webnovel

Pernikahan Kontrak Tuan Muda

"Menikahlah denganku maka ku bebaskan semua hutang-hutang orang tuamu! kau tidak perlu takut, pernikahan ini hanya sementara, sebut saja pernikahan kontrak." Diva, gadis yang baru saja pulang dari study di luar negeri di kejutkan akan permintaan orang asing itu, terlebih saat dirinya menatap wajah orang tuanya yang nampak tak berdaya. "Me-menikah?" Gadis itu terdiam beberapa saat, dia sangat-sangat tidak ingin namun melihat ketidakberdayaan orang tuanya membuatnya mau tak mau harus menerima itu semua. "Kontrak pernikahan selama dua tahun, setelahnya kau ku bebaskan. Ekonomi keluargamu kembali normal dan kau akan ku ceraikan!" "Ce-cerai?" "Ya. Gampang bukan?" Lelaki itu melempar surat perjanjian di atas meja. "Cepat tanda tangani dan besok kita akan menikah!" Dengan wajah angkuhnya dia melenggang dari hadapan semua orang. "Urus mereka!"

Nabila_Putrii · สมัยใหม่
Not enough ratings
401 Chs

Hari pertama Serumah

"DIVA!" teriakan menggelegar itu membuat Diva terlonjak, dia segera berlari ke arah Kenzo yang ada di dalam kamar.

Dirinya yang sedang rebahan menonton film tentu saja terkejut, kebiasaan sekali lelaki itu berteriak. "Iya, kenapa tuan muda?" tanyanya.

"Ambilin saya handuk! saya lupa tidak membawanya." Diva melongo mendengarnya, dia berdecak pelan. Menyebalkan! dia pikir apa, kalau cuma itu tidak perlu berteriak bukan.

"Apa! berani kamu melawan saya!" ucap Kenzo lagi, Diva gelagapan mendengarnya kenapa lelaki itu selalu tahu.

"T---tidak tuan, i---ini handuknya." Diva mengetuk pintu itu, Kenzo membukanya sedikit dan segera menariknya.

Diva bernafas lega, dia mengusap jantungnya yang tengah jedag-jedug saat ini. "Ehem." Dia menoleh ke belakang saat mendengar deheman cukup keras.

"Oh, shit!" Mulutnya terbuka dengan wajah bodoh melihat ke arah Kenzo yang baru keluar dengan tubuh atletis, sisa-sisa air itu mengalir di wajahnya hingga dadanya yang terbuka. Dia keluar dengan hanya menggunakan handuk sebatas lutut.

"Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, Diva!" ucap Diva tanpa sadar.

"Seksi!" Bibirnya sangat lancar mengucap kata itu, Kenzo tersenyum miring melihatnya. Tangannya yang bebas menarik pinggang kecil Diva menatapnya dalam.

"Siapa yang seksi, hm? ternyata kau sangat nakal!" ucap Kenzo berat, matanya melotot ketika sadar akan ucapannya barusan.

"Tu---tuan muda, ma---maaf! mak---maksud saya---" Matanya mengedar mencari jawaban yang pas, dadanya berdegup kencang merasa gugup.

Terlebih tangan Kenzo yang masih melingkar di pinggang Diva. "Maksud apa? jawab dong, kenapa diem aja? kamu mau ini?" Tangannya menggapai tangan Diva dan mengusapkannya pada perut kotak-kotaknya.

Secepat kilat Diva melepasnya. Matanya semakin melebar, Diva akan pergi namun tak bisa karena cengkraman tangan Kenzo pada pinggangnya.

"Tu---tuan lepas!" ucapnya terbata. Kenzo semakin menyeringai bukan melepas Kenzo semakin mengeratkan pelukan mereka.

"Kenapa? bukankah barusan kamu mengatakan saya seksi?" Wajah Diva memerah mendengarnya, dia benar-benar merutuki ucapannya yang asal.

"Tu---tuan sa---saya hanya praktek, ah iya saya praktek untuk, untuk--- syuting!" Kenzo mati-matian menahan tawa, what syuting? dia tidak bodoh, Diva bukan artis.

"Oh ya? sejak kapan dokter beralih tugas menjadi syuting? dan apakah kau syuting menjadi wanita penggoda?" Mata Diva menajam mendengarnya.

"Ish! jaga ucapan tuan ya, enak aja bilang saya penggoda. Saya cuma refleks aja, siapa suruh berdiri di belakang saya. Kan saya kaget! lagian, emang dosa godain suami sendiri?" tanya Diva sensual, dia berbisik di telinga Kenzo dengan suara berat dan dengan sengaja dia meniup leher Kenzo.

Membuat tubuh lelaki itu meremang. "Shit!" umpat Kenzo, dia segera melepas tangannya dari pinggang Diva sebelum hal yang tidak dia inginkan terjadi.

"Pergi!" Diva terkekeh geli mendengarnya, dia segera berlari. Memang siapa suruh mengganggunya! kena kan dia sekarang.

Diva kembali rebahan di depan televisi dengan banyak makanan, jajan di meja. Sepertinya dia tidak menyesali keputusannya menikah kontrak dengan Kenzo. Ayolah ini tidak seperti pernikahan kontrak yang dia baca di novel-novel.

