webnovel

Chapter 21- aku, atau malam ini bersamanya

Saat Cassius bertemu denganku lagi, setelah tamu pulang, pembicaraan itu seperti tidak pernah terjad di antara kami. Pria dengan banyak rahasia menghilang digantikan dengan seseorang yang jujur mencintaiku.

"Ah hari ini hampir membunuhku."

Ku berkeluh, melemaskan otot - otot tubuh dengan cara menarik tangan ke atas begitu tidak ada orang di pandanganku.

Menguntungkan atau tidak, kurasa aku tidak akan pernah melakukan acara seperti ini lagi seumur hidupku. Kakiku serasa hampir lepas dari banyaknya berdiri dan berjalan.

"Hahah, kau terlihat lelah cintaku," Cassius memijit pundakku, dan mengeluarkan kamar hotel dari poket celananya. "Mau ke kamar kita?"

Dalam saat itu, aku mengerti mengapa kerang mengunci, dan puteri malu menutup waktu dipegang, tangan Cassius memiliki efek itu. Membuatku ingin menyembunyikan setiap milimeter diriku darinya. Jadi tanpa berpikir, aku mengiyakannya.

Dan untuk sesaa, senyuman yang menyambangi mukanya hampir membuatnya terasa setimpal keputusan itu.

"Tunggu sebentar, aku tak bisa jalan satu langkah lagi memakai sepatu hak ini."

Pikirku, jika aku membuat alasan untuk menunda masa canggung berdua dengan Cassius dan memalsukan ketidakmampuan berjalan, suatu keajaiban akan terjadi, menyelamatkanku.

Tetapi, teriakan diamku pergi tak terdengar.

"Oh Eli, jika kamu sengaja lama membuka hak itu, aku akan berpikir kamu menginginkan bantuanku."

Seharusnya, aku cepat - cepat berjalan mendengar hal itu. Namun, benakku eror dan sebelum aku sadari, Cassius sudah berlutut di lantai melepas sepatuku dengan santai. Lokasi dimana jarinya lewati terbakar.

"Cassius, kamu tahu aku mempunyai tangan juga kan?"

Awalnya aku hanya berencana untuk memelototinya, tetapi pria itu sama sekali tidak berubah. Jadi, aku mencubitnya, menjepit kedua pipinya yang halus hingga merah dengan tanganku.

"Iya, tetapi kamu harus mengakui lebih menyenangkan jika aku yang membukanya."

Meskipun, bibirnya tertarik oleh jariku, pelafalannya masih jelas dan seksi, seperti panah membidik hatiku, membuatku menyerangnya lebih kuat.

Mengambil kesempatan aku sibuk, Cassius mengangkatku, menaruhku di depan dadanya… lagi. Dan aku segera memindahkan genggamanku ke lehernya supaya tidak jatuh.

"Berhenti! Cassius-"

"Dan berhenti memanjakanmu? Tidak ada untungnya dalam hal itu."

Usahaku untuk keluar dari genggamannya tidak ada hasilnya sampai kami naik elevator ke lantai 25. Bahkan saat membuka pintu kamar pun, aku masih tidak dibiarkan turun ke lantai. Ini berlanjut sampai kita mencapai kamar tidur.

Masalahnya adalah tempat aku mendarat bukan lantai juga, melainkan tempat tidur yang dipenuhi oleh kelopak bunga mawar merah. Dari kulkas, Cassius mengeluarkan dua gelas dan mengisinya dengan wine sementara yang satunya lagi dengan susu.

"Apa yang kamu lakukan-" merasa dalam posisi kritis, aku memeluk diriku sendiri, "jangan mendekat."

Melihat kekonyolanku, Cassius menaruh susu dengan gelas di meja dan memutar gelas berisi wine sebelum meminumnya.

"Jangan khawatir," Cassius berjalan ke depan ranjang dan menyentuh hidungku, "Sudah kukatakan, aku tidak akan melakukan apapun yang tidak kamu inginkan."

Aku merasakan kelegaan terlalu cepat. Daripada melepaskanku, setelah menoel hidungku, dia mulai mengusap bibirku, jari berjalan kebawah ke leher dan pundakku.

"Pertanyaanya, Eli, adalah mengapa kamu menolakku."

Ditengah aliran darah yang menentang logika yang kuharap mengekangku, aku mendengar Cassius berkata,

"Aku melihatnya di matamu. Keinginan itu saat aku menciummu."

Cassius menggigit telingaku secara perlahan, tangannya menjelajahi resleting gaun pernikahanku, bermain dengannya.

"Katakan kamu menginginkanku, Eliana."

