webnovel

Perjalanan Cinta KIRA

Shakira Chairunisa yang ingin menyelamatkan ayahnya dari kesalahan masa lalu, akhirnya setuju untuk menikah dengan seorang pemuda kaya usia 30 tahun bernama Ryan Adiantara, pemilik kerajaan bisnis Rich Tech Company. Pernikahan tanpa cinta yang dilandasi oleh dendam Ryan kepada ayah istrinya membuat kehidupan wanita berusia sembilan belas tahun itu hidup bagaikan dalam neraka. Ditambah dengan penyakit mental yang di derita Ryan, membuat semua menjadi semakin berat dari hari ke hari untuk Kira. Akankah keberuntungan berpihak pada Kira? Bisakah Kira bertahan dengan semua kesulitan yang dialaminya? Akankah Kira mampu memperjuangkan masa depan dan kebebasannya dari belenggu kekejaman Ryan? Mimpi untuk menjadi seorang scientist.. Akankah itu terwujud? Ikuti kelanjutan kisahnya dalam novel bergenre romantic - Perjalanan Cinta KIRA

Ri_Chi_Rich · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
102 Chs

Memendam Rasa

"Nyonya Muda, ini airnya!" bodyguard telah sampai.

"Sebentar aku jawab." Kira melirik Farid, lalu merubah pandangannya ke bodyguardnya, mengambil air, duduk setengah jongkok, dan meminum airnya.

"Bismillah." Kira menghabiskan 600 mililiter air sekaligus. "Haaaah.. Alhamdulillah!" teriaknya kemudian. Memberikan botol kosong pada Sari disebelahnya, dan menatap Farid kembali untuk menjawab pertanyaannya tadi.

"Haaaah.. Ternyata dia hanya kehausan dan menunggu airnya! Kurang ajar, aku sudah berpikir macam-macam dan degup jantungku juga sudah kencang memikirkan apa yang ingin dikatakannya! Hufffff.. Kau ini.. Aku sudah berusaha melupakanmu, tapi kenapa sulit sekali? Bahkan hari ini kau berhasil membuat hatiku sakit karena rasa bersalahku padamu!" Farid tak bisa membohongi hatinya. Dia memang sedang mempersiapkan diri mendengar apa yang ingin dikatakan Kira.

"Jika senyawa hidrokarbon yang memiliki ikatan rangkap dua atau tiga, ikatan rangkapnya berkurang karena diganti dengan gugus fungsi, atom atau molekul lainnya. reaksi tersebut dinamakan reaksi adisi."

"Kenapa bisa di ganti?"

"Bisalah, kan ikatan rangkap dua dan tiga belum jenuh, masih bisa di putus." Jawab Kira agak sinis, karena seharusnya dia hanya perlu menjawab satu pertanyaan. Kini Kira sudah menjawab dua pertanyaan.

"Apa hubunganmu dengan suamimu masih bisa di putus?" Farid tak menunggu jawaban Kira. Dia membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam tanpa merasa dosa.

"Haaaah.. Kalau itu bisa, sudah aku lakukan sebelum kau bertanya, sinting!" Kira bergumam dan masuk ke dalam Laboratorium, langsung menuju meja kelompoknya.

"Apa bagianku, Gus?" Tanya Kira, yang belum tahu mana bagiannya untuk pertama kalinya. Ya, ini adalah pertama kalinya Kira masuk dalam kelas praktikum di urutan terakhir.

"Ikatan jenuh dengan Iodium." Agus melirik Kira dan tersenyum ke Kira.

"Makasih, ya!" Kira langsung menyiapkan bahannya dan memulai prakteknya.

Kira mengambil minyak kelapa dan minyak tropical masing-masing sebanyak dua mililiter, lalu memasukkan ke dalam dua tabung reaksi berbeda. Sepuluh tetes kloroform dimasukkan ke dalam masing-masing reaksi, mengocok, dan terakhir, menambahkan larutan iodium setetes demi setetes. Terakhir, Kira mengamati perubahan yang terjadi, lalu dicatatnya.

Farid tak berhenti memandang Kira kali ini. Rasa bersalah dalam dirinya. Membuat Farid bahkan tak berani terlalu lama berbicara dengan Kira.

