webnovel

Pertemuan Keluarga

Pertemuan Keluarga

Bangku itu masih kosong, tanpa ada orang yang mengisinya. Aku berharap Ananta datang hari ini. Ya, pada pertemuan keluarga antara aku dan keluarga Ananta. Setelah beberapa hari aku semakin dekat dengan Ananta dan menjalin komunikasi serius, itu sebabnya aku akan memutuskan untuk menikah dengan Ananta. Meski sebenarnya pernikahan ini hanya sementara saja. Alias sandiwara saja.

"Kalila, mana keluarga calon suami kamu itu? kok belum datang juga? Sudah jam berapa ini?" tanya Mamaku sambil mendengus kesal.

Tatapan mataku juga sangat gelisah, merasakan sesuatu yang tak bisa aku pungkiri bahwa sebenarnya hatiku sangat takut. Takut jika ternyata Ananta tak setuju untuk menikahi diriku secara kontrak. Hanya sebelas hari kemudian kita berpisah begitu saja. Tetapi aku memberikan sejumlah imbalan yang pantas untuk Ananta jika ia benar-benar setuju untuk menikahi diriku.

"Ananta pasti datang Ma!" ucapaku dengan pasti.

"Mana? Sudah sejam lebih kita menunggu. Tapi tak nampak juga kedatangannya ke rumah. Apa mungkin Ananta dan keluarganya tak jadi mau menikahi kamu Kalila?" pungkas Mamaku sambil menghela napas panjang.

"Papa juga khawatir. Apa jangan-jangan Ananta tak jadi mau menikahi kamu Kalila. Sudah sejam lebih kita menunggu tapi ia tak nampak juga kedatangannya ke rumah. Jika benar itu terjadi Papa bisa terkena serangan jantung." Celoteh Papaku sambil menghela napasnya.

Ketakutan di mata Papa dan juga Mamaku dapat aku rasakan. Jelas saja mereka ingin punya menantu. Karena sudah lama tak pernah aku kenalkan seorang lelaki pada Papa dan juga Mamaku. Tapi kali ini Mamaku dapat melihat ada seorang lelaki yang baik datang untuk meminangku tapi malah mau mempermainkan diriku.

Hatiku terhanyut sedih dan tiba-tiba air mataku menetes sedih. Rasanya tak sanggup jika harus kehilangan Ananta. Walau aku tahu ini hanya pernikahan kontrak, namun tetap saja aku tak sanggup harus sampai batal menikah. Padahal ini semua adalah impian dari Papa dan juga Mamaku sejak lama. Mereka ingin melihat anak tunggalnya menikah.

Namun tiba-tiba Ananta sangat mengejutkan diriku, ia datang bersama keluarganya. Suara itu sangat menggetarkan hatiku. Aku langsung berbalik menatap Ananta.

"Maaf Tante dan Om. Saya terlambat datangnya. Tadi mobil saya tiba-tiba mogok makanya terlambat sejam lebih. Maaf sekali. Tolong Om dan Tante jangan marah sama saya dan keluarga." Tutur Ananta yang berdiri di hadapanku dengan keluarganya.

"HUGH..." batinku seketika merasakan ketenangan saat Ananta benar-benar datang padaku. Bahkan ia membawa keluarganya juga.

"Tante pikir kamu nggak akan datang Ananta. Ternyata dugaan Tante meleset. Syukurlah jika kamu datang sekarang. Sudah kita duduk saja di ruang tamu." Ucap Mamaku yang segera menggiring kami semua ke ruang tamu.

Pikiranku serasa sangat tenang sekali karena Ananta benar-benar menepati kata-katanya yang ingin menikahi diriku walau hanya pernikahan 11 hari. Pernikahan yang di dasari kepura-puraan saja tanpa adanya rasa cinta atau keinginan untuk bersama atas dasar suka sama suka tapi hanya karena uang. Aku tahu Ananta melakukan ini semua hanya demi imbalan yang aku akan berikan padanya.

"Silakan duduk ya!" celetuk Mamaku yang paling rempong sedunia tampak jelas di raut wajah Mamaku sangat senang sekali karena tahu jika aku akan menikah dengan Ananta.

"Oh ya, kenalkan dong keluarga kamu Ananta sama Om dan Tante. Biar saling tahu satu sama lainnya." Celoteh Papaku yang tampak sangat paling tersenyum lebar di wajahnya.

"Iya Om, kenalkan ini Papa saya namanya Riko Andrinto dan di sebelahnya itu Mama saya namanya Jalila Edward Colline." Pungkas Ananta memperkenalkan orang tuanya.

"Jadi, Mama kamu orang bule ya Ananta?" tanya Mamaku dengan terkagum-kagum.

"Iya Tante, Mama saya kebetulan blasteran Perancis dan Indonesia. Kakek saya orang Prancis dan Nenek saya orang Bali Indonesia. Itu sebabnya Mama saya namanya seperti orang bule." Ucap Ananta menjelaskan silsilah keluarganya.

