Hari itu begitu cepat berlalu ketika Ratri menikmati libur cuti seharinya bersama Ayu di rumah. Tak terasa hari telah beranjak sore. Dan mentari pun telah turun ke peraduannya.
"Ayah kok belum pulang?" tanya Ayu sambil berdiri di depan pintu memandangi lembayung jingga yang perlahan tertutup hamparan mendung kelabu.
"Ayahmu lagi ada tugas ke luar kota. Mungkin agak malam pulangnya."
"Kasihan ayah kalau ke luar kota pasti kehujanan," kata Ayu sambil memperhatikan titik-titik air hujan yang mulai turun dari langit.
Ratri tersenyum mendengarnya. Dia segera menggandeng Ayu untuk masuk ke dalam. Sementara hujan turun semakin deras menemani mereka berdua sepanjang sore hingga malam menjelang. Saat sang ayah pulang, Ayu sudah terlelap dibuai mimpi indahnya.
Selesai mandi, Wibi menemui Ratri di kamarnya.
"Ayu sudah tidur, Rat?"
"Sudah, barusan. Kelamaan nunggu kamu terus ketiduran."
Sebentar kemudian Wibi keluar dari kamarnya menuju kamar Ayu. Dia menengok ke dalam. Dipandanginya anak pertamanya yang telah tertidur lelap itu. Udara dingin karena hujan yang belum juga mau berhenti semenjak sore tadi mengharuskan Wibi membetulkan letak selimut Ayu. Wibi kemudian kembali keluar menuju kamarnya.
"Kenapa ya, Mas, Simbok selalu mengadakan bancakan dan membujukku terus agar mau melakukan tradisi ini?" tanya Ratri ketika melihat Wibi masuk ke kamar.
Wibi kemudian duduk di tepi pembaringan. Ratri pun bangun dari tidurnya dan duduk di samping suaminya. Dipegangnya pundak Wibi dan dipijitnya secara lembut. Wibi pun menoleh dan memberikan ciuman di pipi Ratri.
"Dan itu dilakukan sejak dulu, Mas, sejak kita belum menikah bahkan sejak aku masih kecil. Tapi kenapa juga malah mendiang ayah melarangku dan menjauhkan aku dari tradisi ini. Aku benar-benar tidak memahami itu semua." Ratri memandang lembut pada Wibi sambil terus memijit lengan dan tangannya. Sejenak mereka terdiam.
"Sepertinya Simbok mempunyai maksud tertentu, Rat," jawab Wibi sambil menoleh ke arah Ratri. Dibelainya rambut hitam panjang istrinya itu.
"Tidak banyak yang sempat ayahmu ceritakan padaku, Rat. Ayahmu cuma berpesan agar aku benar-benar menjagamu dan kedua anak kita kelak dari ritual bancakan dan sesajen yang sering dilakukan Simbok. Sepertinya ayahmu telah mencurigai Simbok, sama seperti kecurigaanku saat ini," lanjut Wibi.
"Kenapa ayah tidak pernah bercerita kepadaku?" Sejenak mereka saling beradu pandang.
"Karena kecurigaan itu belum bisa dibuktikan. Dan mungkin ayahmu tidak ingin ada kesalahpahaman yang berujung pada dendam di keluarga Ndoro Sastro ini," kata Wibi sambil menghela napas panjang.
"Belum bisa dibuktikan? Berarti sudah ada kejadiannya?"
"Sudah menurut ayahmu. Ayahmu menduga, kematian ibumu disebabkan oleh Simbok."
"Ibuku meninggal setelah melahirkan adikku. Bagaimana mungkin Simbok yang membunuhnya, Mas?"
"Aku juga tidak tahu, Rat. Simbok itu nenekmu sendiri, tapi ayahmu mempunyai kecurigaan seperti itu. Berarti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Simbok selama ini."
"Sekarang dia tidak kuanggap nenekku lagi!" potong Ratri sambil menghentikan pijatannya.
"Maksudmu, Rat?" Wibi merasa heran dengan jawaban Ratri.
"Tadi Simbok keceplosan)* ngomong kalau aku ini bukan cucu kandungnya. Karena ibuku sebenarnya bukan anak kandung Simbok. Simbok menyebut nama Mbakyu Semi," jawab Ratri.
"Mbakyu Semi? Mbakyu Semi adalah Ndoro Semi istri pertama Ndoro Sastro. Jadi kamu sebenarnya cucu kandung Ndoro Semi. Tetapi mengapa Simbok dan ayahmu merahasiakan semua ini?"
Ratri hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan Wibi itu. Tidak banyak cerita dari ayahnya tentang silsilah keluarganya. Di mana Ratri sebenarnya adalah cucu kandung dari Ndoro Semi, istri pertama Ndoro Sastro. Sedangkan Mbok Sum adalah istri kedua Ndoro Sastro.
Dia tidak dipanggil nenek oleh Wibi dan Ratri karena mereka menganggap Mbok Sum sudah seperti ibu kandungnya sendiri sehingga memanggilnya dengan sebutan Simbok. Paras wajah Mbok Sum pun masih terlihat awet muda tidak sebanding dengan usianya yang sebenarnya telah mencapai lebih dari dua pertiga abad.
Ratri berusia empat tahun ketika ibunya meninggal beberapa waktu setelah melahirkan anak keduanya karena suatu peristiwa mistis yang sampai saat ini belum juga terungkap. Hanya bunga kantil yang ada dekapan ibunya Ratri yang dapat menjadi petunjuk bahwa kematiannya memang tidak sewajarnya.
Anak kedua itu lahir prematur dan dua bulan berikutnya juga menghembuskan nafas terakhir. Ratri kecil kemudian diasuh oleh ayahnya dan Mbok Sum. Ratri hanya tahu Mbok Sum adalah neneknya karena sejak kecil telah diperkenalkan begitu oleh kedua orang tuanya.
