webnovel

Kepanikan Karena Inka

Haikal keluar dari studio dengan emosi yang berkobar. Ia menggandeng kuat tangan Inka. "Kal, kamu sama Anta ada masalah apa, sih? Aku lihat-lihat kalian itu nggak pernah akur," tanya Inka yang bingung dengan semua situasi saat ini. Ia juga bingung atas situasi yang telah lalu, yang mana Haikal dan Anta sangat sering terlibat dalam perkelahian.

"Bukan urusan kamu, Ka," jawab Haikal sebaik mungkin. Ia mencoba untuk tidak melampiaskan emosinya pada Inka atas pertanyaan gadis itu. Jujur saja jika bukan gebetannya yang bertanya, sudah dapat dipastikan orang itu akan menjadi pelampiasan emosi Haikal.

Inka menatap kesal pada Haikal. Ia menghentikan langkahnya yang otomatis membuat Haikal berhenti pula. Haikal menoleh ke belakang dan menatap Inka bingung. "Kenapa berhenti, Ka?"

Ekspresi kesal terpancar jelas dari wajah Inka. "Kamu itu kenapa, sih? Kenapa jawabnya begitu? Emang aku orang lain bagi kamu?"

Haikal menutup matanya dan menghela napas lelah. Apa Inka tidak sadar bahwa ia hanya menjadi mainan dirinya? "Ka, ini emang nggak ada urusannya sama kamu."

"Ya, makanya kamu cerita, biar semuanya jadi urusan aku juga."

"Nggak bisa, Ka." Ia menggenggam kembali tangan Inka. "Kita pulang sekarang," lanjutnya.

"Bentar," tahan Inka.

"Kenapa lagi?"

Inka menarik napas dalam dan membuangnya kasar. "Aku sepsial nggak, sih, buat kamu?"

Pertanyaan dari Inka lantas membuat Haikal menaikkan sebelah alisnya. "Nggak ada yang lebih spesial dari Bella," batin Haikal.

Haikal mengusap puncak kepala Inka. "Ka, kamu temen aku dan udah tentu kamu spesial."

Inka melotot tak percaya atas jawaban Haikal. "Kal, yang bener aja kamu?! Kamu cuma anggap aku temen?"

Dahi Haikal mengernyit. Ia bingung atas pertanyaan gadis itu. Memangnya hubungan seperti apa yang dirasakan Inka selama ini?

"Ya ..., emang temen, kan?"

"Kita itu lebih dari temen, Kal!!!" kesal Inka.

"Tapi aku nggak pernah nembak kamu, Ka."

Inka memutar bola matanya malas. "Aku tau itu, tapi hubungan kita tingkatannya di atas temenan dan di bawah pacaran. Mending sekarang kamu tembak aku biar hubungan kita jadi pacaran."

"Cewek gila," batin Haikal.

"Kal, kenapa diem aja? Tembak aku sekarang, Kal. Aku udah cinta banget sama kamu."

Haikal menggeleng sembari tersenyum. "Aku nggak bisa, Ka. Aku nyaman temenan sama kamu."

"Temenan itu nggak gini, Kal. Ini semua terlalu berlebihan kalau cuma disebut temenan." Inka mengalungkan tangannya di leher Haikal. "Atau kamu maunya aku yang nembak kamu?" goda gadis itu.

Haikal yang merasa risih akan posisinya dengan Inka saat ini lantas melepaskan tangan gadis itu dari lehernya. "Ka, jangan begini!"

"Kamu jadi pacar aku, ya, Kal?"

Haikal menggeleng. "Nggak, Inka. Kita cukup temenan aja. Ada banyak cowok di luar sana yang lebih pantas bersanding sama kamu."

"Nggak, Kal! Nggak ada cowok yang lebih pantas dari kamu!" serunya.

Haikal melirik jam yang melingkar di tangannya. "Ka, udah hampir jam sepuluh. Ayo, pulang sekarang!"

"Nggak!" tolak Inka. Inka menunjuk wajah Haikal. "Kalau kamu nggak mau nerima aku, aku nggak mau pulang sama kamu," ancamnya dan langsung pergi meninggalkan Haikal. Ia berlari sekencang mungkin menuju keluar mal.

Haikal berdecak kesal. "Nyusahin banget jadi cewek!" kesal Haikal dan langsung mengejar gadis itu, walau bagaimanapun Inka adalah tanggung jawabnya untuk malam ini.