"Pantas saja Ananta itu wajahnya ganteng sekali." ucapku dalam hati.

"Ananta, kalau begitu jika di pikir-pikir nama Mama kamu sama Kalila mirip sekali ya. Sama-sama ada Lilanya. Kalila dan Jalila. Betul nggak sih?" celetuk Mamaku itu dengan sangat antusiasnya.

"Hehehe, iya Tante mirip banget namanya sama Kalila. Sama-sama ada kata Lilanya. Sama-sama cantik juga wajahnya." Tutur Ananta dengan senyum-senyum sendiri memuji diriku. Yang katanya memiliki wajah yang sangat cantik seperti Mamanya Ananta yaitu Jalila.

"Oh ya, kamu kok diam saja sih Kalila?" tanya Ananta secara spontan padaku. Sambil menyunggingnya senyum padaku.

Sontak saja aku langsung merasa canggung harus jawab apa lagi pada Ananta. Di satu sisi aku sangat senang karena akan menikah dengan Ananta tapi di satu sisi aku juga tahu bahwa pernikahan ini akan berakhir dalam waktu 11 hari pernikahan saja. Rasanya aku sangat tak bisa berkata apapun lagi selain kata sabar dan juga bingung.

"Di tanya sama calon suami sendiri kok diam sih. Sana ngomong dong Kalila. Jawab apa yang di tanya sama Ananta. Jangan diam saja. Seperti orang sariawan saja mulutnya itu. Ayo di jawab pertanyaan dari Ananta." Tutur Mamaku.

"Memangnya Kalila harus jawab apa sama Ananta. Orang Kalila males ngomong aja." Sahutku sambil mendengus sebal pada Mamaku yang sangat agresif bersikap pada keluarga Ananta.

"Ya sudah kalau nggak mau ngomong nggak apa-apa. Aku nggak akan memaksa kamu untuk bicara sama aku. Diam saja lebih baik kalau menurut kamu itu yang terbaik." Ucap Ananta sambil tersenyum manis padaku.

Dalam hatiku sangat kesal sekali pada Ananta, bisa-bisanya dia bersikap sok baik dan dan perhatian selayaknya aku ini calon istrinya secara sungguhan. Padahal yang sebenarnya aku ini bukan pacar sungguhan apalagi calon istri sungguhan untuk dirinya. Di antara kami berdua hanya ada pernikahan kontrak saja, pernikahan sandiwara.

Aku sesekali melirik ke arah Ananta, memastikan jika orang ini tak berbicara sembarangan atau berlebihan pada keluargaku, jika sampai itu terjadi aku akan mematahkan lehernya. Atau mungkin aku akan menginjak kakinya dengan sangat kuat. Sampai ia tak dapat berbicara apapun lagi di hadapan Papa dan juga Mamaku secara panjang lebar.

Sepertinya mereka sangat menikmati pertemuan keluarga ini, sampai-sampai Mama dan juga Papaku tertawa dan sesekali tersenyum pada Ananta. Seakan bangga jika anaknya sebentar lagi akan menikah dengan Ananta. Andai saja Papaku tahu jika Ananta bukan orang kaya dan juga hanya bersandiwara dalam menikahiku, aku yakin Papa sangat kecewa dan juga marah padaku.

"Papa. Bisa nggak jangan banyak ngomong sama Ananta, malu ah!" ucapku sambil melirik sinis.

"Memangnya salah, kalau Papa ngobrol sama calon mantu sendiri. Kamu ini jangan begitu dong sama Papa. Biarkan Papa lebih mengenal Ananta. Aneh banget kamu ini Kalila, orang ngobrol panjang lebar sama calon suami kamu sendiri malah marah. Ada apa memangnya? Apa ada sesuatu yang kamu tutupi dari Papa?" tanya Papaku sambil menatap dengan heran.

"NGGAK ADA PA." Jawabku dengan tegas sambil berpaling wajah.

Rasanya ingin sekali meremas mulut orang-orang terus berbicara di hadapanku ini, rasanya malu dan ada rasa takut jika Ananta salah bicara pada Papaku hingga rahasia aku dan Ananta ketahuan oleh mereka.

"Sudah, jangan khawatirkan hal yang tidak akan terjdi. Aku tahu jika kamu takut sampai rahasia kita di bongkar di sini. Aku akan tetap ingat bahwa kita punya perjanjian dan pernikahan kita hanya sandiwara saja tidak sungguhan. Jangan takut. Sudah santai saja, tampang kamu itu terlihat sekali cemas akan sesuatu. Jangan tegang." Bisik Ananta di telingaku.

Aku hanya melirik ke arah Ananta sekilas dan kemudian mengangguk dan berusaha bersikap dengan tenang, agar rahasia di antara kami berdua tak akan pernah di ketahui oleh siapapun lagi. Cukup menjadi rahasia di antara aku dan Ananta saja.