"Kai!" Teriakan di dekat gerbang itu berhasil memfokuskan perhatian sang pemilik nama. Gadis berambut coklat yang mendekat pun tersenyum pada lawannya. "Lo habis dari mana? Kata Ellio lo dihukum itu beneran?"
Kaia pun mengangguk.
"Serius? Jadi gosip lo telat, bolos, pacaran itu beneran?!" syok Gabriella.
"Gak lah. Ellio mah ngaco mulu. Kamu kenapa masih belum pulang?" balasnya sambil mengalihkan pembahasan.
"Gue lagi nungguin supir."
Mulut gadis itu pun membulat sempurna tanda mengerti. Diliriknya sekitar, terlihat tak banyak murid yang tersisa di sana. "Geng Vayrez mana? Tumben kamu gak pulang sama Ben." Perubahan suasana di wajah Gabriella pun mengundang heran temannya. Bertanya-tanya apa ada yang salah dari pertanyaan barusan. "Masih belum baikan?"
"Udah kok. Tadi Ben udah minta maaf. Cuma yah, katanya anak-anak pengen tawuran atau apa, gak jelaslah. Oh ya, ada tugas kelompok buat kita berdua. Tugas sejarah sih, mau dikerjain kapan?"
Kaia terdiam sejenak. Tampak dirinya sedang memikirkan sesuatu. "Sekarang aja gimana?"
"Boleh sih, gue juga malas pulang. Di cafe aja lo mau gak?"
"Oke."
Di base camp geng Vayrez, dua anggotanya terlihat sibuk bermain ps. Sesekali Edgar menghempaskan stik di tangan akibat kekalahan yang menimpa. Ellio sebagai lawan pun terlihat puas dengan amukannya.
"Gue heran."
"Apanya?" bingung Alen dengan pertanyaan Edgar.
"Hubungan si bos sama Ella itu sebenarnya kek gimana sih?"
"Sahabatan tapi jatuh cinta?" Ellio menimpali.
Alen mengangguk menyetujui. Namun matanya masih saja fokus dengan game di ponsel.
Edgar pun menghentikan permainannya. "Tapi gimana pun gue kasihan sama Ella. Kalau dia sampai tahu si bos bohongin dia, menurut lo bakalan gimana?"
"Paling persahabatan mereka bakalan rusak. Itu kan resiko mereka berdua. Sudah tahu yang satu sudah punya tunangan, masih saja saling berbagi perasaan. Si bos emang bodoh gak bisa tegasin gimana hubungan mereka padahal ia udah tahu kalau gak bakalan bisa lepasin Adria."
Dua teman Ellio itu pun menoleh padanya. Menatap aneh dengan maksud sang pemuda. Di tempat itu hanya ada mereka bertiga. Oscar sang ketua OSIS masih sibuk di sekolah, sedangkan Roma harus mengikuti pertemuan keluarga.
Sudah menjadi kebiasaan mereka jika pulang sekolah tidak langsung ke rumah.
"Maksud lo gimana?" bingung Alen padanya.
"Ben," lanjutan pemuda itu tertahan jeda. Senyum tipis perlahan mulai mengembang di bibir Ellio entah kenapa. "Dia gak bakalan bisa bersama Ella, karena bagaimanapun juga setelah lulus sekolah keluarganya bakalan melamar Adria buat masa depan bisnis mereka."
Dan sosok yang dibicarakan terlihat mengendarai motor sambil membawa seorang wanita. Pelukan erat dari gadis berseragam SMA Astrada cukup erat di perutnya. Tak ada suara di antara mereka, barulah ketika kendaraan itu berhenti di sebuah cafe salah satunya mulai berbicara.
"Ben, maafin aku ya kita jadi harus berhenti dulu."
"Gak apa-apa. Lagian kamu juga laparkan? Ayo makan dulu."
"Mm," angguk Adria. Bahkan tanpa keraguan di gandengnya lengan sang pemuda. Ben Emanuel Alkarki sempat tertegun dibuatnya.
"Mau makan apa?" begitu mereka sampai di meja pinggiran di lantai dua.
"Samain aja," gadis itu tersenyum sambil memamerkan gigi ratanya.
Laki-laki yang mengenakan seragam berbeda di balik jaket bomber itu pun segera memanggil pelayan untuk memesan makanan.
Tapi tiba-tiba atensi Adria teralihkan pada meja di seberang sana. Sama-sama di dekat jendela, namun sosok yang mengisinya benar-benar mengganggu fokus sang gadis muda.
