webnovel

Prince Of Lifeline

Kim Taehyung adalah pangeran kecil keluarga Kim. Seluruh anggota keluarga Kim memperlakukannya dengan sangat hati-hati layaknya porselen. Menjaga dan melindungi Taehyung meski mereka tidak lagi utuh. Bagi mereka Taehyung adalah garis hidup, yang menjadi alasan mereka untuk tetap memiliki harapan pada kejamnya dunia yang mereka tinggali. Begitupula gadis ini, Park Jaelyn. Menjalani kehidupan yang bertolak belakang dengan Taehyung, Park Jaelyn harus menjalani kerasnya hidup sendirian meski ia memiliki keluarga. Ditolak dan disalahkan setiap detiknya. Kim Taehyung adalah alasan dia masih bertahan. Kalau bukan karena Kim Taehyung, Jaelyn sudah lama memutuskan garis hidupnya.

Vkaniavie · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
5 Chs

Strong Kid

"Jungkook-ah?"

Mendengar namanya dipanggil, Jungkook otomatis menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan jas dokter itu tersenyum tipis saat masuk ke ruangannya untuk menyapa si putra semata wayang. Sang ibu memeluk Jungkook sayang dan dibalas oleh pemuda bergigi kelinci itu dengan hangat.

"Eomma sudah selesai? Kenapa lama sekali? Aku sangat bosan seharian menunggu di ruangan eomma." Keluh Jungkook sembari melepaskan pelukannya.

"Eomma tidak menyuruhmu untuk menunggu 'kan? Tadi juga eomma sudah bilang kalau sehabis operasi eomma akan bertemu dengan direktur. Kau bisa langsung pulang, salahmu sendiri masih menunggu di sini." Ibu Jungkook tertawa kecil saat melihat wajah merajuk putranya itu. Jungkook boleh saja berusia 16 tahun, tapi dia masih terlihat seperti bayi bagi ibunya.

Bayi besar.

"Aku hanya ingin memastikan ibu dokter yang cantik ini baik-baik saja." Kata Jungkook dengan nada yang super manis. Matanya berkedip lucu berulang kali dan sukses mengundang tawa ibunya.

"Dasar, katakan saja kau bosan di rumah karena masih libur sekolah, Jungkook-ah." kata nyonya Jeon selagi membereskan barang-barangnya, tidak sadar akan perubahan ekspresi sang putra.

"Kenapa eomma berkata seperti itu? Aku jadi terlihat sangat kesepian." Kata Jungkook dengan wajah yang dibuat sendu. Bibirnya sedikit mengerucut dan mata kelincinya terlihat lebih besar.

"Memang benar, carilah teman Jungkookie. Kau tidak bisa selamanya seperti ini kan?"

Jungkook terdiam, ia lebih memilih memperhatikan ibunya yang sibuk dengan tasnya, tatapannya kosong.

Benar, dia tidak bisa terus seperti ini, tapi apa yang bisa ia lakukan? Setiap orang yang ingin menjadi temannya selalu ia tolak.

Memang tidak secara eksplisit, tapi sikap Jungkook seolah menyatakan kalau ia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kehidupannya lagi. Ia selalu menghindar dari siapapun yang mencoba peduli padanya tanpa sadar.

"Melamum lagi?"

Jungkook mendongak karena sedikit terkejut, ia melihat ibunya yang tersenyum tipis di depannya sambil mengusap pelan surai cokelat muda Jungkook penuh sayang.

"Maafkan eomma, ya. Semua ini memang salah eomma." Kata nyonya Jeon lembut, ada perasaan bersalah juga di sana. Melihat puteranya seperti ini benar-benar menyakitkan. Ia tidak bisa lagi melihat Jungkook yang ceria setiap hari, senyum Jungkook sudah tidak terasa sehangat dulu dan yang pasti anak itu jadi lebih diam.

"Tidak, jangan minta maaf, eomma. Mungkin semuanya memang harus berakhir seperti ini." Jungkook bangkit, meraih tas punggungnya lalu berjalan mendahului sang ibu.

"Lebih baik kita cepat pulang, eomma."

Ibu Jungkook menatap Jungkook dari belakang, bahu anak berusia 16 tahun itu terlihat lebih lebar sekarang. Entah karena Jungkook menjadi jauh lebih dewasa, atau ia dipaksa menjadi laki-laki kuat oleh keadaan.

'Bertahanlah sebentar lagi, Jungkook-ah. Sampai saat eomma bisa menjelaskan semuanya pada dia .'

Jungkook dan ibunya kini berjalan bersebelahan menyusuri deretan toko-toko pastry di kanan-kiri mereka. Nyonya Jeon bilang ada sesuatu yang ingin dibelinya untuk tetangga baru mereka sebagai ungkapan selamat datang. Jungkook menurut saja dan mengekor di belakang sang ibu saat mereka memasuki sebuah toko pastry yang Jungkook ingat betul, dulunya toko ini adalah tempat favoritnya.

