanmu?" katanya yang kali ini lebih yakin dari sebelumnya.

"Untuk apa dia melakukannya?" tanya Cornelia dengan nada tinggi.

"Entahlah. Augusta pasti tidak langsung mau menjadi adik angkatnya jika tidak ditawari sesuatu, begitu juga-----kau."

"Maksudmu, aku mengharapkan imbalan begitu?" katanya dengan amarah yang sudah memuncak.