webnovel

Permintaan mas Biru

"Em, itu ... anu, Puspa ada kok. Dia gak ikut," jawab Mas Biru, melirik wajahku. Sementara wanita yang berdiri di samping kami itu terlihat mengangguk.

"Terus, dia ini siapa?" Setelah itu menunjuk ke arahku, seraya bertanya.

"Saya ini istri ...." Ucapanku terpaksa menggantung di udara. Saat seseorang dari belakang memanggil wanita itu.

"Ayo, Wik!" seru orang itu, sontak membuat sang pemilik nama menoleh ke belakang.

Sebelum pergi meninggalkan kami. Wanita itu berpamitan, "maaf ya Biru. Aku duluan, temen aku dah ngajak pergi."

"Oh iya, gak apa-apa kok!" sahut Mas Biru, tersenyum lega. Terbukti, ia langsung menghembuskan napasnya kasar. Setelah temannya itu benar-benar pergi.

Belum juga kecurigaan aku terjawab, tentang pesan Tina tadi. Sekarang, di kepala ini terpenuhi dengan nama seorang wanita yang bernama 'Puspa'. Siapa wanita itu, ada hubungan apa dengan Mas Biru.

Jika aku perhatikan, memang ada yang aneh dengan pria di hadapanku ini. Seperti menyimpan rahasia besar, yang sulit untuk aku jangkau.

Setelah bergelud dengan perang batin yang cukup ulet. Aku memutuskan untuk bertanya. Siapa Puspa itu dan ada hubungan apa dengannya.

"Mas, aku boleh nanya sesuatu ke kamu?" Aku mulai bersuara. Ia kembali gusar, terlihat dari tatapan matanya yang tak fokus ke arahku.

"Mau nanya apa, Kinan?" jawab pria itu, balik bertanya. "Soal wanita tadi, ya?" tebaknya yang langsung tepat sasaran.

"Udah, gak usah dipikirin. Dia itu temen aku, biasalah dia suka bercanda, gitu," sambungnya, seperti mencari-cari alasan.

Itu yang semakin membuat aku curiga. Belum juga aku menyebutkan pertanyaan aku, Mas Reno seperti sedang mencari pembelaan.

"Oh," decakku, mengangguk.

Percuma juga bertanya pada orang yang jelas-jelas menyembunyikan sesuatu. Dia tidak akan mungkin mengakui. Aku harus mencari cara, agar bisa tahu tentang wanita yang bernama Puspa itu. Dengan cara, menyelidiki secara diam-diam ke mana Mas Biru pergi.

"Dimakan, Kinan!" seru Mas Biru mempersilahkan aku makan. Setelah, waiters datang membawa makanan, dan diletakkan di meja.

"Iya, Mas."

**************

Perjalanan singkat, membawa kami ke sebuah rumah mewah di kawasan elit kota Jakarta. Bangunan tiga lantai yang dipadu padan dengan gaya klasik modern itu tak asing lagi bagiku. Karena kami sering berkunjung ke rumah itu.

Senyum mengembang dari sudut seorang wanita cantik, meski usianya tak lagi muda menyambut kedatangan kami.

"Kinan, kalian udah datang!" seru wanita itu, menghambur ke pelukan. Aku sangat beruntung diterima di keluarga ini.

"Iya, Buk. Yang lain pada kemana, Buk?" tanyaku, tak melihat adik-adik Mas Biru. Biasanya mereka yang paling heboh, kalau kami pulang dari luar.

"Mereka ada kok di dalam, pulang nge-mall. Biasalah adik-adikmu," jawab ibu menyeringai. "Gimana malam pertamanya, ibu harap kalian bisa secepatnya kasih ibu cucu," bisiknya padaku, tapi masih bisa didengar oleh Mas Biru. Jujur, dalam hatiku merasa bersalah. Momen yang memang sudah dipersiapkan oleh mereka, harus gagal karena Mas Biru lebih memilih pekerjaannya dibanding melakukannya denganku. Namun, aku juga tidak boleh egois. Tidak mengerti kesibukan suami.

Aku hanya bisa menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Sembari tersenyum getir menanggapi pertanyaan Ibu. Sedangkan Mas Biru, terlihat panik dan langsung pamit ke atas.

"Bu, aku ke kamar dulu, ya?" katanya, mengambil koper kami.

"Ya udah, Sayang. Kamu temenin Biru aja. Ibu mau ke belakang dulu," sahut Ibu mertuaku yang sangat pengertian.

"Iya, Bu. Kinan nemenin Mas Biru dulu, ya?" pamitku pada beliau. Ibu tersenyum mengangguk.

