"aku penasaran beneran loh... anak kamu ada 30?"
"menurut mu??!"
Gadis itu meneliti dengan seksama penampilan Tristan mengenakan stelan jas berwarna Dongker membuat kulit putihnya nampak begitu bersinar.
"ckckck.." Zara berdecak
"kamu kecewa kalau aku sudah punya anak..?" goda Tristan
"hu.... bukan.. aku cuma ngga nyangka.."
"hehhehe... yah.. mereka anak panti.. sudah seperti anakku sendiri"
"oohh..." bibir Zara membulat.
lanjut menyusuri tiap sudut outlet mainan.
Mata Zara berbinar, pandangannya awas memperhatikan tiap mainan yang tersusun rapi di rak display . Ia coba memilih robot, Gundam, mobilan, boneka, sampai beberapa jam Walker berbentuk unik
Tristan nampak menikmati kebersamaan mereka, Zara gadis yang ceria... sudah lama rasanya ia tidak tertawa lepas sejak Bianca pergi.
Zara pun Seolah mengobati rasa kecewanya pada Aldi yang seakan tak peduli dengan hari lahirnya, jangankan kado ucapan selamat pun tidak ada!
"bagaimana dengan ini" Tristan mencoba sebuah topeng ironman,, Zara tertawa lalu ia mengenakan topeng wonder women... mereka tertawa bersama.
Dengan lincah Zara memasukkan beberapa mainan yang ia rasa anak-anak akan menyukainya.
Tak lama Zara menjahili Tristan, ia coba bersembunyi pada rak-rak yang menjulang tinggi, sampai pria maskulin itu kebingungan mencari dimana gadis asing yang setengah mencuri perhatiannya kini, seorang gadis yang selalu hadir ketika ia memejamkan mata.
"Zara..." Tristan coba mencari, ia menoleh kanan dan kiri lalu menyusuri lorong-lorong rak, entahlah jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Ada kecemasan yang tak mampu ia definisikan. semua diluar kendalinya, ia seakan terseret pada kenangan masa lalu tentang Bianca.
"doorrrrr." Zara mengagetkan sambil menodongkan pistol mainan kearah Tristan, gadis berkuncir itu terbahak melihat reaksi terperanjat dari pria yang terlihat gagah diluar tapi bisa-bisanya menampilkan ekspresi seperti bocah tiga tahun yang dikagetkan oleh ibunya.
"maaf... maaf... aku mengagetkan mu ya..hahahaha...." Zara tertawa puas.
.
Tanpa aba-aba Tristan menarik tubuh mungil Zara, menyandarkan kepala gadis berwajah sendu di dada bidangnya. Ia merasa Dejavu, sungguh seolah ia kembali pada masa dimana saat ia dan Bianca sedang membelikan kado untuk ulang tahun Oma, tiba-tiba istrinya menghilang hanya untuk menyembunyikan rasa sakit dikepala yang menyiksa dengan begitu hebat, Bianca menderita kanker otak! lalu pada detik terakhir ia bisa merengkuh tubuh Bianca, Tristan menemukan istri tercintanya tersungkur di sudut pusat perbelanjaan dengan wajah pucat. wanita yang dua tahun ia nikahi tengah sekarat, saat itulah ia harus kehilangan Bianca untuk selamanya. Bianca yang selalu ceria meski harapan hidupnya begitu tipis....
.
Zara membeku, gadis itu tak mengerti kejahilannya ditanggapi serius oleh pria bertubuh kekar bertampang maskulin dengan wangi semerbak.
"ka.. kamu kenapa...??"suara Zara terdengar serak ia coba meloloskan diri dari pelukan pria yang bukan suaminya. Tristan tersadar kembali dari sihir yang seakan membawa jiwanya ke dunia lain.
"maaf.. aku hanya..." terlihat peluh di dahi Tristan "ah sudahlah... apa semua sudah cukup.."
Zara mengangguk, menunjukkan sekeranjang penuh mainan yang mereka pilih.
Suasana jadi canggung,, Zara tak mengerti apa yang harus ia lakukan setelah apa yang terjadi tadi. Sementara Tristan lebih banyak diam.
***
"maaf..." ucap Zara pada pria yang kini berdiam diri sibuk dengan pikirannya sendiri.Mereka jalan beriringan sementara belanjaan tadi sudah dibawa asisten Tristan kedalam mobil.
"tidak.. kamu tidak perlu minta maaf justru aku yang minta maaf tadi sembarangan....." Tristan menggantung kata-katanya.
Wajah Zara bersemu merah, gadis itu menunduk menyembunyikan wajahnya. Tristan makin gemes melihat Zara tersipu begitu.
"hari ini kamu ulang tahun kan.. ayo traktir aku.." Tristan coba mencairkan suasana
"baiklah..." ajak Zara bersemangat.
Mereka masuk kesebuah resto Suki.
tapi..
bip! bip!
ponsel Zara berdering, ada panggilan dari nomer asing.
"nona.. ini saya Dimas asisten pak Aldi..."
"ya.. ada apa kak.."
"begini.. nona dimana?"
Zara menoleh kearah Tristan, silih berganti ia memusatkan perhatian antara mendengar arahan yang diucapkan Dimas sambil menatap Tristan.
Telpon dari seberang dimatikan.
"hmmm.. kak Tristan maaf.. apa aku boleh berhutang padamu?"
Tristan mengerenyitkan dahi, mengamati Zara yang seperti sedang mencari kata yang tepat untuk ia ucapkan.
"ah.. begini maksud ku aku berhutang janji traktir padamu.. maaf aku ada urusan mendadak jadi aku harus segera pergi..."
.
.