webnovel

Chapter 22 - kebetulan yang janggal

Hanya satu pintu antara aku dan Cassius. Tetapi, begitu aku keluar dunia terasa begitu berbeda. Bagaikan aku berganti genre buku. Disini aku bukan landak yang harus menjaga diri. Disini aku dicintai dengan kehangatan yang tidak pernah menghilang.

Cassius masih menungguku, wine di tangannya bergoyang seperti perasaanku yang kacau balau Betapa sakit hatinya setelah aku meninggalkannya, ku tidak ingin membayangkannya.

Namun, aku harus pergi, meskipun sekarang aku terikat, ku tetap harus menjaga temanku. Ini adalah instinct terdalamku sebagai keluarga baginya . Ikatan yang lebih kental dari darah.

"Maaf Cassius, ada urusan mendadak yang menyebabkan aku harus pergi."

Begitu aku mengatakannya, wajah Cassius menjadi muram, kekecewaan yang disembunyikan secara ceroboh nampak. Tetap saja, dia mencoba menahanku disini dengan kebaikan dan kepedulian.

"Urusan apa? Mungkin aku bisa membantu Eli ?"

Dan aku sungguh ingin menerima tawarannya itu.

Hanya saja,ku tak bisa. Keadaan akan rumit.

"Terima kasih atas kebaikanmu, tetapi ini masalah yang harus aku tangani seorang diri."

"Baiklah, hanya… hati - hati Eli." Cassius menarikku dari pergi dengan ringan, matanya berbinar seperti mendambakan sesuatu. "Kita akan melanjutkan ini nanti?"

Sekarang, aku sudah terlepas dari mantra romantisisme, dan sudah bisa mengendalikan diri. Tidak mungkin aku akan menyetujui sesuatu seperti itu saat perasaan masih belum berbuah di dalamku.

"Di mimpimu."

Tepat sebelum aku keluar, aku menoleh kebelakang, kembali ke dalam ruangannya. Cassius salah mengira aku tidak jadi pergi. Tetapi sebenarnya aku mencoba mencari cara keluar dari gaun pernikahan ini.

"Kutahu kau akan kembali kepadaku, Eli."

"Jangan kegeeran, aku hanya ingin mengganti pakaianku ." Mataku mengobservasi ruangan luas ini, "apakah ada baju ganti disini?"

"Tentu saja," Cassius mengimitasi seorang butler dan menunduk, membuka lemari baju di ujung ruangan untuk menunjukan satu setelan Jaz dan gaun merah seksi dengan belahan kaki tinggi.

"Terima kasih, tolong pejamkan matamu sebentar." Aku meminta selagi mencoba untuk membuka resleting gaun itu. Tetapi tanganku hanya dapat menariknya setengah kebawah.

Ku mencoba lagi dan lagi, tetapi berada di luar jangkauan tanganku. Di saat itu aku sungguh merasa gugup , menatap balik ke Cassius yang membelakangi ku. Apakah aku minta bantuan dan melindas dignitasku?

"Sepertinya kamu mengalami kesulitan , perlu bantuan Eli?"

Jika ini hari lainnya aku akan menolak, tetapi Rai sedang menungguku dan aku tidak ingin terlambat. Jadi aku menahan kembali rasa maluku dan membiarkannya membuka gaunku.

Mengabaikan rasa merinding dibawah sentuhan tangannya, mataku terpejam…

_________

Perjalanan ke Polarbear Haven terasa panjang meskipun hanya 5 menit jaraknya. Begitu aku sampai, hal pertama yang kuperhatikan adalah lampu neon yang mencolok di atas pintu masuk.

Warna merahnya seperti memperingati orang - orang untuk tidak masuk.

Kedatanganku ditanggapi oleh petugas sekuriti yang kelihatan ramah. Di dalam klub, lagu hingar bingar dimainkan, banyak yang asyik bercengkrama dan berjoget ria . Bahkan, seseorang pria mengedipkan matanya mencoba menggodaku.

Namun, aku mengabaikannya, langsung berjalan ke bar di dalamnya. Untuk ke ruangan di tempat Rai berada, seseorang perlu menyebutkan kode yang sudah ditetapkan.

"Malam, anda mau memesan apa?"

Bartender dengan rambut mencolok pink bertanya sambil mengocok sebuah minuman. Di nametag bajunya dapat terbaca nama "Eliot". Tetapi aku tidak berada dalam suasana menghormati kelihaian tangannya.

"Paloma dengan es sebanyak ¾ biasanya."

Tanpa berhenti mengocok, dia bertanya balik, matanya menatapku tajam . Kode pertama untuk masuk ke dalam ruangan rahasia sudah diiverifikasi .Sekarang sisa kode kedua untuk menentukan ruangan mana yang dimasuki.

"Berapa banyak irisan lemon?"

"3"

Setelah mendengar perkataanku, Elliot memanggil orang dibelakangnya, membisikkan sesuatu ke telinganya. Perempuan itu, yang tadinya asyik bermain HP nya , berdiri dan menyuruhku mengikutinya.

Dan aku dibawa ke sebuah ruangan yang terlihat seperti ruangan lounge, tetapi itu bukan destinasi akhirnya,. Wanita itu menghadap ke dinding dengan gambar gagak dan menekan matanya, membuat lukisan itu terbelah, menunjukan sebuah lift.

Aku masuk kedalam lift itu, ke lantai atas dan berjalan melalui koridor ke ruangan ketiga.