Benar, dulunya.

Jungkook mengedarkan pandangannya ke seluruh toko, tempat ini tidak banyak berubah. Cafènya masih sama seperti dulu, roti yang sering ia beli beberapa tahun lalu juga masih ada. Jungkook jadi rindu. Dulu, hampir setiap hari dia ke sini, entah memang ingin makan atau hanya menghabiskan waktunya meminum kopi.

Jungkook melihat ibunya sudah memilih kue yang dibeli dan kini wanita cantik itu sedang membayarnya di kasir. Sedangkan Jungkook kini berdiri di depan etalase yang menyimpan bebagai macam kue cokelat. Mata onyx Jungkook langsung tertuju pada sebuah roti berbentuk kepala singa dengan senyum lebar dari pasta cokelat itu.

Senyum Jungkook ikut terukir saat melihatnya, sebenarnya isian roti kepala singa itu ada bermacam-macam namun roti cokelat adalah isian favorit-nya.

Dan begitulah, senyuman Jungkook perlahan memudar. Sebuah ingatan tentang seseorang yang dulunya sangat dekat denganya tiba-tiba terlintas, membuat dadanya kembali sesak.

Ia sudah lama sekali tidak berbicara dengan orang itu, bertemu juga sudah sangat jarang. Padahal dulunya mereka selalu kemana-mana bersama, menempel seperti perangko dan susah untuk dipisahkan. Namun kini, mereka berubah menjadi orang asing dalam sekejap dan Jungkook sungguh belum terbiasa. Meski sudah dua tahun lamanya.

"Jungkook-ah, mau beli roti itu?" Ibu Jungkook kini sudah berada di sebelah putranya itu sambil menenteng sebuah bungkusan yang ia beli tadi.

Jungkook masih diam, dari wajahnya yang terlihat sendu ibu Jungkook tau kalau Jungkook pasti teringat dengan-nya lagi. Wajar saja, karena mereka dulunya sangat dekat. Mereka hanya memiliki satu sama lain kala itu dan ketika sebuah keadaan yang membuat mereka berjauhan datang, itu benar-benar menyakiti mereka berdua.

"Tidak eomma, kita pulang saja." Jawab Jungkook singkat, ia memalingkan wajahnya secepat mungkin untuk menyembunyikan kesedihannya dari ibunya. Namun, meskipun Jungkook mau berkilah seperti apapun, nyonya Jeon masih bisa menangkap kesedihan dari sebuah kehilangan yang Jungkook alami.

Jungkook dan ibunya kembali berjalan menuju mobil mereka yang terparkir sedikit jauh dari toko pastry yang mereka masuki tadi. Mereka harus berjalan sekitar delapan menit dan selama itu juga Jungkook lebih memilih diam dan menunduk.

Saat mereka sampai di mobil, sang ibu meletakkan kue itu di jok belakang sedangkan mata Jungkook kembali berpendar ke jejeran café di sekitar sana. Ia mengedarkan pandangannya ke samping kirinya saat mencium bau Caramel Macchiato yang sangat enak. Ia tidak bereaksi apapun sampai onyxnya menangkap dua sosok yang ia kenal betul siapa, duduk di bagian luar café yang cukup terkenal di sana, hanya beberapa meter dari Jungkook. Mereka terlihat sedang frustasi dan sedikit panik menurutnya, mata Jungkook memicing saat ia tak sengaja mendengar percakapan keduanya.

"Aku bisa gila! Kemana dia pergi? Kenapa handphonenya tidak diaktifkan?! Dasar bocah!" Pemuda bersurai cokelat kelam itu mengacak-acak rambutnya brutal, tidak bisa dipungkiri kalau dia memang sedang frustasi. Handphonenya ia lempar di meja dan wajahnya mulai memerah marah.

Melihat kefrustasian si pemuda di seberangnya, temannya yang berkulit putih pucat itu tersenyum canggung lalu beranjak dari kursinya, "Aku rasa dia tidak jauh. Lebih baik kita terus bergerak dan segera menemukan Taehyung, sebelum kau menjadi benar-benar gila karena adikmu masih di luar sana."

Mata Jungkook sama sekali tidak berkedip menyaksikan adegan barusan. Bahkan sampai kedua pemuda jangkung itu tidak lagi dalam jangkauan pengelihatannya, Jungkook masih diam. Rahangnya mengeras, matanya berubah menjadi setajam belati dalam sekejap. Ia menggigit bibir bawahnya. Tiba-tiba Jungkook menjadi khawatir setengah mati.

'Dia kabur lagi?'

—To Be Continue