webnovel

Perjanjian Ketiga

Perjanjian Ketiga adalah cerita fiksi horor berlatar belakang tradisi masyarakat Jawa. Bercerita tentang sebuah perjanjian kuno dan keramat di balik tradisi bancakan dan sesajen. Perjanjian yang dilakukan oleh Simbok atau Mbok Sum dengan baurekso Wewe Gombel ini telah mengorbankan istri pertama dan anak pertama Ndoro Sastro. Siapakah Mbok Sum? Akankah terjadi korban selanjutnya pada perjanjian yang ketiga ini? Bersiaplah jika kamu adalah anak pertama atau cucu pertama dalam keluargamu. Karena perjanjian ini selalu mengorbankan 'yang pertama' ....

bomowica · สยองขวัญ
เรตติ้งไม่พอ
26 Chs

Bancakan

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wibi sudah terlihat keluar rumah bersama Ayu. Hari libur ini dimanfaatkan oleh mereka untuk membersihkan pekarangan rumahnya setelah semalam diguyur hujan cukup lebat. Apalagi bulan Desember ini hampir setiap sore turun hujan dengan derasnya.

"Ayo, Ayu, kita bersihkan halaman depan rumah, mumpung matahari bersinar cerah pagi ini," kata Wibi sambil membawa sapu lidi dan tempat sampah.

"Aku saja yang menyapunya, Ayah." Ayu meminta sapu yang dipegang ayahnya.

"Baiklah, tapi kamu cabuti dulu rumput liar itu supaya tidak mengganggu tanaman bunga-bunga yang dipelihara ibumu," kata Wibi lagi sambil menunjukkan tempat-tempat yang harus dicabut rumput liarnya. Ayu pun menuruti kata-kata ayahnya.

Wibi kemudian mengambil gunting tanaman. Dia segera memotong-motong dahan tanaman pagar agar terlihat rapi. Mereka berdua bekerja sama dengan baik.

"Ayu, ini nanti disapu juga, ya!" kata Wibi dari balik pagar tanaman.

"Iya, Ayah," jawab Ayu dengan semangat.

Tak lama kemudian Ratri keluar rumah membawa baki dengan dua gelas teh hangat dan satu piring pisang goreng dan pisang molen. "Kalau sudah capek bersih-bersih, istirahat dulu. Makan pisang goreng dan pisang molen supaya bersemangat lagi," kata Ratri.

"Hore ...! Ada pisang molen kesukaanku." Ayu melempar sapu kemudian berlari menyambut ibunya.

"Eh, Ayu ... ayo cuci tangan dulu sebelum makan!" kata ibu mengingatkan. Ayu segera berlari menuju kran air di samping rumah.

Sementara Wibi sudah duduk di kursi teras sambil menyeruput teh hangat buatan istrinya. "Wah banyak makanan nih," kata Wibi.

"Iya, Mas. Tadi pagi-pagi sekali Simbok sudah pergi ke pasar sama Mbokdhe)* Pawiro. Belanja untuk keperluan bancakan sepasaran)* cucunya Mbokdhe. Sekalian saja aku nitip beli makanan ini," kata Ratri. Dia duduk di kursi samping Wibi.

"Simbok memang tidak bisa dipisahkan dari bancakan. Kamu tetap harus hati-hati meski bancakan itu tidak di keluarga kita. Apalagi kalau ada ritual sesajen setelahnya. Karena tujuan Simbok yang sebenarnya adalah kamu, Rat." Wibi memegang sebelah tangan Ratri.

"Iya, Mas," kata Ratri sambil mengelus-elus perut besarnya.

Wibi kemudian meletakkan gelasnya dan menjulurkan tangan untuk mengambil pisang goreng. Tapi sebuah tangan mungil menahannya.

"Ayah belum cuci tangan!" kata Ayu mengingatkan.

"O iya, ayah hampir lupa." Wibi segera beranjak dari tempat duduknya menuju kran air di samping rumah.

Setibanya di sana Wibi melihat Mbok Sum sedang mengangkat peralatan dapur keluar dari pintu belakang.

