webnovel

Bab 10 Mengambil Keputusan

Selama peringatan kematian Ayah, Dewi menjadi orang yang paling terpukul karena hal ini. Bagaimana tidak ia harus menyaksikan Ayah menghembuskan nafas terakhirnya, ia harus kehilangan orang yang selalu menemaninya, orang yang selalu ada untuknya. Ditambah lagi kerabat yang membantu tidak henti-hentinya mengenang kebaikan-kebaikan Almarhum Ayah semasa hidup, hal itu membuat Dewi semakin sedih dan ogah-ogahan untuk makan. Di desa kami apabila ada seseorang yang meninggal dunia, harus ada salah satu anak atau keluarga yang tidak boleh meninggalkan kediaman rumah, orang itu adalah Dewi. Sehingga selama 10 hari ia harus absen dari pembelajaran.

Pada waktu itu Bowo mengatakan akan bekerjasama denganku untuk menopang biaya peringatan kematian Ayah, aku hanya mengiyakan sebab itu berarti juga meringankan pengeluaranku, sehingga aku bisa focus untuk keperluan yang lain. Saat itu yang mengelola uang adalah ibu sedangkan, Bowo yang menjadi anak laki-laki dewasa bertugas untuk menemui tamu dan melayani pak Imam desa. Otomatis bila ada tamu laki-laki akan memberikan amplop kepada Bowo dan ibu memberi uang padanya untuk keperluan doa Almarhum Ayah juga tradisi sesuai dengan adat di daerah kami. Aku begitu bersyukur Bowo ada di rumah sehingga ada yang menghendle tamu-tamu pria dan pak Imam desa, dan yang membuatku percaya adalah ia juga memberikan uang satu juta rupiah kepada ibu. Namun pada peringatan kematian ayah yang entah hari keberapa, Bowo mengatakan bahwa uang yang ibu berikan sudah habis dan ia sudah mengeluarkan uang banyak untuk keperluan kematian Ayah. Mulai muncul kecurigaan dalam diriku, apalagi ibuku menjadi emosi atas pernyataan Bowo itu, namun ku coba redam amarah ibu sebab masih dalam suasana berduka, aku takut Almarhum Ayah bersedih melihat kami ribut. Agar tidak terjadi keributan yang semakin besar, akhirnya aku memutuskan aku akan menanggung semua kebutuhan selama peringatang kematian Ayah.

Peringatan hari ketujuh yang sederhana berlangsung lancar, dan keesokkan harinya kami sekeluarga bersama dengan kerabat lain pergi ke makam ayah. Dipimpim oleh Imam desa kami mendoakan almarhum Ayah dan melakukan ritual pelepasan sesuai dengan adat yang ada di desa kami. Saat itu lagi-lagi air mataku tidak keluar, sebab aku sudah lebih dulu melihat Dewi dan Dimas menangis "aku harus kuat, aku baik-baik saja" ucapku dalam hati. Setelah doa kerabat kami langsung kembali ke rumah masing-masing, aku berjalan kaki sendiri sebab Bowo membonceng Dewi sedangkan Dimas membonceng ibu. Dimas akan kembali menyusulku setelah mengantarkan ibu, saat aku berjalan meninggalkan makam yang berada di samping lapangan, ponselku bergetar lama, ada telpon dari Ija. Setelah mengucapkan salam, Ija mengatakan "kenapa kita jalan sendirian?"

"bagaimana kita tau kalau sa jalan sendiri?" jawabku

"sa ada di belakangnya kita" balasnya.

Saat menoleh ke belakang, rupanya Ija sudah mengendarai motornya mendekati ku.

"pas di makam kita diam saja, jadi sa tidak berani Tanya kita" ucapnya sembari mematikan mesin sepeda motornya. Rupanya sejak awal Ija mengikuti doa di makam Almarhum Ayah, tapi mungkin saking banyak hal yang aku pikirkan membuatku tidak begitu memperhatikan sekitar.

"marimi sa antar" tawarnya padaku

"tidak usah mi, Dimas sudah mau sampai mi juga" jawabku menolak.

Aku tidak ingin ada rumor yang membuat ibu salah paham padaku.

"kita dapat libur berapa hari dari kantornya kita?" tanyanya lagi

"tanggal 18 sa sudah harus balik ke jawa lagi, karna hanya libur 20 hari saja dari kantor" jawabku.

"semoga ada kesempatan kita bisa bicara lagi" ucapnya.

