webnovel

Rumah Si Kolektor

Setelah beberapa jauh menyebrangi alun-alun kota, akhirnya mereka pun sampai di sebuah rumah.

Karena Rei cerita kalau orangnya adalah bangsawan, tadinya Aria berpikir kalau dia akan melihat rumah yang sama besarnya seperti mansion milik Rei atau Hiki. Tapi selain halamannya yang agak luas, rumah yang pintunya digantungi boneka kayu itu kelihatan seperti rumah masyarakat menengah biasa, yang palingan hanya ditinggali satu atau dua orang saja.

Tok Tok. Tok Tok. Rei mengetuk pintunya beberapa kali. Tapi mau ditunggu berapa lama pun tetap saja tidak ada jawaban. Sehingga sebagai usaha terakhirnya, Rei pun mulai menggedor pintu itu--

"Di belakang!" Sahut suara wanita akhirnya, yang kedengarannya juga agak marah.

Rei mendesah pelan, tapi akhirnya dia pun mengajak Aria untuk mengitari rumah itu dan pergi ke halaman belakangnya. Dan di sanalah sosok si kolektor benda sihir, seorang nenek yang kelihatan sedang menghisap cerutu panjangnya.

Wanita itu terlihat sedang santai berbaring di bangku yang panjang, tapi anehnya gaun merah yang dia pakai tetap terurai dengan sempurna. "Hah! Lihat siapa ini? Ternyata cuma bocah yang tidak kuingat namanya." Ujarnya ketus.

"Aku mau beli benda sihir." Balas Rei begitu saja.

"Tidak ada yang jualan di sini."

"Atau setidaknya sewa--"

"Tidak dengar."

Tidak berhenti di situ, mereka berdua terus saja berdebat seperti itu untuk beberapa saat sehingga Aria yang melihatnya jadi bingung sendiri. Mereka kelihatan bermusuhan tapi juga akrab dalam waktu bersamaan.

Tapi setelah muak sendiri melihat Rei, wanita itu akhirnya bangun dari bangkunya supaya dia bisa kembali ke dalam rumahnya. Dan saat itulah matanya berhenti saat dia berpapasan dengan Aria.

"Mm? Dia siapa?" Tanyanya seakan dia memang baru menyadari keberadaan Aria.

Dan karena wanita itu mulai memandanginya dari atas ke bawah, Aria yang gugup pun akhirnya menyahut. "Sa-Saya Aria."

Tapi entah kenapa alisnya yang putih malah mengangkat agak kaget. "Pengguna sihir merah??" Celetuknya. "Di mana kau menemukannya?" Tanyanya pada Rei.

"...?" Rei memang sudah menduga kalau nyonya Loreine bisa mengetahui itu tanpa diberitahu, tapi reaksinya yang agak sumringah tetap di luar dugaan. "Di kota seberang. Memangnya kenapa?"

Meski bukannya menjawab, sekarang wanita itu malah sudah sibuk meremas-remas telapak tangan Aria. "Jangan-jangan kau mencari artefak sihir untuknya?" Tanyanya--yang setelahnya langsung dijawab sendiri "Yah, tentu saja. Dilihat dari energi sihirnya yang sedikit, dia mungkin tidak bisa melindungi dirinya saat malam."

"A-Apa terlihat sejelas itu?" Tanya Aria.

"Tunggu!" Tapi lagi-lagi wanita itu mengabaikannya dan kembali menoleh ke arah Rei dengan tatapan marah. "Mau kau apakan penyihir merah yang manis sepertinya?" Tanyanya.

Dan saat Rei tidak menjawab, wanita itu langsung melepas sepatunya dan melemparkannya ke kepala Rei. "Kau mau memasukkannya ke akademi?! Kau gila? Kalau ibumu tahu dia akan bangkit dari kubur hanya untuk mencekikmu! Dasar anak tidak tahu diri!"

"Anu, itu--" Aria berusaha menghentikannya, tapi nenek itu sudah semangat sekali memukuli Rei.

Sampai pada akhirnya Rei sendiri yang harus membela dirinya. "Makanya!" Teriaknya kemudian. "Dia butuh artefak sihir!"

"...Tsk." Nenek itu melipat bibirnya dengan pahit. Tapi akhirnya dia kembali memakai sepatunya dan melangkahkan kakinya kembali ke arah Aria. "Yasudah. Apa boleh buat." Katanya, dan dia pun menarik Aria untuk ikut masuk ke rumahnya.

"Eh, tapi--" Aria baru saja akan bertanya, tapi dia sudah langsung kaget lagi begitu melihat bagian dalam rumah nenek itu--yang dilihat darimanapun tidak sesuai dengan ukuran rumah yang kelihatan dari luar. Luasnya bahkan lebih luas daripada mansion Rei!

"Bagaimana bisa…?"

"Itu karena gantungan yang ada di pintu tadi." Sahut Rei yang menyadari Aria kebingungan sendiri. "Boneka kayu itu bisa memanipulasi ukuran ruangan. Jadi walaupun dari luar terlihat kecil, di dalam sebenarnya sangat luas. Bagaimanapun dia kan menyimpan semua koleksinya di sini." Jelasnya.

"Begitu?" Sahut Aria yang masih kagum melihat ke sekitar rumah. Tidak seperti mansion biasa, semua lantai dan dindingnya seperti terbuat dari marmer tebal yang warnanya putih dan abu.