_______

Di kala itu, Cassius terlihat seperti ular, bukan karena berbisa, tetapi karena cara ia meliliti dirinya di sekitar tubuhku dan menghambat perlawananku. Aku sudah menjadi mangsanya.

"Aku-"

Sebelum aku bisa mengatakan apapun, hpku berbunyi, memainkan lagu "Atlantis," nama "Mesin Baper," muncul di layar depannya. Sebagian dari diriku, menyesalinya, sebagian yang lainnya merasa terselamatkan.

Menyembunyikan getaran yang menggemparkan tubuhku, aku mengangkat panggilannya, memastikan untuk berjalan ke kamar mandi begitu aku melihat id peneleponnya.

"Rai, kenapa kau mencariku?"

"Aku ingin tahu…" Entah disengaja atau tidak, nada Rai bertambah pelan, menggantungku hanya untuk diikuti oleh suara nafas ditarik, "Apa yang lebih penting bagimu, aku atau malam ini bersamanya."

Penolakannya atas pernikahan ini. Kembalinya Rai ke merokok. Iri hati. Jika aku tidak mengetahui lebih baik, aku akan berpikir Rai jatuh cinta denganku.

Hatiku selalu bergejolak hari ini. Tetapi, ada yang aneh dengan cara bicaranya. Hubungan diantara Rai dan aku murni pertemanan. Bagaikan kakak adik. Ada batasan yang tidak pernah bisa dilewati.

"Dan alasan kamu berpikir aku akan memilihmu diatas… suamiku adalah?"

Realitas statusku sekarang mencekik leherku, perkataan hampir tertelan di tenggorokanku. Sekarang aku adalah istri seseorang. Tidak lazim jika Rai masih menjadi orang terpentingku.

"Karena tidak ada yang akan bercanda dengan kamu jika aku tidak lagi ada di dunia ini."

Tidak lagi ada di dunia ini. Hal pertama yang melintasi kepalaku adalah jika ia mengalami kecelakaan atau bertemu dengan penjahat dalam pekerjaannya yang berbahaya.

Tetapi, aku terlalu takut untuk menghadapi itu. Dan memutuskan untuk bersikap seolah tidak peduli.

"Kamu berbicara seolah - olah akan mati."

Hanya untuk dihadapkan dengan kalimat mengerikan.

"Pernahkah kamu berpikir itu kenyataannya?"

Panik menyerangku seperti halilintar, bayangan membingungkan dulu baru suara hati yang memecahkan ketenangan hatiku.

Dan aku hanya bisa diam untuk sementara.

"….."

Untungnya, Rai menjelaskan lanjut bahwa situasinya tidak fatal. Bergurau yang diambil terlalu jauh.

"Tenang, kamu tidak bisa menyingkirkanku segampang itu." Aku bisa mendengar suara Rai menghisap rokok dari sisi lain, "hanya luka minor."

"Terus kenapa kamu mencariku?"

Dan lebih parah lagi, menakutiku. Aku merasa seperti cumi yang mengeluarkan tinta untuk membuat kesempatan untuk kabur dengan mengaburkan pandangan musuh.

Waktu dia menyadari betapa banyak aku peduli.

Aku akan berada dalam bahaya.

"Karena aku hampir meninggal. Dan aku ingin mendengar suaramu. Melihat wajahmu." Ku mencoba, tetapi seberapapun ku mengeraskan hatiku, tetap menjadi lunak dihadapannya, "Dapatkah kamu datang kesini El?"

"Kamu sungguh bipolar tau tidak sih?"

Aku mengeluarkan uap yang mengamuk di dadaku. Baru saja tadi malam dia memperingatiku seakan - akan dia hebat. Sekarang dia memanggilku karena terluka "minor".

Sebenarnya permainan apa yang ia coba lakukan?

"Jadi kamu akan datang?"

Mengingat Cassius yang masih menungguku diluar, aku ingin menarik rambutku dari stress atas bagaimana aku akan menjelaskannya.

Apakah dia akan berpikir aku membencinya?

Pikiranku bercampur.

Sebelum akhirnya mencapai ke keputusan.-

"Matikan rokok itu dulu-"

"Aku butuh untuk menahan rasa sakit-"

Rai membela perilakunya. Tetapi, aku sudah kehilangan kesabaran di titik itu dan akhirnya memakai nada paling tegas yang kumiliki.

"Matikan!"

"Siap El."

Pas setelah pembicaraaan kami selesai, Rai mengirimkan lokasinya. Polarbear Haven. Sebuah klub untuk orang - orang bermasalah. Pandanganku beralih ke gaun pengantinku.

Dan aku akan datan berpakaian seperti ini?

Aku merasa kacau sebagai penulis. Hahah

Livylivalivecreators' thoughts