"iya" jawabku singkat

Dari depan lapangan sudah terdengar suara motor Dimas yang datang menjemputku, akhirnya kami berdua berpisah. Kami sekeluarga sudah benar-benar lelah, akhirnya selama dua hari kami memutuskan untuk istirahat dan tidak membuka pintu depan, agar orang-orang mengira kami sedang tidak berada di rumah. Di hari kedua aku terbangun dari tidur siangku, ketika ku buka ponselku "bolehkah sa datang di rumahnya kita sabtu mala mini?" isi pesan dari Ija. Akupun mengiyakan agenda itu, aku mulai khawatir tentang segala kemungkinan yang akan terjadi di saat kami bertemu, bila kami memang akan menutuskan untuk bersama, aku harus memberitahukan kondisiku padanya, tentang apa yang aku prioritaskan saat ini.

Sabtu malam yang aku tunggu-tunggu itu akhirnya tiba, Ija datang setelah adzan Isya dimana yang berada di rumah hanyalah aku, Dewi dan dimas. Ibu dan Bowo sedang pergi ke luar pulau, untuk menjenguk anak Bowo yang sedang dirawat di rumah sakit umum provinsi karena masalah pencernaan yang serius. Ku persilahkan Ija masuk, kami duduk di ruang tamu sedangkan Dewi dan Dimas berada di ruangan Almarhum Ayah. Banyak hal yang kami ceritakan, mulai dari masa saat kami masih di kelas yang sama, Ija yang menceritakan tentang rentetan kisahnya mulai dari ia berhenti sekolah sampai akhirnya ia bisa berkuliah lagi dan kini sedang mempersiapkan tugas akhirnya. Aku sama sekali tidak mencela ceritanya, sebab saat itu semua pertanyaanku tentangnya terjawab lewat apa yang ia ceritakan padaku.

"kalau kamu selama ini bagaimana?" ucapnya.

Giliranku menceritakan rentetan kisahku padanya, serta tentang apa yang sedang ku prioritaskan saat ini. Aku sudah tidak perduli lagi bagaimana repon Ija tentangku, aku hanya ingin memberitahu kebenaran tentangku, aku tidak ingin ia merasa tertipu olehku atau ia akan menyesal lalu menyalahkanku. Aku hanya ingin kita sama-sama terbuka, ku lihat ia terdiam sejenak, entah apa yang sedang ia pikirkan saat itu.

"namanya perjuangan memang tidak pernah berakhir,karena itu untuk pendewasaan diri" ucapnya.

"sa paham sekali dengan keadaannya kita sekarang ini, bahkan bisa di bilang kita punya kisah yang hampir sama" ujarnya.

"sa sudah pernah dekat dengan perempuan lain sebelum kita dan kita sudah putus baik-baik, karena masalah status" ujarnya.

"sampai akhirnya kita ketemu di kapal itu, ada pikiranku kalau kita tidak mungkin kembali ke kampung halaman, dan akan menikah dan hidup di jawa" ucapnya seolah meminta kejelasan statusku saat ini.

"sekarang ini sa tidak dekat dengan siapapun" jawabku yang sedari tadi mendengarkan apa yang Ija katakan.

Ia kembali menyinggung percakapan kami waktu di bangsal, sudah bisa ku pastikan kami saling mencintai, kami juga masih memiliki hal yang harus kami perjuangkan masing-masing. Namun keinginan untuk berjuang bersama itu mendorong kami berdua untuk setuju menjadi sepasang kekasih, pada malam itu juga Ija menyatakan ulang persaannya dan meminta jawabku untuknya.

"mari kita jalani hubungan yang lebih dekat dan lebih baik sama-sama, lebih mengenal lagi satu sama lain, saling mendukung dalam perjuangan kita berdua" ucapku sembari berkaca-kaca.

Saat itu dapat kulihat wajahnya yang terkejut atas jawabanku dank ku lihat mata ija juga berkaca-kaca sama sepertiku,

"terimakasih sudah mau menerima saya dalam hidupmu, setelah ini semoga kita bisa saling mendukung dalam kebaikan aamiin" ucapnya dan kami berdua saling berjabat tangan.

Setelah hari itu kami tidak lagi bisa bertemu karena Ija harus kembali ke provinsi untuk menyelesaikan proposalnya. Waktu libur 20 hari berlalu begitu cepat, namun bagaimanapun aku harus kembali ke jawa, banyak tugas kantor yang sudah menungguku. Perpisahan harus terjadi kesekian kalinya, berat sekali aku meninggalkan ibu dan kedua adikku itu. saat berada di provinsi aku dan Ija lagi-lagi tidak bisa meluangkan waktu untuk bertemu sebab jadwal pesawat yang ku pesan waktu itu adalah jam 07.00 Wita, dari dermaga aku harus segera ke bandara. Namun tak disangka rupanya Ija sudah menunggu di sana, sungguh senang bercampur haru perasaanku saat itu, kami harus di pisahkan jarak walaupun sudah menjadi sepasang kekasih.

"kabari saya nah kalau sudah transit" ucapnya sambul mengusap kepalaku.