webnovel

Seharusnya Menjadi Kesenangan

Awalnya Jay pikir salah mendengar ketika pegawainya ini mengajak dirinya untuk menggunakan kereta. Pergelangan tangannya tengah ditarik oleh gadis itu menuju stasiun bawah tanah. Rupanya Lena memang bersungguh-sungguh atas ucapannya. Selepas membeli tiket, mereka berdua tengah menunggu kedatangan kereta yang akan dinaiki. Dilihatnya gadis yang telah bersama dirinya, memasang senyum tipis bersamaan dengan kedua maniknya yang bergerak acak—melihat sekitaran stasiun.

Di sini Jay masih belum mengerti kemana Lena yang akan membawanya pergi. Pasalnya sejak tadi ia bertanya, Lena selalu menjawab dengan jawaban yang sama. 'Saya juga tidak tahu'. Dan dari kalimat itu Jay hanya mengikuti kemana langkah gadis itu. Kendati ia sendiri tidak yakin dengan cara yang digunakan oleh Lena.

Jay melipat kedua tangannya di depan dada, membawa sorot tatapnya pada Lena yang menoleh pada terowongan panjang di depannya—jalur kereta. Laki-laki itu mendengus singkat, kepalanya sengaja ia gelengkan beberapa kali. "Tak perlu susah payah menunggunya. Nanti juga akan datang sendiri," katanya.

"Saya tahu,"

Keduanya kembali terdiam, hanya suara keramaian yang masuk ke rungu. Jay masih setia membawa pandangannya pada gadis itu, memperhatikan mulai ujung kepala hingga sepatu. Entahlah, Jay juga tidak tahu apa setengah bercokol di kepalanya. Hingga tak lama suara decitan nyaring berasal dari rem yang bergesekan, memekakkan telinga semua calon penumpang. Lena menarik pergelangan tangannya lagi masuk ke dalam sana.

Agak terkejut saat ramai orang yang tidak memiliki kesabaran untuk bergantian. Membuat Jay hanya mampu terdiam dan menerima semua yang ia dapati siang ini. Ada tersisa dua kursi yang kosong, dia dan Lena adalah orang yang menempati kursi itu.

"Saya yakin, bapak belum pernah menaiki kereta ini, 'kan?" tanya Lena dengan wajah remeh disertai dengan rasa bangga terhadap dirinya.

"Saya punya mobil, untuk apa menaiki kereta," balas Jay tak terima.

"Itulah orang kaya,"

Perjalanan awal mereka menempuh jarak beberapa kilometer, sampai berhenti pada pemberhentian berikutnya. Sebagian ada yang keluar dan juga banyak calon penumpang yang masuk dari stasiun ini. Pun membuat ruang gerak mereka jadi berkurang, apalagi setelah seorang wanita hamil masuk dengan melindungi perut besarnya. Melihat hal itu, Lena tergerak guna memberikan kursinya, ia bangkit dan membawa ibu hamil itu duduk bersebelahan dengan sang atasan.

Tak lama, ada seorang ibu tua yang ternyata berdiri di dekat pintu kereta. Membawa banyak barang yang diyakini cukup berat. Manik Lena menatap iba, tak tega dengan keadaan orang tua itu. Lena membawa wanita tua tersebut mendekat, namun ia kelupaan saat Jay masih terduduk nyaman di sana.

"Pak, biarkan ibu ini yang duduk di kursi bapak," kata Lena sopan.

Jay mengamati dua wanita yang berdiri di hadapannya untuk waktu beberapa saat, tangannya terlipat di depan dada. Memperhatikan lekat air muka Lena sebelum akhirnya melepaskan nafas panjang dan berdiri untuk memberikan kursinya pada wanita tua itu. Masih dengan tangan yang terlipat, daksanya berdiri tegak tepat di sebelah Lena, memasang wajah kecut tanpa berniat melirik gadis di sebelahnya.

Pun Lena sempat memberikan beberapa lirikan pada Jay, ia memutar bola matanya jengah. Dia tak habis pikir, hanya memberikan kursi pada wanita tua saja sulit sekali dilakukan oleh Jay.

Kereta baru saja bergerak, membuat tubuh Jay tidak sengaja menabrak Lena. Gadis itu juga terkejut, sedikit malu lantaran banyak pasang mata yang memperhatikan keduanya. Dengan bisikan kecil, ia memberitahu atasannya itu untuk menggunakan salah satu tangannya guna memegang pegangan yang ada di atas kepalanya. Dirinya sampai tersenyum kikuk ketika mendengar beberapa omongan penumpang lainnya perihal sang atasan yang nampak tidak pernah menaiki transportasi umum.