"Lihat apa?" tanya Ben membuyarkan tatapannya.
"Ah, gak. Gak lihat apa-apa," matanya memilih melirik ponsel kembali. Namun sesekali perhatihan Adria mencuri-curi pandang pada tempat semula.
Dua orang pemuda, satunya mengenakan seragam SMA Astrada dan lainnya seragam basket sekolah itu. Siapa lagi mereka kalau bukan Zayuno Araja dan sang sahabat Rezil Amar Sargio.
"Masih belum ada kabar," laki-laki berkulit kuning langsat dengan rambut acak-acakan itu terlihat memainkan sedotan minuman. Sesekali menyeruputnya sambil diiringi tatapan datar sang teman. "Padahal gue udah suruh orang buat melacak mereka, tapi bagaimana bisa gak ada jejak sama sekali?"
Zayuno yang mendengarnya pun perlahan membuang muka. Pemandangan di luar jendela sekarang menjadi fokusnya. Entah pemikiran apa di balik raut wajah datar itu, tapi sosok di hadapan masih tak berhenti bersuara.
"Vay, Zion, dan Axel, menurut lo apa mereka benar-benar gak terlibat?" Lambat laun lirikan mata pemuda berekspresi tenang itu kembali padanya. "Bagaimanapun ketidakhadiran mereka di pemakaman Ren tetap saja mencurigakan. Gimana menurut lo?"
Hanya hening berkumandang. Tak tahu kenapa sosok yang sesekali ditatap Adria dari kejauhan masih saja tidak mengatakan apa-apa. Sesekali mengedarkan pandangan sekilas sebelum akhirnya memainkan ponsel.
"Yun, lo dengerin gue gak sih?"
"Kalau mereka terlibat—" raut wajah Rezil seketika berubah. "Lo bakalan gimana?" tangannya terkepal begitu erat akibat ucapan yang tak disangka-sangka. "Apa lo bakalan maafin mereka?"
Rezil pun berdecak kasar. "Gue gak tahu," sambil membuang muka. "Tapi yang pasti kita harus bisa menemui mereka." Sorotan matanya menajam pada gelas minuman di meja. "Bahkan jika makan waktu yang lama, gue bakal terus cari mereka bertiga, karena kepergian ketiganya sampai kapan pun gak akan pernah bisa gue terima."
Lambat laun Zayuno pun mencengkeram layar ponselnya. Di mana di sana tertera sebuah foto. Gambaran dari enam sosok penuh tawa. Tiga di antaranya adalah dirinya serta Rezil dan juga seorang anak muda namun memiliki wajah mirip dengan Kaia Vay Availendra.
Gadis itu tersentak. Embusan angin kasar yang menerpa memaksa surai terikatnya bergerak melewati wajah. Tak ada sosok Gabriella di sisinya, perjanjian untuk kerja kelompok telah batal akibat panggilan kepala keluarga Ahmadia menggagalkan rencana mereka.
Pemakaman.
Sekarang di sinilah dirinya. Di depan sebuah nisan dari pemilik sebuket matahari yang dibawa gadis itu sebagai buah tangan.
Renaldo Adiomas.
Nama itulah yang tertera di lambang batu milik gundukan bertabur bunga baru. Perlahan Kaia duduk di pinggiran dan menaruh bawaannya dengan senyuman yang mengembang.
"Ren, gue datang lagi," lirihnya. Sesekali tangan pucat itu mengelus taburan bunga di atas makam. "Lo kangen gue gak? Kalau gue, lo tahu jawabannya kan?" ia tertawa pelan. "Kalau gue sih masih gak bisa lupain lo."
Perlahan kepala Kaia tersandar pada batu nisan. Matanya memerah dan mulai berkaca-kaca. Ditemani sepi di sekitar, mulutnya pun dengan lancar bersuara.
"Masih sama, keadaan gue masih sama. Masih bersembunyi walau gue kembali lagi ke sini," tangannya tanpa ragu mencengkeram gundukan di bawahnya. "Lo tahu, Ren? Gue masih harus berpura-pura lagi." Kaia pun menengadah. "Di saat Vayrez dan orang-orang brengsek itu berada tepat di depan mata gue. Di saat orang-orang itu seharusnya hancur di tangan gue!"
Dan bunyi pukulan kasar pun menyeruak dari nisan. Kaia Vay Availendra, tanpa ragu memukul tanda pengenal Renaldo Adiomas di depannya.