Mungkin itu sebabnya semua benda yang ada di rumah itu jadi terlihat berwarna. Mulai dari lemari-lemari dan meja yang terbuat dari kayu yang warnanya marun, sampai pernak-pernik kaca yang memantulkan cahaya pelangi.

"Cepat ke sini." Panggil nyonya Loreine dari salah satu koridor yang berbelok ke kanan, sehingga Aria dan Rei pun segera menyusulnya.

Mereka menyusuri koridor panjang itu untuk beberapa lama, dan akhirnya mereka pun sampai di depan sebuah pintu. Yang entah bagaimana sudah bikin merinding meski mereka belum memasukinya.

Ruangan itu masih 2 kali lebih luas daripada ruangan pertama yang Aria lihat. Tapi yang lebih menakjubkan adalah pemandangan benda-benda antik yang berjajar dengan rapi di seluruh sisi ruangan.

Semuanya berkilau, tapi yang pasti Aria juga bisa merasakan aura sihir di semua benda itu. "Semuanya… Artefak sihir?"

"Jangan lihat yang lain." Sela nyonya Loreine. "Kau hanya perlu yang ini." Panggilnya, selagi dia berdiri di samping kotak kaca yang ada di ujung ruangan.

Aria mendekat perlahan dan ternyata ada sebuah kubus padat yang warnanya hitam legam di sana.

"Namanya Kubik Hera. Ini adalah benda yang bisa menyimpan energi sihir." Jelasnya. "Lebih tepatnya, setiap kau tertidur benda ini akan menyerap habis sisa energi sihir yang tidak kau gunakan selama seharian. Seperti tabungan sihir, nantinya kau bisa menggunakannya untuk tambahan tenaga saat kepepet."

"Tunggu--"

"Aku tahu! Aku belum selesai!" Sela nyonya Loreine yang langsung menutup mulut Rei. "Kelemahannya, tentu saja, kau akan berada dalam kondisi yang tidak bisa langsung menggunakan sihir saat bangun tidur."

"Saat pagi sebelum matahari terbit, tentunya iya. Tapi kalau kau tidur siang, kau juga tidak akan bisa langsung menggunakan sihir saat bangun."

"Jadi solusinya?" Tanya Rei.

"Kau yang harus melindunginya! Apa lagi?" Balas nyonya Loreine. "Toh dia akan bisa menggunakan sihirnya lagi begitu kena sinar matahari. Jadi hanya satu-dua jam pasti tidak akan jadi masalah besar."

"..."

Selesai mendengar penjelasan itu, Aria melirik Rei sesaat. Tapi walaupun dia terlihat sedikit tidak puas, kelihatannya dia sudah tidak bisa membantah apa-apa lagi.

"Kau bukan orang yang suka tidur siang kan?" Tanya Rei, dan Aria pun langsung menggeleng. Soalnya sebagai orang miskin yang punya masalah keuangan, tidur siang bukan sesuatu yang bisa dia lakukan sehari-harinya.

"Yah, kalau begitu tidak terlalu masalah kurasa." Celetuk Rei. "Berapa harganya?"

"Akan kupinjamkan untuk satu koin emas sehari." Balas nyonya Loreine dengan senyum lebar. "Asal dia datang setiap minggu untuk memijatku." Lanjutnya sambil menunjuk Aria.

"Kau bisa sihir penyembuhan juga kan? Belakangan ini pinggangku mulai sakit lagi." Katanya ke arah Aria.

Aria sebenarnya tidak begitu keberatan dengan permintaan itu. Hanya saja karena dia tidak yakin apa dia boleh menjawabnya sendiri, dia pun menunggu Rei yang menyahut--terutama karena dia orang yang punya uang di antara mereka.

Meski sebelum mengiyakannya, Rei memutuskan untuk menanyakan rasa penasarannya dulu. "Tapi kenapa? Anda tertarik dengannya karena dia penyihir merah?"

"Bukan urusanmu. Jawab saja iya."

"Kalau begitu tidak." Putus Rei bangga, yang jelas sempat mengagetkan nyonya Loreine. Soalnya mumpung keadaannya jadi begini, sayang kalau Rei tidak memanfaatkannya. "Mana bisa Aku tenang meninggalkannya di sini begitu saja dengan anda."

"Dasar bocah… Semakin lama kau jadi semakin mirip ayahmu, kau tahu." Gerutu nyonya Loreine.

Rei kelihatan tidak senang mendengar itu, tapi dia tetap membalas. "Bagaimana kalau anda sekalian mengajarinya beberapa sihir setiap di ke sini?"

"Tsk. Biaya profesor sepertiku mahal tahu. Dan Aku juga sudah pensiun!"

Tapi tiba-tiba saja Rei malah melebarkan senyum ala bangsawannya. "Tapi anda bisa mengajari penyihir merah sepertinya kan? Ini pasti kesempatan langka!"

"Hmph. Penyihir merah pasti ada yang lain." Balas nyonya Loreine masih tidak mau kalah begitu saja.

Rei hampir kehabisan ide, tapi kemudian dia dapat ide terakhir saat melirik Aria. "Tapi tentu saja tidak akan ketemu yang manis sepertinya."

"...Memang." Balas nyonya Loreine yang ternyata kepancing rayuan itu. "Oke, setuju." Katanya akhirnya. "Tapi harganya jadi 10 koin per minggu!"

"Setuju." Dan mereka pun bersalaman.