"Inka," teriak Haikal. "Ka, berhenti di sana!"

Seorang pria berseragam menahan langkah Haikal. "Mas, resto kami lagi ada promo, nih. Silakan masuk, Mas," ucapnya.

"Mas, nggak lihat saya lagi buru-buru begini? Saya nggak ada waktu untuk makan sekarang," ketusnya dan langsung lanjut mengejar Inka.

"Sial, gue kehilangan jejak Inka!" kesalnya. Ia melirik ke belakang dan menatap kesal pada sebuah resto yang sudah menahannya tadi. "Ini semua gara-gara karyawan resto itu."

Haikal mencoba untuk menghubungi gadis itu. Namun, Inka sama sekali tak menghiraukan panggilan telepon dari Haikal.

"Habis gue sama bapaknya Inka kalau begini ceritanya." Haikal tampak sangat frustasi akan keadaan saat ini.

Tak lama kemudian, ia berlari menuju parkiran. Ia berpikir mungkin Inka sudah ke parkiran duluan. Haikal mengedarkan tatapan ke seluruh penjuru tempat parkir, tapi sosok Inka sama sekali tak ia temukan. "Mas, tadi ada lihat cewek tingginya sebahu saya, pakai dress warna navy, dan rambutnya digerai nggak, Mas?" tanya Haikal pada security yang menjaga parkiran.

"Maaf, Mas, saya nggak lihat sama sekali. Apa mau saya bantu kasih tau ke meja informasi, Mas?" tawar lelaki itu.

Haikal menggeleng. "Nggak perlu, Mas. Dia nggak akan mau kalau denger panggilan dari meja informasi. Terima kasih ya, Mas."

Haikal menaiki dan melajukan motornya. Ia berniat untuk mencari Inka di sekitar area mal. Siapa tau gadis itu menunggu jemputan di sekitar sana. "Ka, lo kemana, sih? Ngerepotin gue aja," gumamnya denhan rasa kesal, marah, dan khawatir yang bercampur.

Haikal menajamkan pandangannya selagi membawa motor. Ia memperhatikan setiap tempat yang ia lewati dan memastikan keberadaan Inka di sana. Sejauh yang ia cari, Inka sama sekali belum ditemukannya.

Sudah hampir setengah jam ia mencari gadis itu di sekitar mal, tapi ia belum menemukan tanda-tanda keberadaan Inka. Ia menghentikan motornya dan kembali mencoba untuk menghubungi Inka. "Gue mohon angkat, Ka," gumamnya penuh harap.

"Coba telepon temannya aja kali, ya," ucap Haikal dan langsung menelepon seseorang yang dapat dipastikan adalah teman Inka.

"Nggak diangkat juga," lirihnya. Haikal menatap kesal pada ponselnya. "Ini pada nggak punya kuota apa gimana, sih?"

Pandangan Haikal tertuju pada jalanan kosong di depannya. Ia benar-benar frustasi dengan keadaan saat ini. Tak lama kemudian, ponsel Haikal berdering dan membuat cowok itu tersadar dari lamunannya.

Di ponselnya tertulis nama Jiro. Ia segera mengangkat panggilan itu. "Halo, Jir?" sapanya untuk Jiro.

"Kal, lo malam ini ada janji mau nonton bareng Inka, kan?" tanya Jiro dari seberang sana. Nada panik terdengar jelas dari ucapan pria itu.

Pertanyaan dari Jiro langsung membuat Haikal panik. "Iya, ada. Emangnya kenapa?"

"Lo nggak sama dia? Ini tadi gue lihat Inka dibawa Anta pakai mobilnya," jawab Jiro.

"Kurang ajar," desis Haikal.

Kepanikan di seberang sana semakin menjadi. "Kal, ada apa? Gue bisa bantu?" panik Jiro.

"Jir, gue minta lo ikutin mobilnya Anta dan segera shareloc pas udah berhenti nanti. Gue nggak bisa cerita sekarang, nanti gue ceritain," pintanya.

"Siap, Kal," ucap Jiro dan panggilan telepon langsung terputus.

Saat Haikal baru saja menyelesaikan panggilannya dengan Jiro, sebuah notifikasi dari Anta mengharuskannya untuk membuka itu. Anta mengirimkan sebuah foto di mana Inka terlihat pingsan di dalam mobilnya. Darah Haikal langsung mendidih kala melihat foto itu.

"Antanjing," desisnya dengan meremas ponselnya.