"Apa aku kelewatan dengannya hari ini? Tapi.. Dia juga kelewatan denganku.. Hah, sudahlah! Kenapa aku masih uring-uringan begini, sih?" Farid memalingkan wajahnya dari Kira, lalu berjalan menuju ruang asisten

Klek

Menutup pintu, memandang ke arah kaca luar.

"Loker.. Huff.." Ruangan Farid memang menghadap ke loker. Farid bisa melihat semua yang ada di luar ruangannya, tapi dari luar, tak bisa memandang ke dalam ruangan. Kejadian tadi pagi, masih terekam jelas diingatan Farid. Kejadian di loker itu, yang membuatnya semakin kesal dan cemburu pada Kira.

 

Flashback on

Pagi tadi, Farid sedang berdiri, menempelkan tangannya di tembok pembatas lantai tiga, di depan lab. Farid melihat ke bawah berharap melihat sesuatu di sana. Kemarin dia juga melakukan hal ini, tapi justru yang datang adalah kekecewaan. Seharian dia menunggu, mencari di kelas, tapi tak menemukan apa yang dicarinya. Membuatnya uring-uringan hingga membuatnya kehilangan profesionalisme..

"Jangan hapus tulisan di whiteboard itu!" Farid, di depan mahasiswi yang sedang praktek, melarang Desi yang ingin menghapus tulisan di whiteboard.

"Tapi Aku mau jelaskan praktikum hari ini.." Desi memberi alasan.

"Pakai whiteboard disebelahnya." Farid mengingatkan.

"Apa kakak begitu mencintai mahasiswa yang menulis ini, sampai harus mengganggu proses belajar?" Desi sengaja memancing Farid di depan mahasiswanya.

"Ya.. Memang aku mencintainya, apa masalahmu?"

"Haaaaah... Apa yang Aku lakukan kemarin..." Farid mengusap wajahnya. Dia tak seharusnya memberitahukan pada dunia tentang perasaanya ke Kira. Toh, Kira masih belum membuka hati padanya.

"Bodoh! Aku menjadi bodoh karena wanita yang bahkan wajahnya seperti apa aku tak tahu" Farid memalingkan wajah ke bawah mencoba melupakan peristiwa kemarin dan tak di sangka, sesuatu yang ditunggunya akhirnya terlihat. Kira berlari menaiki tangga dengan kencangnya. Senyum dan rasa bahagia terlihat jelas di wajah Farid. Tapi dia juga tak bisa menghilangkan atau mengendalikan rasa kesalnya dalam dua hari ini, setelah kejadian di dekat tukang ketoprak dan kemarin saat Kira mangkir tak hadir ke laboratorium.

"Aku tak bisa membiarkan hatiku terus memikirkanmu! Ini semua harus di akhiri!" Farid berjalan cepat memasuki laboratorium.

Klek

Menutup pintu dan masuk ke ruang kerja asisten.

TOK TOK TOK

ketukan pertama berbunyi

"Pergilah.. Aku tak ingin berkata kasar padamu!" Farid masih diam tak ingin membuka pintu.

TOK TOK TOK

ketukan kedua berbunyi

"Kenapa kau masih ngotot? Kau tahu, Aku bisa menyakitimu?" Farid berdiri dan sudah membuka pintu ruang asisten. "Aku harus mengusirnya dengan gentle!" Farid akhirnya merubah jalan pikirannya, dan kini sedang meyakinkan dirinya sendiri.

TOK TOK TOK

Ketukan ketiga berbunyi.

"Mau apa?" Farid membuka pintu dan melirik sinis ke Kira

"Huff.. Dia seperti biasa.. Matanya sungguh mengganguku. Mata yang sangat cantik dan indah. Pandangan yang selalu aku tunggu." hati Farid hampir goyah dengan pandangan Kira

"Ehmm.. Bukankah Aku mendapat tawaran untuk menjadi asisten lab?" Kira menjawab.

"Hah.. Wanita ini.. Aku harus bisa melupakannya! Hidupku sangat berantakan setelah bertemu dengannya!" logika mulai bekerja menutupi perasaan Farid.

"Apa Aku menyuruhmu datang hari ini?"

"Yah, Aku harus bisa mengusirnya. Aku tak ingin terlalu jauh bermain api. Aku harus profesional denganmu!" Farid menguatkan hatinya.

