webnovel

Rudolp Tertekan

Mereka semua berlalu dari sana meninggalkan ke dua pasangan yang sedang adu argumen tersebut. Zaelan tak ingin ikut campur lagi, makanya ia menarik Raeni pergi bersamanya agar tak berujung Pragma makin membencinya. Sedangkan Rudolp segera menuju ruang kerja Zaelan.

TOK!

"Masuk," teriak seseorang dari dalam saat Rudolp mengetuk pintu.

Pria paru baya tersebut memutar amplop berwarna coklat, di atas mejanya. Menunggu Rudolp masuk ke dalam. Selang beberapa menit yang ditunggu akhirnya datang juga.

Sebelum memulai pembicaraan Rudolp lebih dulu membungkukkan tubuhnya, tanda hormat kepada Zaelan.

"Ini Tuan. Semua data pria itu telah lengkap sama rekap," ungkapnya tanpa diminta. Meletakkan map berwarna hitam itu di atas meja dan mendorongnya pelan ke arah Zaelan.

"Kau boleh pergi," usir Zaelan membuat Rudolp memejamkan matanya. Tuan besarnya ini selalu saja membuatnya tekanan batin, hanya Karena sebuah map dan surat itu sampai-sampai ia menyuruh orang membangunnya. Bagus saja, jika orang suruhannya membangunkan dirinya dengan aestetik bukan dengan cara terlalu bar-bar.

"Kenapa kamu masih di sini. Sana pergi," tegur Zaelan tak suka menyentak Rudolp dari lamunannya.

"Iya Tuan." Rudolp menyahut dan kembali membungkukkan tubuhnya. Dan segera beranjak dari posisinya.

"Tunggu," panggil Zaelan menghentikan gerakannya, menekan handle pintu.

"Apalagi sih," decak Rudolp pelan sangat pelan takut didengar oleh Pak Tua menyebalkan itu.

Akhirnya Rudolp kembali berbalik menatap si empu. "Jangan lupa memanggil dokter untuk Rama. Ingat, harus dokter laki-laki. Kau tahu sendirikan!"

"Iya Tuan," jawabnya cepat.

Decakan keluar dari bibir Zaelan. "Kau ini terlalu mengantuk yah. Jangan cuma iya-iya saja, ini tugas terakhirmu sebelum kamu tidur." Zaelan sangat tahu apa yang anak itu inginkan. Dari matanya yang memerah dan sayu, bahwa ia ingin tidur.

"Dasar anak muda sekarang," ucap Zaelan menatap kepergian Rudolp.

Di tengah perjalanan menuju ruang tamu. Dia dapat melihat Pragma yang bersender di sofa dan Gelora mengobati lukanya.

"Habis bertengkar akhirnya mereka damai juga. Sedikit-sedikit bertengkar, hidup Tuan Muda sangat ribet sekali. Kalau aku jadi dia, aku tidak ingin mengejar wanita tapi wanita yang datang merangkak kepadaku," cibirnya tak habis pikir melihat kelakuan Pragma kelewat bucin.

Tringg

Bunyi handphonenya mengalihkan atensinya. Ternyata dokter Rian sudah di depan dan Rudolp segera memerintahkan bawahannya mengantarnya ke dalam.

"Tubuhmu dipenuhi banyak luka Pragma. Jadi tidak sebagus dulu," ejek Gelora membereskan semua obat-obatan.

"Ehh apa yang kau lakukan," pekiknya kaget saat Pragma menjatuhkan kepalanya di pangkuannya.

"Aku sangat lelah," adu pria itu pada Gelora.

Hufffftt

Gelora mengembuskan napas panjang beberapa kali. Membiarkan Pragma tertidur di pangkuannya, tangannya inisiatif terangkat mengelusi sudah hitam pria itu.

"Sepertinya kamu demam," gumam Gelora saat merasakan suhu tubuh Pragma meningkat. Tanpa sadar dia mengigit bibir bawahnya, pertanda khawatir dan juga bingung ingin melakukan apa.

"Permisi Nyonya," ucap Rudolp yang tiba-tiba saja datang dengan seorang dokter.

"Syukurlah," ucap Gelora.

"Cepat periksa dia. Suhu tubuhnya meningkat dan juga luka-lukanya sudah terlalu banyak. Takut infeksi," jelas Gelora memperbaiki posisi duduknya walaupun terasa sulit.

Dokter Rian menanggapinya dengan tersenyum tipis. Melihat hal itu Rudolp langsung menegurnya. "Jangan tersenyum pada Nyonya. Nanti suaminya bisa mengamuk, aku tidak bisa menolongmu."

"Cepat periksa suamiku," kata Gelora cepat. Saat menyadari ada yang salah dia segera meralat ucapannya.

"Maksudku Pragma," ralatnya cepat dia merutuki mulutnya sendiri yang asal ceplos.

"Mengakui huh," ejek Rudolp tersenyum menyebalkan di matanya.

"Nyonya. Bagaimana saya memeriksa Tuan jika dia berbaring seperti itu." Suara mengintrupsi menghentikan perdebatan dua orang itu.

"Sebentar," sahut Pragma.

"Pragma kamu bangun dulu, dokter ingin memeriksamu Jangan tidur seperti ini." Gelora menepuk pelan pipi pria itu guna agar ia terbangun.

Pragma melenguh pelan merasakan semua badannya lemas. Termasuk kepalanya terasa nyut-nyutan. Tanpa sadar ia melenguh pelan berusaha membuka matanya.