Sedangkan Ndoro Semi, nenek kandung Ratri yang sebenarnya, telah meninggal beberapa bulan setelah pernikahan kedua orang tua Ratri. Hal ini cukup membingungkan Ratri karena semenjak kecil Ratri hanya mengenal Mbok Sum sebagai neneknya yang kemudian dipanggilnya dengan sebutan Simbok.
"Waktu aku kecil dulu tersebar berita kejadian mistis menimpa simbah kakung dan putri)*," kata Ratri.
"Kejadian mistis? Maksudmu ... meninggalnya Ndoro Sastro dan Ndoro Semi disebabkan oleh kejadian mistis juga?" tanya Wibi.
"Iya ..., meskipun tidak seorang pun warga kampung yang bisa membuktikan semua itu." Sejenak mereka terdiam. Ratri berusaha mengingat-ingat kejadian masa kecilnya dulu.
"Mungkinkah ada hubungannya dengan ritual bancakan dan sesajen yang sering dilakukan oleh Simbok, Mas? Tapi bukankah tradisi itu untuk memohonkan keselamatan bagi keluarga Simbok?" lanjut Ratri menduga-duga.
"Memang bancakan itu sebenarnya diperuntukkan sebagai perwujudan rasa syukur dan doa minta keselamatan pada Gusti Alloh. Tapi kalau disertai dengan sesajen untuk baurekso, itu sama saja memberi makanan untuknya atau kekuatan supranatural yang menguasai suatu tempat. Dengan sesajen itulah kemudian baurekso dapat dimintai pertolongan. Dan biasanya baurekso akan meminta imbalan atau yang disebut dengan tumbal," kata Wibi menjelaskan. Ratri tertegun sejenak mendengar kata tumbal.
"Tumbal ...? Korban nyawa maksudmu, Mas?" Ratri menatap Wibi. Wajah Ratri sedikit memucat. Terpancar getar kecemasan dari dalam hatinya. Dia teringat kembali kejadian ketika lelembut Nenek Bongkok datang dan meminta dirinya untuk menyerahkan tubuhnya.
"Iya, Rat. Bisa nyawa orang lain, anggota keluarga, atau nyawanya sendiri setelah berakhir perjanjiannya dengan lelembut itu."
"Apakah benar Simbok melakukan itu semua, Mas? Terus sekarang baurekso itu akan meminta tumbal nyawa lagi?" tanya Ratri sambil memegang erat kedua tangan Wibi. Ketakutan itu semakin menjadi dan menguasai hatinya.
"Aku tidak tahu, Rat. Bahkan ayahmu sendiri yang mengetahui secara langsung kematian ibumu juga belum bisa membuktikan kebenaran dan keterlibatan Simbok dengan ritual sesajennya, yang mungkin saja memakan korban jiwa anggota keluarga Ndoro Sastro yang lain."
"Termasuk simbah kakung dan putri ...?" Wajah Ratri masih terlihat pucat. Wibi mengangguk mengiyakan.
"Sebenarnya apa keinginan Simbok dengan melakukan ritual sesajen itu, Mas?"
"Coba kamu perhatikan wajah Simbokmu, Rat? Sepertinya tidak sebanding dengan usianya saat ini. Mungkin itu keinginannya. Simbok ingin tetap terlihat awet muda! Dan itu tidak diperoleh secara cuma-cuma. Pasti ada imbalan yang diberikan pada lelembut atau baurekso penguasa di suatu tempat," jawab Wibi.
Ratri seakan tidak percaya mendengar penjelasan Wibi. Simbok, orang yang telah dianggapnya seperti ibu kandungnya sendiri dapat melakukan itu semua.
"Mengapa Simbok ingin awet muda ya, Mas?"
"Dugaanku Simbok ingin menguasai tanah warisan Ndoro Sastro ini. Simbok telah membunuh satu persatu anggota keluarga dengan bantuan lelembut melalui sesajennya. Dan dia tidak ingin mati dulu sebelum keinginannya tercapai," kata Wibi sambil menatap Ratri.
"Mas ...! Begitu kejam dugaanmu ...!" kata Ratri tak percaya dugaan suaminya itu.
"Sekarang Simbok itu bukan nenek kandungmu, Rat. Simbok bisa berbuat apa saja dan nekat pada keluarga kita. Aku khawatir terhadap keselamatanmu dan anak-anak kita." Ratri semakin merasa cemas dan ketakutan. Dipeluknya Wibi dengan erat.
"Apa yang harus kita lakukan, Mas?"
"Tetap tenang, Rat. Perlakukan Simbok seperti biasanya. Tapi kamu harus waspada pada ajakannya untuk tidak terlibat langsung dengan ritual sesajennya. Jangan sampai kamu tersugesti dan mengikuti ritual tersebut meski Simbok beralasan untuk melestarikan tradisi leluhur atau untuk keselamatan keluarga kita. Simbok mempunyai maksud tertentu terhadapmu, Rat." Ratri hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan Wibi. Dia akan berusaha untuk menaati pesan suaminya.
Sementara itu hujan masih turun dengan derasnya. Udara dingin malam itu dan rasa capek habis perjalanan ke luar kota menghantarkan Wibi dalam tidur pulasnya. Sejenak Ratri masih berbaring di samping Wibi sambil memandangi wajahnya. Sementara tangannya mengelus-elus perutnya yang sudah semakin besar. Tapi perlahan rasa kantuknya semakin berat hingga kelopak mata Ratri pun ikut terpejam.
*****
Catatan :
Keceplosan : tidak sengaja.
Simbah kakung putri : kakek dan nenek
.