Kami akhirnya masuk ke kamar. Mas Biru meletakkan koper di samping lemari, setelah itu duduk di sofa sambil memegang gedgednya. Sementara aku, memilih untuk merebahkan tubuh yang terasa lelah. Padahal, perang belum dimulai. Anehnya, mata ini enggan terpejam. Justru memperhatikan Mas Biru yang nampak asyik dengan benda itu di tangannya. Bahkan, kulihat bibirnya nampak menyunggingkan senyum yang membuat hati ini meleleh.

"Mas, lagi chat sama siapa, sih!" Ku beranikan diri untuk bertanya.

Ia sedikit terkejut, dengan pertanyaan dariku. Benda pipih berwarna hitam yang ada di tangannya, ia sembunyikan ke belakang. "Em, itu. Em, temen," jawabnya gugup. Tidak menyakinkan.

Temen? Sampai sedekat itukah dengannya. Ya Tuhan, perasaan ini kembali diliputi rasa curiga. Biasanya, pasangan pengantin baru mesra-mesraan mengisi hari libur mereka. Tetapi kenapa, Mas Biru tidak melakukannya padaku. Apa mungkin dia gak tertarik sama aku? Atau justru dia penyuka sesama jenis. Astaghfirullah, segera aku ucap istighfar banyak-banyak dalam hati.

Aku berinisiatif untuk mendekatinya. Rasa lelah dalam hatiku, mengalahkan lelahnya tubuh ini. Mungkin, Mas Biru ini tipe orang yang pemalu. Harus dipancing dulu, agar terbiasa. Aku duduk di sampingnya. Meski jantung ini berdebar tak menentu. Aku tidak peduli, aku harus tetap berusaha.

"Mas, aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?" Aku memancingnya dengan pertanyaan itu.

"Apa?" tanyanya sangat singkat. Yang membuat aku sedikit sakit, ia justru bergeser menjauh duduknya. Seolah tak ingin dekat denganku.

"Kenapa kamu mau menikahi aku, Mas?" tanyaku, dengan wajah memerah. Bukan karena tersipu malu. Namun, merasakan sakit yang luar biasanya karena sikapnya.

"Kenapa kamu nanya begitu?" Ia justru melempar balik pertanyaan kepadaku. Akan tetapi, dari caranya memandang. Ia sangat tertekan di posisi ini. Entah apa alasannya. Itu yang sedang aku gali dan cari tahu, sekarang.

"Ya aku pengen tahu aja, Mas. Kita sama-sama tahu. Pernikahan kita ini bukan dilandasi atas dasar cinta. Karena itu, aku ingin tahu. Apa alasan kamu menikahi aku? Untuk menyenangkan hati orang tua, atau kamu punya alasan lain?" ungkapku panjang lebar. Huh, rasanya sangat sesak. Mengutarakan uneg-uneg yang sempat mengganjal di hati. Lebih menyesakkan lagi, menunggu jawaban dari pria itu.

"Kalau kamu sendiri, kenapa mau nikah sama aku? Apa karena aku kaya dan banyak uang?"

Jlebb

Tubuhku langsung memanas. Desir darahku memacu kencang. Serendah itukah dia memandang aku. Ya Tuhan, rasanya sakit mendengar jawaban itu.

"Katakan, Kinan!" desak Mas Biru, yang sepertinya ingin tahu jawabanku.

"Kamu pengen tahu, Mas. Apa alasan aku mau menikah denganmu?" Aku mengulang pertanyaannya. Dia mengangguk tak sabar.

Mungkinkah aku mengatakan yang sejujurnya. Seperti apa perasaanku selama ini padanya. Atau aku tutup rapat-rapat darinya.

Aku menatap sekilas wajahnya, kemudian beralih ke arah lain. Tak tahan, melihat sorot matanya yang menuntut. "Jawabannya mungkin sama dengan alasan Mas menikahi aku. Atau, memang ada hal lain yang tidak bisa aku ceritakan padamu, Mas," desisku, setengah sesak menahan dada yang sakit.

Mas Biru terlihat tidak puas dengan jawaban yang aku katakan. Kedutan di keningnya, menandainya. Ia memilih diam, tak bertanya lagi. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Yang jelas, diantara kami berdua hanya saling diam.

"Kinan, boleh aku meminta sesuatu darimu?" Hingga Mas Biru dulu yang bersuara. "Mungkin, ini akan sedikit menyakitkan untuk kita. Tapi, ini harus aku katakan." Wajahnya terlihat serius, saat aku memandanginya.

"Ada apa, Mas?" Sontak membuatku bertanya.