Itu Simbok! Meski aku menaruh curiga padanya, aku tetap harus bersikap wajar, kata Wibi dalam hati.

"Sini, Mbok. Aku bantu membawanya," kata Wibi sambil berjalan mendekat.

"Tidak usah, Nak. Simbok bisa membawanya sendiri. Cuma dekat situ, rumahnya Mbokdhe Pawiro."

"O ya sudah, Mbok. Hati-hati ya, Mbok!" Mbok Sum mengangguk kemudian pergi menuju rumah Mbokdhe Pawiro. Wibi pun segera kembali ke teras rumah.

"Itu tadi Simbok sudah pergi ke rumah Mbokdhe Pawiro. Bukannya sore hari bancakannya, Rat?" Wibi kembali duduk dan mengambil sepotong pisang goreng.

"Ini kan hari Minggu, Mas. Anak-anak tetangga pada libur sekolah. Jadi bancakannya pagi ini, sekitar jam sepuluh atau sebelas kata Simbok tadi."

Suasana hening sejenak. Mereka bertiga terlihat asyik menikmati hidangan paginya di teras rumah. Sementara sang mentari pun perlahan beranjak naik dan panas sinarnya mulai menguapkan sisa-sisa air hujan yang masih menempel di dedaunan. Wibi dan Ayu pun mengakhiri kegiatan bersih-bersihnya.

"Mas, kandunganku sudah lebih dari delapan bulan. Nanti antar aku belanja pakaian bayi dan perlengkapan lainnya, ya?" pinta Ratri.

Wibi mengangguk sambil menghabiskan pisang gorengnya. Kemudian bergegas membereskan peralatannya. Sementara itu Ratri segera membereskan piring dan gelas yang ada di meja.

"Ayo, Ayu, mandi dulu," ajak Ratri sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian Ayu berlari-lari kecil menyusul ibunya.

***

Jarum jam menunjukkan kurang lebih pukul setengah sebelas saat Ayu selesai mandi dan berpakaian. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak melintas halaman rumah peninggalan Ndoro Sastro yang cukup luas.

"Ada bancakan! Ada bancakan! Bancakan di rumah Mbokdhe Pawiro!"

"Ayu ikut bancakan di rumah Mbokdhe Pawiro dulu, ya. Ibu sama ayah mau belanja pakaiannya adik. Ayu nanti pulang sendiri atau bisa bareng Simbok," pesan Ratri.

"Iya, Bu," jawab Ayu sambil berpakaian dan menyisir rambutnya.

"Apa tidak lebih baik Ayu ikut saja, Rat?" Wibi memandang Ratri.

"Tidak usah, Mas."

"Tapi, Rat ...." Wibi sedikit khawatir dengan sikap Ratri.

"Tidak apa-apa, Mas. Kita pergi hanya sebentar saja," kata Ratri sambil tersenyum.

"Hmm, baiklah. Tapi nanti Ayu jangan pergi ke mana-mana, meski diajak Simbok. Tunggu di rumah Mbokdhe atau langsung pulang saja, ya," nasihat Wibi.

"Memang kenapa Ayu ga boleh pergi-pergi sama Simbok?" tanya Ayu.

"Bukannya ga boleh, Ayu. Nanti kalau ayah ibu pulang duluan di mana mau nyari Ayu," jawab Wibi. Ayu terlihat diam sebentar kemudian menganggukkan kepalanya.

Setelah berpakaian rapi, Ayu segera berangkat menuju rumah Mbokdhe Pawiro. Sudah banyak anak-anak sebaya berkumpul di sana. Mereka berkerumun dan sedikit berdesak-desakan di depan dua buah meja kecil yang diletakkan di halaman depan rumah Mbokdhe Pawiro yang sempit.

"Ndoro Ayu datang ...! Ndoro Ayu datang ...! Kasih jalan!" teriak seorang anak bertubuh gemuk sambil memberi aba-aba. Dia mendorong-dorong tubuh teman yang lain agar Ayu dapat berjalan ke depan.