Di mana si pria yang kejam dan blablabla, ya Diva akui Kenzo kejam tapi lelaki itu tidak kasar. Hanya ucapannya saja yang menyebalkan, Kenzo membebaskan dirinya tidak memberi tekanan kepadanya.

Dia malah menyuruh Diva bersantai tanpa membersihkan apapun karena pembantu sudah ada sepuluh di rumah ini, gila! rumah sebesar ini hanya Kenzo dan Diva yang menempati.

"Enak banget jadi istri sultan!" ucap Diva terkekeh geli. Kenzo turun dan melihat ruang tv nya yang penuh dengan makanan.

Dia menggeleng pelan, nasib sekali menikahi wanita seperti Diva. "Kalau udah selesai beresin! saya tidak mau rumah saya kotor." Diva mengangguk, menatap penampilan Kenzo dari atas sampai bawah.

Kaos hitam juga celana pendek, terlihat sangat tampan, baru kali ini Diva melihat Kenzo berpakaian casual biasanya lelaki itu memakai baju kantoran, baju formal.

"Apa lihat-lihat!" ketusnya, Diva terkekeh pelan dia sama sekali tidak terlihat takut pada Kenzo, dia memang gadis ajaib.

"Em, tuan. Kapan saya bisa kerja?" tanyanya hati-hati, Kenzo yang tadinya fokus bermain ponsel menatapnya.

"Memang kamu mau kerja di mana?" tanyanya, Diva berdecak kesal bukankah dia sudah tahu kenapa harus bertanya.

"Saya tidak suka jika ada orang yang berdecak di depan saya! tidak sopan." Diva mengangguk layaknya anak kecil, Kenzo ini memang sangat cerewet.

"Kerja saya di rumah sakit tuan." Diva membalas mencoba sabar, wajahnya menatap penuh harap kepada Kenzo agar lelaki itu mengizinkannya.

"Oh, tukang bersih-bersih?" ucapnya santai kembali memainkan ponselnya. Wajah Diva merah padam merasa kesal.

"Ih, bukan tuan. Saya kerja sebagai dokter, d-o-k-t-e-r! dibaca dokter." Perjelas Diva, ingin sekali mencakar wajah Kenzo yang menyebalkan itu.

"Oh." Hanya oh, ayolah dosa kah memukul kepala suami? agar otaknya kembali bekerja. Menyebalkan sekali!

"Jadi, gimana tuan bolehkan? waktu itu mama bilang, Diva boleh kerja. Jadi, tuan gimana? boleh kan? boleh ya, please. Percuma dong Diva sarjana kedokteran kalau Diva nggak pakai ilmu itu!" ucapnya sedih.

"Hm."

"Hm apa? boleh?" tanyanya. Kenzo terdiam menatap intens ke arah Diva dari atas hingga bawah membuat Diva meneguk salivanya kasar.

"Ke--kenapa tuan?" tanyanya hati-hati.

"Memang kamu dokter apa? dokter hewan!" ucapnya santai, tidak dengan Diva yang akan meledak saat ini juga.

"Dokter bedah tuan, tuan mau Diva bedah? Diva ambil ginjal sama jantungnya buat di jual?" ucapnya sabar namun juga geram.

"Oh." Setelahnya dia bangkit dan pergi begitu saja membuat Diva mencak-mencak merasa kesal.

"NYEBELIN!" teriaknya kesal, dia tidak perduli jika Kenzo mendengarnya. Sedangkan di dalam kamar Kenzo tertawa puas setelah berhasil mengerjai Diva.

Kenzo mengambil ponselnya mulai menghubungi orang kepercayaannya.

"RS. Medika akan di urus istri saya, dia yang akan menjadi dokter bedah di sana. Tolong kamu siapkan ruangannya!" ucap Kenzo pada orang kepercayaannya.

Kenzo duduk di balkon kamar dengan laptop di pangkuannya, dia tengah memeriksa beberapa email yang dikirimkan oleh Moreo. 

Lelaki itu tampak fokus sesekali menyeruput kopi yang tadi dia buat. Memang kebiasaan Kenzo padahal banyak pembantu di rumahnya namun Kenzo lebih senang membuatnya sendiri.

Pembantu pun di rumah belakang, mereka ke rumah utama jika pagi, dan malam saja untuk memasak, selebihnya pekerjaan mereka ada di rumah belakang.

*****

Diva merasa bosan dengan kegiatannya, dia mematikan televisinya, membersihkan makanannya dan berjalan ke arah dapur.

Diva menatap bosan makanan itu, padahal banyak sekali makanan namun dia sama sekali tak tertarik.

"Aku buat bolu cokelat kayaknya enak!" Diva tersenyum senang, ide yang bagus dari pada dirinya bosan lebih baik membuat makanan yang dia sukai.

Diva mulai menyiapkan bahan-bahannya, dia sudah sering membuat kue ini karena dulu dirinya sering membuat ini bersama mamanya.

Mengingat itu membuatnya rindu kepada mamanya. "Andai, Diva belum nikah pasti sekarang Diva masih bisa bermanja sama mama!" ucapnya sedih.

"DIVA SEMANGAT!" ucapnya pada dirinya sendiri, dia tidak boleh sedih lagi. Dia harus menikmati semua ini. Harus!