Kata-kata kasar terus dilontarkan Farid kepada Kira. Dia seakan tak peduli, dan terus saja membuat Kira seharusnya semakin tertekan dan terhina olehnya. Hingga akhirnya Farid menutup pintu lab setelah Desi masuk ke dalam.

"Siapkan larutan iodium dan cloroform!" Perintah Farid ke Desi, dan langsung meninggalkan Desi. Farid masuk ke ruang kerjanya.

Suatu pemandangan yang tak disukanya terlihat dari kaca jendela. Ruang asisten. Farid bisa melihat Kira menangis di dekat loker dengan jelas dari jendelanya, yang memang bersebelahan dengan locker.

"Kau menangis bukan karena perkataanku, kan? Kau menangis karena orang dalam foto didekapanmu, kan? Hah, aku sudah bicara sekasar itu padamu, bahkan kata-kataku tadi sudah menyakiti hatiku sendiri, membuatku membenci diriku sendiri karena membuatmu terluka, tapi.. Kau.. Tak peduli sama sekali. Apa memang rasa cintamu begitu besar dengan lelaki di foto itu? Tak adakah lagi celah untukku sedikit saja di hatimu?" Farid masih memperhatikan Kira, sampai kira menutup loker dan pergi menuruni tangga.

"Kak Farid, hmm.. Bisa tolong Aku untuk mengambil botol etanol?" Desi tanpa mengetuk pintu muncul di ruang Farid mulai melakukan siasatnya.

"Apa terlalu sulit, kau kan bisa naik pakai tangga?"

"Ehmm.. Aku takut ketinggian.." Berusaha menampilkan senyum menggoda pada Farid.

Dengan terpaksa, Farid membantunya. Tapi Desi tak berhenti mengganggu sampai di sana.

"Kak Farid, sumbat tabung reaksi ga ketemu..."

"Kak Farid, minyak sawitnya dimana?"

"Kak Farid, balon pipet kurang.."

Dan berbagai alasan lain dibuat Desi untuk mengganggu Farid, sehingga pekerjaannya ga beres-beres.

"Hufff.. Maunya apa sih anak, ini? Apa kerja begitu saja ga bisa? Sampai harus menggangguku terus-terusan! Mana tipe menggoda seperti ini.. Huff... Kalau bukan karena kamu anak dari rektor, dan ayahmu sendiri yang memohon untukku membimbingmu, ga mungkin aku setuju kau ngekor terus disini!" Farid sudah semakin kesal dengan Desi yang ga bisa kerja dan mengganggunya membuat laporan. Padahal datanya sudah di tunggu profesornya di Jepang.

Kekesalan Farid makin menjadi ketika melihat Kira tak peduli sama sekali dengan dirinya. "Apa anak ini benar-benar tak punya perasaan? Hingga tak mengerti sama sekali setiap perhatianku padanya? Aku tahu, pernikahanmu dengan suamimu bukan karena cinta, tapi kenapa kau masih mau bertahan di sisi suamimu? Apa kau mulai mencintainya? Bahkan kau tak peduli dengan pertolongan yang ingin aku berikan padamu!"

Akhirnya, semua ditumpahkan oleh Farid saat melihat Kira memberikan contekan. Dia sudah kesal gak ketulungan pada dirinya sendiri yang mengejar-ngejar wanita beristri. Sejak dulu, Farid selalu menjadi orang yang di kejar. Setiap wanita pasti takluk dengan pesonanya. Walaupun belum ada satupun yang Farid pilih. Tapi Kira, saat bertemu pertama dengan Farid, bahkan tak bergeming. Membuat jiwa Farid semakin penasaran hingga seperti sekarang.

Farid ingin membenci Kira, dengan memakinya seperti itu, Farid berharap Kira menjauh darinya atau meninggalkan kampus ini. Tapi, justru wanita itu tak ingin menyerah pada mimpinya, membuat Farid semakin menyukai kegigihannya. Sayangnya, perkatataan Rini berhasil membuat Farid luluh meleleh bagai besi yang dipanaskan. Kini, justru rasa bersalah menghantuinya setelah tahu apa yang terjadi kemarin pada Kira.

Klek

"Kak Farid, praktikum sudah bubar. Hmm.. Aku boleh ikut numpang motor kakak ga hari ini? Papaku udah pulang duluan ke rumah?" Desi membuyarkan lamunan Farid.

"Apa? Udah bubar?"