webnovel

Pulau Ajaib

----TAMAT---- Aquila Octavi, Putri Mahkota dari Kerajaan Gisma dijodohkan dengan seorang pendatang di Kerajaannya. Akibat penolakan darinya, istana menjadi dalam keadaan genting. Inti batu itu dicuri oleh seorang penyihir. Namun, ada juga sisi baiknya dari kejadian itu. Karenanya, ia dapat menemukan sahabat yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Ia juga bisa mengenal seorang pria yang kelak menjadi suaminya. Jangan lupa rate, vote, dan comment ya! . Baca juga novel author lainnya dengan judul "Kisah SMA"

AisyDelia · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
38 Chs

Kembalinya Augusta

"Ada apa, pengawal?" teriak Raja dari kejauhan yang sedang tergesa-gesa menuju tempat keributan. Di belakangnya, Sang Ratu mengikuti langkah suaminya dengan wajah yang sama cemasnya dengan Sang Raja. Para pengawal yang tadinya menghadang sudah berhasil dilumpuhkan oleh Aquila.

"Tidak ada apa-apa, yah." jawab Aquila dengan seringainya. Nada bicaranya sedikit tinggi agar Ayahnya yang berdiri agak jauh dari sana bisa mendengar.

Sang Raja terperanjat mendengar suara putrinya, begitu juga dengan istrinya. Mereka terpaku di tempatnya, masih tidak percaya dengan suara yang didengarnya. Suasana menjadi hening. Tidak ada hiruk-pikuk yang terjadi lagi. Semua pengawal sudah berhasil ditahan. Tidak ada yang bisa menyentuh mereka, untuk mendekat saja tidak akan bisa. Jika masih ada yang berusaha mendekat, mereka akan langsung terpental. Dengan santainya, Aquila berjalan masuk ke dalam istana untuk berjumpa lagi dengan Ayahnya juga Ibunya. Cornelia yang sekarang adalah Augusta mengikuti langkahnya dengan sedikit gugup.

"Ayah, Ibu! Lihatlah! Firasatku terbukti benar. Ternyata, Cornelia adalah Augusta." kata Aquila dengan senyum kemenangan di depan orangtuanya. Ia sudah berhasil membuktikan firasatnya.

"Dia Augusta?" tanya Sang Raja dengan separuh wajah kaget dan separuh wajah merendahkan. Matanya melirik tajam Cornelia. Cornelia yang berusaha ramah, tersenyum tipis. Ibundanya hanya diam terpaku, matanya yang sudah berair menatap Aquila. Tanpa peduli hal lain, ia langsung mendekati Aquila. Kedua telapak tangannya membelai kedua pipi Aquila sambil menatap setiap inci bagian tubuhnya untuk memastikan putrinya baik-baik saja. Tidak ada goresan luka di tubuhnya. Matanya kembali menatap mata Aquila yang sekarang juga sedang menatap balik ke mata Ibunya sejak beliau mendekatinya.

"Kamu baik-baik saja, kan, sayang?" tanya Sang Ratu, memastikan sekali lagi.

Aquila memandang Ibunya dengan tatapan sedikit jijik. Ia membalas perkataan Ibunya dengan pedas, "Memang apa peduli Ibu? Ibu tidak percaya dengan perkataanku saat itu, kan?"

"Ibu percaya, sayang. Ibu memercayai semua firasatmu itu karena Ibu juga percaya dengan semua firasat yang Ibu miliki." jawabnya. Tangannya sudah berpindah ke puncak kepala Aquila.

"Oh, benarkah?" ekspresinya langsung berubah, wajahnya terlihat senang juga tidak percaya. Ibunya mengangguk.

"Kalau begitu, Ibu percaya kalau Cornelia adalah Augusta?" tanya Aquila. Kini wajah keraguannya sudah menghilang, hanya terlihat wajah antusias juga senang. Ibunya menatap bingung Aquila, lalu pandangannya beralih ke Cornelia yang tersenyum tipis, berusaha ramah.

"Cornelia adalah siapa?" tanyanya. Tangannya tidak lagi menyentuh Aquila. Tubuhnya juga sudah sedikit menjauh dari Aquila.

"Cornelia adalah Augusta." jawabnya ketus. Wajahnya merengut akibat tingkah Ibunya yang tampak tidak percaya.

"Augusta? Augusta, teman lamamu?" matanya melebar dan menoleh Cornelia. Sekarang, dirinya mendekat ke arah Cornelia. "Kau adalah Augusta?" ucapnya tak percaya. Tangannya menyentuh pipi Cornelia dengan lembut. Matanya menatap wajah Cornelia lekat-lekat, tatapannya seperti sedang menyelidik.

"Y--Ya." jawabnya terbata-bata. Dirinya yang ditatapi seperti itu merasa gugup. Sikapnya jauh berbeda dengan dirinya yang dulu.

Wajah Sang Ratu kini sudah menjauh dari Cornelia dan kembali memandang Aquila. "Benarkah?" tanyanya pada Aquila. Ia merasa tidak yakin bahwa Cornelia adalah Augusta, teman lama putri sulungnya.