Saat mata sehijau zamrud itu terbuka, Gelora dengan sigap membantunya Pragma bangun, menyandarkan pria itu di sofa.

"Periksa di sini saja. Nanti, saya akan membawanya ke kamar," suruh Gelora saat posisinya pria itu sudah tepat.

"Baik." Dokter Rian mengangguk dan langsung duduk di samping Pragma, dia memeringkan sedikit tubuhnya menghadap Pragma.

Beberapa menit kemudian Rudolp akhirnya bisa bernapas lega. Saat dokter telah memeriksa Tuan mudanya, sehingga separuh beban sudah terangkat.

"Tuan sangat kelelahan. Tolong perhatikan pola makannya, usahakan jangan telat makan dan juga emosinya harus tetap stabil," saran dokter Rian setelah selesai membereskan barang-barangnya. Dia juga tahu kalau Pragma, sangat temperamental pada setiap hal. Tapi pria itu berusaha keras menahannya di depan Gelora. Zaelan pernah memberitahunya.

"Ini obatnya. Diminum tiga kali sehari. Untuk lukanya, tolong oleskan saja salah ini untuk menghilangkan bekas lukanya," jelas dokter Rian lagi memberikan beberapa obat kepada Gelora.

"Terima kasih dokter. Rudolp, tolong antarkan dokter Rian keluar," perintah Gelora.

"Saya bisa keluar sendiri Nyonya. Lebih baik kalian segera mengantar Tuan Pragma ke dalam kamar," tolaknya cepat saat melihat Pragma yang sedari tertidur. Tidak terganggu sama sekali.

Gelora melirik Rudolp yang juga sedang menatap ke arahnya.

"Ayo kita antar Pragma ke kamar. Aku tidak kuat menahan bobot tubuhnya sendiri," ajaknya yang langsung diangguki oleh Rudolp.

"Suami siapa sih," kata Rudolp nyolot pada Gelora.

"Mau saya suruh Rama, pecat kamu? Bisa sopan sedikit?!" tanya Gelora nyolot berhasil membungkam Rudolp.

Pria itu mendadak pucat pasih, saat mendengar ancaman dari Gelora.

"Kenapa diam?" Gelora kembali bertanya dengan sinis sembari menyeringai.

Mengancam Rudolp tidak ada salahnya bukan. Sekali-kali, dia harus membuat pria itu tak berkutit. Karena berkat dia juga Pragma berhasil menyekapnya di sini.

"Ayo bantu saya. Tubuh Pragma semakin panas," tegur Gelora agar Rudolp tak membuang waktunya lagi.

"Baik Nyonya," sahut Rudolp akhirnya. Sepertinya ancaman Gelora tidak main-main. Kalian tahu sendiri kan, seberapa pentingnya Gelora untuk Pragma. Pasti apa yang gadis itu katakan pasti akan dia turuti. Termasuk mendepaknya dari sini, jika Gelora meminta.

Tak ingin berkutat dengan segala asumsinya lagi. Rudolp segera membantu Gelora membopong Pragma. Tubuhnya, Tuannya ini lumayan berat juga.

Tingg

Pintu lift terbuka dengan segera mereka masuk ke dalam. Di mana Gelora sedang melingkarkan tangannya di pinggang Pragma, berjaga-jaga agar pria itu tidak terhuyung. Sedangkan Rudolp melepaskan sangahannya dari Pragma sejenak, dia meregangkan otot-otot tangan dan lengannya.

Tepat di angkah 3, pintu lift kembali terbuka. Gelora segera keluar dari sana, diikuti oleh Rudolp.

"Lora, Sayang," panggil Pragma berhasil menghentikan langkah mereka berdua.

"Kenapa?" tanya Gelora segera tanpa menoleh, fokus ke titik tujuannya. Sedikit lagi mereka sampai di depan pintu kamar Pragma. Yang sudah terlihat di ujung sana.

Saat mereka sampai di depan pintu. Rudolp langsung menekan handle pintu, membuka pintu dengan lebar mempersilahkan Gelora untuk masuk.

"Sepertinya tadi Tuan hanya mengingau tidak jelas," ungkap Rudolp seraya mengembuskan napa lega. Saat Pragma telah berbaring di atas ranjang. Sekarang tinggal gilirannya, untuk beristirahat. Tapi sebelum itu terjadi Gelora kembali menahannya agar tidak keluar.

Sebenarnya wanita ini mau apalagi. Sungguh terlalu ribet. Pikir Rudolp terlalu lelah dan muak. Dia sangat tertekan saat ini.

"Kamu jaga Pragma di sini. Saya akan tidur di kamar sebelah," beritahu Gelora membuat Rudolp melotot sempurna.

"Saya tidak mau," tolaknya cepat. Bisa berabe hidupnya jika dia berani menemani Pragma di dalam kamar dan membiarkan Gelora tidur di kamar yang berbeda.

"Please lah Rudolp. Tolong bantu saya,  sebelum Pragma bangun saya akan berada di sisinya. Kamu bisa pergi, yah-yah. Tolong saya," mohon Gelora mengatupkan ke dua tangannya di depan dada. Membuat Rudolp enggan untuk menolaknya.

"Tapi Nyonya bisa jamin, saya akan baik-baik saja setelah ini?" tanya Rudolp meminta kepastian kepada Gelora.

"Saya jamin kamu tidak akan di apa-apakan oleh Pragma. Saya berani menanggungnya," balas Gelora cepat.

"Hm baiklah," ujar Rudolp menagangguk kakuh dan sedikit ragu. Menatap punggung Gelora yang sudah menghilang di balik pintu.

To Be Continue.