webnovel

Pesan Cinta Effendik

“Menata hati bukan ikwal membalik telapak Mencairkan luka jua tak sekedar meneguk kopi Menyapu keresahan masa lalu jua teramat tak mampu Semua adalah garis takdir qada Mau tak mau harus terlewati Di sisinya ada jurang di sisi yang lain ada lubang Di tengah-tengah ada serapak dua kaki Bila salah sedikit neraka jahanam adalah ujung tanpa tepi Bukan masalah hanya mengucap Bismillah Atau mengusap kedua tangan kemuka dengan Allhamdulillah Tapi terus berjalan di jalanan yang benar Setegak alif sekuat baq berjuang demi menjaga keimanan dan kesalehan hati Terus berusaha hidup dengan lafaz shalawat dan tabuh genderang takbir langit” *** Begitulah serat cinta lampiran sebait puisi Effendik yang iya tulis rapi bak catatan buki diari. Sore menjelang magrib dengan segelas kopi dan sebungkus rokok di atas meja berteman sunyi sebuah gang desa bernama Mojokembang. Sebuah desa pinggiran kota Jombang. Ini ikhwal sebuah cerita dan album masa lalu Bagus Effendik. Seorang lelaki muda yang sedang mencari jati diri. Benturan demi benturan kenyataan pahit terus ia lalui. Kehidupan sederhana dari orang tua yang sederhana membuat ia harus selalu berjibakuh dan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Bagus Effendik yang sering dipanggil dengan sebutan Cacak Endik. Adalah pemuda biasa dari kebanyakan pemuda kampung lainnya. Namun di balik penampilannya yang biasa saja terselip kalam-kalam illahi yang indah yang selalu tergetar di mulut dan hatinya. Jalan takdir yang ia miliki membuatnya selalu resah dengan keadaan yang diterimanya. Iya selalu bertanya dalam hati apa itu cinta sebenarnya dalam arti mana harus ku kerahui cinta apakah dalam arti kiasan atau secara hakikatnya

Cacak_Endik_6581 · ย้อนยุค
Not enough ratings
55 Chs

Mimpi Amanah

Malam menggelayut di ujung petang teramat gelap bahkan untuk di ingat, kabut mulai menyelimuti desa Mojokembang sebuah desa di sebelah timur pinggiran kota Jombang paling pinggir tepatnya di sebuah kecamatan Mojowarno bersebelahan dengan kecamatan Bareng dan paling timur kecamatan Wonosalam.

Hawa dingin kabut yang terus merambat perlahan melahap setiap segi bangunan rumah para warga menambah mencekamnya kengerian seperempat petang menjelang pagi. Suram lampu jalan berdaya 5 watt tampak berkerlip dari kejauhan seakan sebuah bintang yang tertutup awan. Namun lampu jalan terselubung kabut petang.

Rembulan tidak tampak di tutup mendung bersembunyi di balik gelapnya arak-arakan awan kelam. Burung hantu tampak berkoar bahagia menyambut kengerian gelap yang sedang meraja melambaikan hawa ketakutan.

Tabuh bambu sahut-bersahut dibarengi gemercik sungai belakang desa seakan menambah getar sesak akibat rasa merinding pada bulu kuduk bagi warga yang terjaga di pos-pos ronda ujung-ujung desa.

Lambaian daun kelapa yang melayung ke sana-kemari diterpa angin gelap tengah malam. Yang berarus sedang tak kencang ya tak rendah. Daun pohon kelapa seakan memberi bayangan seolah tangan besar melambai-lambai memanggil-manggil dengan kukunyah yang panjang dan tajam.

Di sebuah gubuk reot berdinding setengah batu bata dan setengah anyaman bambu. Sebuah rumah paling sederhana sebelah paling selatan desa pas di pertigaan depan gardu terakhir desa. Masih dalam lingkup RT 08/RW 02. Di salah satu kamar paling belakang sebelah pintu tengah bergaya kupu tarung namun dalam volume kecil berwarna hijau Amanah seorang istri muda yang tengah hamil tua sedang terlelap di ranjang tua buah tangan Pak Kasnam seorang tua sebaya usia 60 tahunan bapak dari Amanah.

Amanah tampak berkeringat dingin dalam terlelapnya. Walau terpejam namun seakan bola matanya bergerak-gerak tak beraturan seakan ada sesuatu keadaan yang menyeramkan ia lihat dalam terbaringnya.

Tubuhnya sebentar-sebentar miring ke kanan, sebentar-sebentar miring ke kiri tak menentu. Seakan kegelisahan badan tengah menerpa dalam lelapnya kali ini.

Dalam usia kandungan tua yang semakin tua telah lebih dari 10 bulan 14 hari sudah melewati masa waktu kelahiran yang seharusnya 9 bulan 14 hari.

Namun keanehan terjadi saat sang kekasih hati suami tercinta Kasturi hendak berpamitan merantau kembali demi mengubah taraf hidup yang lebih baik kelak antara Amanah dan iya. Kota Serang sebuah kota perjuangan, sebuah kota tanah merah para jawara suatu tujuan dari masa muda hingga kini untuk merantau mencari sesuap nasi.

Seminggu yang lalu Kasturi pulang karena mendapat kabar sang istri muda Amanah hendak melahirkan buah hati anak pertamanya. Namun keajaiban aneh terjadi saat pas hari H yang di jadwalkan ibu bidan untuk jadwal Amanah bersalin ternyata meleset akibat ulah sang calon bapak muda.

Apa hal saat sore menjelang magrib tiga hari yang lalu. Saat Amanah merasa sakit teramat sangat di punggung seakan begitu menyiksa. Di buat duduk sakit berdiri sakit tidur apa lagi teramat sakit. Sebuah tanda bahwa sore ini Amanah hendak melahirkan memang sudah waktunya.

Tetapi suatu kejadian aneh mengurungkan keluarnya sang anak pertama, "Nak tenang ya kasihan Ibumu kesakitan Bapak jadi tidak bisa pergi merantau kembali. Cepat lahir ya anakku biar Bapak bisa cepat pergi kembali merantau ke Serang untuk bekerja mencari uang agar dapat membeli baju-bajumu nanti," sambil mengelus perut sang istri Kasturi terus berbisik di dekat perut Amanah yang telah besar sebab telah waktunya melahirkan.

Dan hal aneh terjadi seakan sang anak dalam kandungan Amanah tak mau ditinggal sang Bapak pergi seketika ia berhenti bergerak dan sakit di punggung Amanah reda seketika.

"Loh Pak, sudah enggak sakit lagi loh Pak, kok bisa ya Pak benaran tidak sakit lagi loh," amanah terheran heran sambil berdiri dan memutar-mutar badannya menandakan sakit di pinggang dan punggungnya tak terasa lagi.

Dan malam kali ini menjelang pagi datang tepat pas seperempat petangnya Amanah tertidur tak tenang bukan Ikhwal hendak melahirkan tapi sebuah mimpi seram sedang bergelayut di depan matanya yang masih terpejam.

Dalam alam mimpinya ruh amanah terus berlari di sebuah pematang setapak sawah namun serasa tiada ujung jalan setapak tersebut di sepanjang mata memandang hanya ada padi dan rumput dan temaram obor yang tertancap di atas bambu-bambu panjang dijadikan tiang pinggiran pematang.

Amanah terus berlari ketakutan dengan tersengal dan ngos-ngosan sambil menggendong sesosok bayo lelaki yang masih merah seakan baru iya lahirkan beberapa saat yang lalu.

Dan tiba-tiba sahaja seperti tanah-tanah di belakang iya berlari di setiap tapak kaki bekas pijakannya berlari. Muncul tangan-tangan merah berlumur darah lalu tangan-tangan itu seperti mengejar dengan kukuh-kukuhnya yang panjang dan tajam hendak meraih kaki Amanah.

"Jangan-jangan!" teriak Amanah dalam mimpi sambil terus berlari.

"Amanah berikan anak lelakimu, berikan bayi lelaki itu, berikan anakmu," seakan tangan-tangan merah terus mengejar sambil memanggil-manggil namanya dan berkata untuk merebut bayi lelaki merah di gendongannya.

"Tidak-tidak dia anakku, dia bayiku tak akan kuserahkan pada siapa pun," amanah terus meracau dan terus berlari tanpa tujuan di setapak pematang sawah seakan tanpa ujung terus memanjang semakin Amanah berlari seakan semakin panjang jalan setapak ia lewati.

Lalu akhirnya ujung terlihat namun gelap tanpa sisi dimanapun gelap tetap tiada tepi jua pada akhirnya. Amanah semakin bingung tak tahu arah dalam hatinya hanya ingin bayinya selamat walau iya harus mati oleh tangan-tangan merah yang tentu dalam pikiran Amanah mereka setan durjana.

Dalam benaknya bertanya-tanya kenapa bayiku dikejar-kejar banyak makhluk dari lembah neraka? Matanya teramat takut untuk melihat ke belakang, karena sudah pasti sosok-sosok tangan setan mengejarnya.

"Bu, Ibu tenanglah aku akan membantu Ibu dengan ijin Allah satu acungan jari ku dapat menghancurkan ribuan tangan setan yang mengejar Ibu," sebuah kata-kata terucap dari sang bayi merah dalam gendongan Amanah.

Dan Amanah hanya terperangah dengan berbagai pertanyaan, "Kenapa dan mengapa bayi sekecil ini yang seakan masih merah baru dilahirkan dapat bicara, apa ini benar bayiku apa bukan bayi setan jua?"

Namun sang bayi seakan mengerti kata hati Amanah dengan senyumannya, dengan telunjuk kecilnya yang masih merah iya acungkan kecilnya yang ia acungkan pada ribuan tangan-tangan merah para setan yang terus merambat pada tanah jalan setapak pematang.

Seketika sebuah cahaya putih bening bersih keluar dari ujung telunjuk menyorot lurus jauh memanjang memporak-porandakan ribuan tangan. Dan setiap tangan yang terkena cahaya pasti terbakar hancur lalu menjadi abu hingga tak bersisa.

"Bu sekarang sudah aman semua itu adalah karena ijin Allah Bu aku anakmu bukan siapa-siapa hanya ciptaannya saja tiada lain," bayi merah di gendongan Amanah kembali menjelaskan apa yang sedang terjadi.

"Nak apa benar kau bayi yang kulahirkan?" tanya Amanah seakan sangat khawatir dan begitu tak yakin kepada sang bayi merah yang tengah dalam gendongannya.

"Bu aku adalah bayi lelaki yang akan Ibu lahirkan esok hari saat pagi Bapak pulang dan paginya lagi saat matahari datang menyapa dunia mengubah gelap menjadi terang. Begitulah takdirku dan tujuanku. Datang ke dunia sebagai pemberi terang mengubah gelap kalian Ibu dan Bapakku menjadi terang dengan cahaya zat utama Nur Muhammad.

"Aku bayimu Bu dan lihatlah aku petik rembulan emas ini untukmu kelak dimasa harimu dengan usia memasuki waktu subuh. Rembulan emas di tanganku menjadi milikmu ibu maka bersabarlah dalam kesusahan karena aku anak lelakimu," penjelasan sang bayi merah yang tiba-tiba menggenggam rembulan emas di tangannya sontak membuat mata Amanah kembali terjaga dalam lelapnya.

"Oh Cuma mimpi ku," gerutu Amanah masih terbaring di atas ranjang reot kamarnya sambil berpeluh keringat karena sedang mengalami sebuah mimpi aneh tentang bayi lelaki dan rembulan emas.

Creation is hard, cheer me up!

Cacak_Endik_6581creators' thoughts