"Tentu saja tidak, Herminia. Bagaimana bisa Cornelia adalah Augusta?" jawab Valens dengan santai. Suaranya yang lantang terdengar seperti mengejek. Herminia, Aquila, juga Cornelia serempak menoleh ke arah Valens.

Herminia menatap suaminya tidak paham, sedangkan Aquila terlihat terbakar oleh api kemarahannya. Segera saja, suaranya menandingi suara lantang milik Ayahnya, "Tentu saja bisa! Ingatan Cornelia dimanipulasi oleh Feirla. Wajahnya sengaja diubah olehnya agar kita tidak dapat mengenalinya lagi, begitu juga dengan namanya."

"Omong kosong ap--" kata Valens yang ucapannya dipotong oleh istrinya.

"Hentikan, Valens! Jangan buat putrimu membencimu!" kata Herminia dengan tegas. "Aquila, kita akan ke kamarmu. Kita bicarakan di sana agar tidak ada yang mengganggu. Bawa Cornelia juga bersamamu!" intruksi Sang Ratu. Ia langsung melangkah pergi meninggalkan suaminya di sana. Aquila dan Cornelia mengikuti langkah Herminia.

Sesampainya di sana, pintu langsung ditutup rapat. Herminia duduk di tepi tempat tidur milik Aquila. Sementara itu, Aquila dan Cornelia berdiri berhadapan dengannya.

"Aquila, kamu bilang Cornelia adalah Augusta, kan?" tanya Herminia dengan lembut. Aquila mengangguk, wajahnya masing merengut karena hal tadi. "Bisa kamu jelaskan, sayang?"

"Untuk apa? Aku sudah menjelaskannya tadi. Ibu juga tidak akan percaya padaku jika aku menjelaskannya lagi." tolak Aquila, wajahnya semakin masam.

"Ibu percaya padamu, sayang. Jelaskan pada Ibu sekali lagi, ya?" pinta Herminia.

Aquila diam sejenak, menimbang-nimbang perkataan Ibundanya. Ia menatap Cornelia yang sedang memerhatikan ruangan tempatnya berada saat ini. Lalu, kembali melihat Ibunya yang sedang menunggu dirinya menjawab.

"Baiklah," ucapnya terpaksa. "Feirla memanipulasi ingatan Cornelia. Dia juga mengubah wajah dan nama Augusta agar kita tidak mengenalinya. Tujuannya adalah agar tidak ada yang mengenalinya saat Augusta disuruh membantu Feirla menyerang kerajaan ini." jelas Aquila singkat.

"Kamu tahu dari mana, sayang?"

"Cornelia bermimpi tentang hal itu."

"Hanya mimpi?" Herminia menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak. Ada juga bukti di sana." jawab Aquila cepat. Ia langsung mencari-cari buku itu di dalam koper Aquila. Setelah menemukannya, dibuka buku itu hingga halaman yang dimaksud dan dibawa buku itu pada Ibunya. Herminia membaca baik-baik halaman itu. Mengangguk beberapa kali menandakan kepahaman.

"Baiklah, semuanya masuk akal." kata Herminia setelah selesai membaca. Buku itu langsung ditutup rapat. Aquila yang mendengar itu menjadi senang kembali. Wajah masamnya langsung berbinar-binar. Senyum di bibirnya tidak dapat tertahankan lagi.

"Jangan senang dulu, Aquila! Kita belum tentu bisa meyakinkan semuanya, terutama Ayahmu," kata Herminia tenang. Senyum yang terpampang di wajah Aquila langsung menghilang. "kamu dan Cornelia beristirahatlah dahulu! Ibu akan coba bicara dengan Ayah dan saudarimu yang lain." kata Herminia, lalu beranjak pergi, masih dengan buku diari itu di dalam genggamannya. Saat tinggal selangkah menuju keluar, ia berbalik, "Ibu pinjam buku ini sebentar sebagai bukti." katanya sambil menunjukkan buku yang berada di tangannya. Herminia pun pergi dan menutup pintu kamar, menyisakan 2 orang di dalamnya.

Mereka pun saling berpandangan beberapa saat hingga Aquila mulai bicara, "Cornelia, ini adalah kamarku. Aku akan menggandakan tempat tidurnya dan lemarinya agar kamu bisa tidur dan meletakkan semua pakaianmu." kata Aquila. Seperti perkataannya, ia pun menggandakan tempat tidur dan lemarinya dengan sihirnya.

Mereka berdua pun mulai merapikan pakaian mereka dan memasukkannya ke dalam lemari. Hal itu berlangsung dengan hening. Tidak ada yang membuka pembicaraan karena tiadanya topik. Cornelia tidak berkomentar apapun sejak dari tadi. Kecanggungan terus berlangsung hingga mereka selesai merapikan pakaian. Tanpa berkata apa pun, Cornelia menuju tempat tidur miliknya. Aquila yang mulai khawatir dengan sikap temannya bertanya, "Kamu baik-baik saja, Cornelia?"

"Oh ... ya! Aku baik-baik saja. Panggil aku A--Augus--Augusta saja!" jawabnya tergagap-gagap. Sepertinya, ia baru saja tersadar dari lamunannya. Tanpa bicara apapun lagi, mereka langsung beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat.