"Saya Asha," balas Asha menyambut uluran tangan Dimas.
Saat tatapan keduanya bertemu, baik Asha maupun Dimas tampak terkejut.
"Kamu?"
"Mas?"
Asha langsung menarik tangannya yang masih ada dalam genggaman Dimas. Namun wajah keterkejutan dari keduanya tak hilang.
"Kalian udah pernah ketemu?" tanya Elen pada Asha begitu melihat ekspresi Asha.
Belum sempat Asha menjawab, Dimas telah lebih dulu berbicara. "Nggak kok Tante, kita baru aja ketemu di sini. Ya kan?" tanya Dimas seolah meminta persetujuan Asha.
Asha mengangguk ragu, "Iya kok Ma. Kita nggak pernah ketemu kok."
"Ya udah, nggak apa-apa. Ayo kita makan!" Kali ini Anya yang berbicara dan mulai menyajikan makanan yang sudah dipersiapkannya sejak tadi sore.
Selama makan malam berlangsung, tak banyak yang dibicarakan. Hanya sesekali terdengar pembicaraan Abimana dan Lukman mengenai masalah bisnis.
Meskipun sudah tidak muda lagi, sepertinya kedua laki-laki itu masih sangat bersemangat saat membicarakan mengenai pekerjaan. Apalagi usaha yang mereka rintis sejak awal ada di bidang yang sama.
Selesai makan malam, mereka kembali mengobrol di ruang keluarga. Selain teh dan kopi yang ada di di dalam cangkir, di atas meja juga ada beberapa kue dan camilan.
"Ayo Mbak, diminum! Nggak usah malu-malu. Asha, diminum Nak!" tawar Anya.
Asha mengangguk singkat dan meraih cangkir yang ada di hadapannya. Kemudian ia meneguk teh yang masih terasa hangat itu.
Sungguh, situasi saat ini benar-benar tak nyaman bagi Asha. Ia ingin secepatnya pergi dari sana. Tetapi, kedua orangtuanya masih terlihat santai saja.
"Ma, kapan pulangnya sih?" tanya Asha berbisik kepada Elen.
"Sabar sedikit dong Sha! Jangan kayak anak-anak deh!" sahut Elen tak kalah berbisik.
Abimana yang sepertinya bisa memahami bisik-bisik dua perempuan di ujung sana hanya bisa mengukir senyum simpul. Lantas kemudian ia berpikir harus segera mengatakan tujuan mereka malam ini.
"Sepertinya kita harus segera membicarakan niat baik ini ya Lukman?" Abimana bertanya seolah meminta pendapat Lukman.
Meskipun sebenarnya semua orang di sana telah tahu apa tujuan dari pertemuan mereka malam ini.
"Iya. Biar Asha dan Dimas juga tahu," sahut Lukman menimpali.
Asha hanya bisa menggigit bibir bawahnya mendengar namanya disebut. Sementara Dimas, lelaki itu tampak terlihat jauh lebih tenang dibanding Asha.
Abimana berdehem sebelum memulai pembicaraan serius itu. Diliriknya Dimas yang sedari tadi lebih banyak diam. Bagaimanapun, Abimana tahu kalau Dimas tidak pernah setuju dengan rencana yang telah dibuatnya dengan Anya itu.
"Dimas, Asha, sebelumnya mungkin kalian tahu apa alasan kita berkumpul malam ini." Abimana memulai pembicaraan.
Baik Dimas maupun Asha, keduanya masih sama-sama bungkam. Ya, mereka memang sudah sangat tahu apa alasan mereka dipertemukan malam ini.
"Alasan pertemuan kita malam ini adalah untuk membicarakan mengenai pernikahan. Papa sangat yakin, kalau kalian sudah sama-sama tahu bahwa kalian sudah kami jodohkan."
Deg!
Asha merasakan seluruh tubuhnya kaku sekarang. Perempuan dengan dress hitam selutut itu menggigit bibir bawahnya. Ternyata orangtuanya memang tidak pernah main-main saat mengatakan kalau dirinya sudah dijodohkan.
"Menurut Mama, memang sekaranglah waktu yang paling tepat untuk membicarakan pernikahan kalian. Apalagi sekarang Asha sudah selesai kuliah. Rasanya tidak ada lagi alasan kita untuk menunda niat baik ini," ucap Anya menambahkan.
Kali ini, sepertinya tak hanya Asha yang mulai gusar. Dimas pun mulai tampak tidak tenang.
"Tapi, Ma, Pa, bukankah ini terlalu terburu-buru," ujar Dimas kemudian.
Bagaimanapun, lelaki itu belum ingin menikah. Hanya kedua orangtuanya saat ini yang menginginkan pernikahan itu. Dimas pun sangat yakin kalau sebenarnya Asha juga belum menginginkan pernikahan ini.
Dimas tak dapat membayangkan kalau dirinya harus menikahi perempuan seperti Asha. Mengingat kesan pertemuan pertama mereka yang tidak baik itu.
"Aku rasa yang dikatakan Dimas ada benarnya Om, Tante." Asha menimpali.
Dimas pun mengalihkan pandangannya ke arah Asha karena merasa apa yang dikatakan Asha akan sangat membantu. Dimas bisa melihat ekspresi perempuan itu. Sepertinya mereka bisa bekerjasama untuk menunda atau mungkin menggagalkan rencana orangtua mereka.
Elen menggeleng tak setuju, "Ini adalah waktu yang tepat buat kalian. Asha udah selesai kuliah, Dimas pun sekarang sudah bekerja. Nggak ada alasan buat ditunda lagi mengingat kami sudah sejak lama merencanakan semuanya."
Asha menghela napas kasar. Kenapa orangtuanya sangat ingin menikahkannya di usia yang masih sangat muda. Apalagi ia akan menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Ini sangat tidak masuk akal.
"Ma!"
"Benar yang dikatakan Mbak Elen. Kalian itu harus segera menikah! Pokoknya harus menikah! Kami akan atur semuanya," sahut Anya bersikeras.
Lukman memperbaiki letak kacamatanya, sebelum akhirnya ia yang berbicara.
"Iya, sudah waktunya kalian menikah. Kami ini sudah tua, sudah berumur. Kami juga sudah ingin menimang cucu. Lagian kalian berdua sudah sama-sama dewasa."
Baik orangtua Dimas maupun orangtua Asha, mereka sudah tidak bisa dibantah lagi. Sepertinya, Asha dan Dimas hanya bisa menerima apa yang telah mereka sepakati.
"Minggu depan kita atur lagi pertemuan keluarga untuk membicarakan lebih serius mengenai pernikahan putra dan putri kita," ucap Abimana saat mengantar keluarga Lukman keluar.
Sementara itu, Dimas tetap diam meskipun ia ikut mengantar Asha dan orangtuanya keluar.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Asha memilih untuk diam. Sebenarnya ia ingin sekali membantah apa yang telah diputuskan orangtuanya dan orangtua Dimas. Tetapi, ia tak punya kekuatan untuk melakukan itu.
Asha mengalihkan pandangannya keluar jendela untuk melihat jalanan yang mulai sepi karena sudah larut malam.
"Apa hidup gue bakalan berakhir seperti ini aja? Nggak bisa memilih apa yang gue mau?" batin Asha. Tanpa terasa air mata pun jatuh membasahi pipinya. Asha buru-buru menghapus air matanya.
Jam sudah menunjukkan angka setengah dua belas saat Asha sampai di rumahnya. Sudah terlalu larut. Karena memang jarak rumah Asha dengan rumah Dimas yang cukup jauh sehingga mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai di rumah.
"Sha, kenapa kamu diam aja dari tadi? Kamu sakit?" tanya Elen terlihat khawatir karena memang sejak tadi Asha lebih banyak diam.
"Nggak kok Ma. Aku mau ke kamar dulu!" sahut Asha dan berjalan menuju tangga meninggalkan Elen yang masih tampak bingung di sana.
"Kenapa Ma?" Lukman bertanya karena ia baru saja masuk dan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Nggak apa-apa kok Pa. Cuma tuh, anaknya dari tadi diam aja. Aku jadi khawatir."
Lukman bisa melihat wajah khawatir Elen kali ini. Padahal perempuan itu sendiri yang sangat antusias untuk segera menikahkan Asha dengan Dimas.
"Mungkin Asha masih syok Ma, makanya dia gitu. Ntar juga baikan lagi deh tu anak," ujar Lukman untuk menenangkan istrinya itu.
"Semoga saja Pa." Sepasang suami istri itu pun berjalan menuju kamar mereka untuk segera beristirahat karena sudah larut malam.