Pada pemberhentian berikutnya, keduanya merasa sangat lega ketika banyak orang turun dari kereta ini, dan membuat jejeran kursi menjadi kosong. Gerbong kereta ini kembali menampung dengan jumlah penumpang yang sedikit. Dia dan Jay kembali terduduk pada kursi yang kosong, namun baru beberapa detik ia meninggalkan kursi itu lagi ketika melihat seorang pelajar yang tersandung hingga membuat bukunya berjatuhan.

Sedangkan Jay, ia terlampau abai dan memilih untuk tetap berada di tempatnya. Kepalanya tertunduk, memperhatikan sedikit kotoran yang menempel pada kemejanya. Laki-laki dingin itu kembali mengangkat wajahnya, dan menjumpai dua orang yang baru saja duduk tepat di depannya. Tubuhnya mematung seketika, sorot tatapnya terarah pada wanita yang tengah menggenggam erat tangan berurat laki-laki yang berada di sebelahnya. Wajah merekah menunjukkan kebahahian wanita itu.

Sampai sepersekon setelahnya, pandangan wanita bernama Hana itu bertubrukan dengan Jay. Tubuh gadis itu juga lunglai, ia terkejut melihat Jay berada di depannya dengan senyum sumbangnya. Jantungnya bertalu tak karuan, entah apa yang harus dia lakukan, pikiran Hana mendadak buntu.

"Bagaimana kabarmu?" Jay tiba-tiba bersuara.

Pun laki-laki disebelah Hana yang tak Jay kenal menoleh ke arah Hana dan Jay secara bergantian.

"Sayang, siapa dia?" tanya laki-laki itu pada Hana.

Jay memperhatikan dalam diamnya, apalagi setelah mendengar kata 'sayang' sebagai panggilannya pada gadis yang masih berstatus sebagai kekasihnya. Atau mungkin, sebentar lagi status itu akan hilang?

"Kenapa diam? Kau mau mengakuiku sebagai kekasihmu?" Jay terus menembakkan pertanyaan pada Hana yang tak mampu berkata-kata, hanya tatapan kegetiran yang terlihat.

"Kekasih? Bukankah kalian sudah putus?"

Jay terkekeh, pertanyaan barusan itu sungguh menggelitiknya. "Kau benar, kami sudah putus," dirinya memberikan jeda pada kalimatnya, lantas memasang tatapan menyalang pada sang gadis. "Baru saja," imbuhnya.

Tepat setelah kalimat Jay selesai, dari kejauhan Lena berjalan menghampiri laki-laki itu, berniat mengajaknya pergi dari sana. Namun, langkahnya terhalang oleh lengan Jay yang mendadak merangkul dirinya. Bahkan untuk menoleh pada presensi Jay, Lena tak memiliki keberanian yang cukup.

"Kini aku tak perlu susah payah untuk melupakanmu," Jay menoleh singkat pada Lena yang terus terdiam. "Dia jauh lebih baik darimu. Doakan saja yang terbaik untuk kami," tandasnya dan langsung meninggalkan Hana dan laki-laki itu.

Berjalan guna mencari tempat duduk lain yang berjarak cukup jauh, membuat ritme jantung Lena semakin tak beraturan. Jay sejak tadi masih merangkulnya dan tak mengeluarkan sepatah katapun. Sampai gadis itu melihat kursi yang kosong, dirinya segera melepaskan diri dari rangkulan itu dan menempatkan dirinya pada kursi, disusul Jay yang masih memasang wajah diam dan tegasnya.

Keduanya saling terdiam beberapa menit, Lena sungguh kebingungan saat berhadapan dengan Jay saat ini. Padahal, niatnya tadi hanya ingin membawa pergi atasannya ini dari Hana, namun Jay melakukan hal lain yang justru membuat keduanya jadi canggung—mungkin hanya Lena, entah kalau Jay.

Sampai Lena tak sabar sendiri, karena Jay terus terdiam menatap kosong lantai kereta ini. "Pak," panggilnya pelan dengan setengah keberaniannya. "Maaf ya, pak. Karena saya mengajak bapak naik kereta, Pak Jay justru malah bertemu dengan—"

"Tidak usah disebut namanya," ucapnya memotong kalimat Lena, ia menoleh pada pegawainya itu. "Karena ide anehmu ini, aku bisa bertemu Hana dengan pasangan barunya. Terima kasih," pungkasnya.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya, kendati Jay berkata begitu, Lena tak yakin jika hati atasannya itu sudah benar-benar lega.

"Pemberhentian selanjutnya, kita turun," kata gadis itu.