"Ayu ... sini!" teriak Asih, anak tetangga sebelah. Dia sudah sampai duluan di tempat Mbokdhe Pawiro.

"Kamu sama aku. Dekat meja ini," kata Asih lagi sambil menarik tangan Ayu mendekat ke depan meja.

Bancakan selapanan bayi segera dimulai. Mbok Sum pun segera memimpin doa di hadapan kerumunan anak-anak kampung meminta keselamatan untuk jabang bayi.

"Anak-anak, disaksikan, ya. Ini bancakannya Agus, putra pertama Mbok Parti, cucunya Mbokdhe Pawiro!" kata Mbok Sum membuka acara bancakan selapanan bayi.

"Iya. Mbok Sum!" jawab anak-anak serempak.

"Didoakan keselamatannya, ya! Kesehatannya, dan rezekinya," lanjut Mbok Sum.

"Iya, Mbok Sum!" jawab mereka masih serempak.

"Kalau sudah besar diajak bermain jangan dinakali. Kalau sedang kesusahan dibantu, ya!" kata Mbok Sum lagi.

"Iya, Mbok Sum ...!" Mereka menjawab serempak lagi dan sudah tak sabar ingin segera mendapatkan nasi bancakan tersebut. Mbok Sum segera menutup acara bancakan itu dengan berdoa.

Setelah itu Mbokdhe Pawiro dibantu seorang tetangganya menata pincuk-pincuk untuk diisi racikan nasi bancakan. Sayuran dengan bumbu gudang tidak pedas, seperempat potong telur rebus, sepotong kecil ayam goreng, serta beberapa buah ditaruh dalam pincuk tersebut bersama nasi putih.

Anak-anak saling berebut untuk segera mendapatkan sepincuk nasi bancakan. Mereka tampak bergembira. Dan dengan sabar Mbokdhe Pawiro melayani anak-anak tetangga kampungnya. Ayu dan Asih pun telah mendapat masing-masing sepincuk.

"Ayu, Simbok ada urusan. Mungkin agak lama. Kamu ga usah nunggu Simbok, ya," kata Mbok Sum. Dia kemudian menjauh dari kerumunan dan bergegeas menuju belakang rumah Mbokdhe Pawiro.

"Iya, Yu. Main di sini dulu sekalian makan bancakan ini," kata Asih, temannya sambil menerima dua pincuk nasi bancakan. Satu diberikannya pada Ayu.

"Matur nuwun,)* Sih. Duduk di sana, yuk," ajak Ayu.

Mereka mencari tempat duduk di depan rumah Mbokdhe Pawiro. Sedangkan sebagian teman-teman Ayu yang lain segera pulang setelah mendapatkan satu atau dua pincuk nasi bancakan.

"Nanti lihat adik bayinya ya, Yu," kata Asih sambil melahap nasi bancakannya. Ayu hanya bisa menganggukkan kepala tanda setuju karena mulutnya masih penuh nasi.

Untuk beberapa lamanya Ayu dan Asih menikmati nasi bancakan di emperan)* rumah Mbokdhe Pawiro. Hingga Ayu melihat Mbok Sum keluar dari rumah dengan tergesa-gesa. Dia melewati Ayu dan Asih tanpa bicara apapun. Tetapi Ayu penasaran dengan sebuah tambah kecil yang di bawa Mbok Sum.

"Mbok, bancakan itu mau dikasih siapa?" tanya Ayu. Asih pun ikut memperhatikannya. Tetapi Mbok Sum hanya menoleh sebentar tanpa menjawab sambil terus berjalan keluar dari halaman.

"Lho, Mbok Sum kok ke arah sana, mau ke tempat siapa? Di sana hanya ada kebun kosong. Tidak ada rumah siapa-siapa," tanya Asih keheranan. Ayu cuma menggelengkan kepalanya.

*****

Catatan :

Mbokdhe : budhe / kakak perempuan ibu

Sepasaran : lima hari

Matur nuwun : terima kasih

Emperan : teras