Hal pertama yang kusadari di ruangan itu, bukanlah binar indah biru keunguan, melainkan bau metalik darah yang menyengat dan Rai di pojok ruangan yang sedang menggenggam lengan kanan atasnya, bajunya dirobek menjadi perban yang sekarang berwarna merah dan memar di dadanya begitu nyata .

"Kamu-"

Katanya dia luka ringan. Dari mana ini dapat dianggap sebagai itu. Dia terlihat baik - baik saja di pesta tadi, tapi dari memar hitam keunguan di tubuhnya jelas dia sudah menderita bahkan sebelum datang ke sini. Dan pendarahan di tangannya, mengeluarkan begitu banyak darah harus menjadi luka tusuk atau tembak.

Sebenarnya apa yang dia lakukan selama ini?

"Jika kamu membuka mulutmu seperti itu, lalat akan masuk."

Respon itu hanya membuatku lebih marah.

"Apakah kamu kira ini waktunya bercanda?"

Aku duduk di lantai dekat dimana dia berada. Mengeluarkan kotak p3k yang kubawa dari mobil. Untungnya, aku membawa salep memar dan peralatan lainnya, karena dulu hal seperti ini sering terjadi saat kami tinggal bersama.

"Biarkan aku melihat lukamu."

Tanpa menunggu jawaban dari Rai, aku mengangkat tangannya, menganggap kurangnya perlawanan sebagai tanda setuju. Basah kuyup baju Rai yang terikat di sekitar lengan Rai, membuat hatiku ngilu selagi aku membukanya.

Saat aku membukanya, terlalu gelap untuk melihat dengan jelas. Jadi aku menyinarinya dengan senter hpku, terlihat luka tembakan disitu, peluru masih tertanam di dalamnya.

"Tenang saja, pelakunya sengaja menembak daerah yang tidak fatal. Aku terlalu berharga di mata mereka untuk membuatku cacat."

"Tetap saja, bagaimana aku bisa tenang? Kau berdarah sebanyak ini-"

Aku menutupi kembali tempat itu dengan perban tang baru , menaruh tangan Rai untuk menaruh tekanan di tempat itu, sementara aku mencari obat dari tasku.

Berdasarkan sifat Rai, dia tidak akan pergi ke dokter karena akan dilaporkan dan diselidiki. Tindakan paling baik adalah menghubungi kakaknya yang adalah doktor ternama. Namun, sejauh yang aku tahu, sekarang dia sedang bertugas di luar.

Untungnya, aku telah menjadi muridnya sejak masa kecil karena pertemananku dengan Rai. Meskipun, aku tidak bisa membedah otak atau melakukan prosedur yang terlalu susah karena kurangnya praktek, mengobati hal macam ini masih dapat dilakukan.

Sebab disini tidak steril, aku memerlukan alkohol, tetapi persediaanku hanya cukup untuk membersihkan alatnya. Maka dari itu, aku mencoba memesan minuman alkohol berkonten tinggi dari bar. Menunggu 7 menit untuk mendapatkan Balkan 176 Vodka yang 88% alkohol.

Seharusnya minuman ini tidak dijual di bar. Namun, aku yang panik saat itu tidak menyadarinya. Keanehan dari semua ini.

"Kenapa kamu bisa terluka begitu parah kali ini?"

Rai tidak berteriak saat aku menuangkan vodka itu keatas lukanya, hanya menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya. Setelah sekitar dua menit berlalu baru ia berkata.

"Kejadian biasa. Mereka menginginkan informasi. Aku tidak bekerja secepat keinginan mereka. Dan, mengabaikan peringatan sebelumnya, "

Di situ, aku baru menyadari sesuatu hal. Rai tidak pernah lalai dalam mengerjakan tugas. Apakah dia begini karena tertangkap menghabiskan waktu datang ke pesta ini? Kuberpikir sebegitu naifnya, melupakan bahwa hanya sejumlah orang yang berani menyentuh Rai karena dia mempunyai semua rahasia hitam mereka.

"Seharusnya kamu bekerja daripada datang."

Tanganku mengeluarkan pelurunya dengan hati-hati. Kabar baiknya, tidak terkena pembuluh darah penting dan berada dalam posisi yang gampang dikeluarkan. Seperti kata Rai, mereka sengaja menembak dengan ringan, agar dia tidak cacat atau meninggal.

"Apa artinya hidup jika aku tidak bisa melakukan hal yang membuatku bahagia."

Rai tertawa setelah aku menjahit lukanya dan sedang membungkusnya, proses paling menyakitkan telah lewat.

"Dan apa artinya hidupmu jika kamu mati."

Aku menghasutnya kembali untuk keluar dari lapangan kerja itu. Yang telah membuatnya dalam bahaya berkali - kali.

"Aku serius Rai, kuingin kamu berhenti dari pekerjaan ini."

Tetapi, dia tidak mau mendengar. Seperti seseorang yang meminta bulan untuk jatuh dari langit, tidak realistis sama sekali. Membuang hidupnya.

"Satu-satunya, hal yang dapat membuatku berhenti adalah jika orang yang kusukai kabur denganku."

"Kau tahu itu tidak mungkin."

Karena… dia sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Di tempat kita tidak bisa jangkau.

Bertahun - tahun yang lalu.

Sebenarnya, luka tembak atau pisau harusnya tidak dikasih alkohol karena akan menghambat pemulihan, tapi supaya steril dan tidak infeksi.

Hahaha, seharusnya aku buat Eliana mengagumi abs Rai. Mungkin aku masukan next chapter.

Tambah rumit lagi- :)

Livylivalivecreators' thoughts