Beberapa hari kemudian di Padepokan Cempaka Putih.
Sambil bersenandung kecil, Yang Li Yun siang hari itu tengah sibuk mengumpulkan tanaman herbal yang sudah siap yang dijemur di halaman belakang.
Sampai suatu ketika ia terkejut ketika sadar banyak orang mengenakan kain penutup separuh wajah sudah berdiri mengelilinginya. Hanya mata dan kepala saja yang terlihat, pandangan mata mereka terlihat tajam dan mengancam.
Merasakan gelagat yang tidak baik, gadis itu langsung bersiap memasang kuda-kuda, lalu memutar tubuhnya dari tempatnya berdiri sambil memandangi satu-persatu orang-orang yang mengepungnya.
Jleb!
Tahu-tahu, ia merasakan sesuatu benda kecil menancap dibahunya, yang beberapa saat kemudian membuat kepalanya terasa pening dan pandangan matanya menjadi gelap. Rasa terakhir, tubuhnya yang lemas dan terkulai menimpa salah satu rak tanaman herbal yang di jemur hingga berantakan jatuh ke tanah sebelum ia kehilangan kesadarannya sama sekali. Pingsan!
***
Suro merasakan sesuatu yang aneh telah terjadi, perasaannya menjadi was-was dan khawatir. Setelah menunggu beberapa lama, Li Yun tidak juga muncul diruangannya setelah ia meminta gadis itu untuk mengambil beberapa tanaman herbal yang sudah kering di halaman belakang.
Untuk menghilangkan rasa khawatirnya, ia memutuskan untuk mencarinya ke ruang pengobatan dimana Rou Yi berada.
"Apakah Li Yun kemari?" ia bertanya pada Rou Yi.
Gadis itu menggeleng, wajahnya juga seperti sedang gelisah.
"Adik Yi juga sedang menunggu Li Yun sudah berapa saat yang lalu," jawabnya.
Suro mendesah khawatir. Mukanya terlihat mulai panik.
Semenjak beberapa peristiwa yang terjadi di padepokan membuatnya gampang khawatir. Makanya, ketika Li Yun tak muncul sekian lama dan tak seperti biasa setelah ia memintanya mengambil beberapa tanaman obat membuat hatinya langsung gelisah.
Tiba-tiba, Huang Nan Yu datang.
"Apakah kalian melihat Li Yun?" ia menanyakan hal yang sama.
Pertanyaan wanita tua itu sontak membuat Jantung Suro berdegup kencang, ia bisa merasakan aliran darahnya panas dan mengalir lebih cepat. Bayangan buruk mulai menghantui fikirannya.
"Kami juga sedang mencarinya," Rou Yi menjawab.
Tanpa berkata-kata lagi, Suro langsung membalikkan tubuh dan berjalan tergesa menuju setiap kamar di padepokan Cempaka Putih yang diikuti oleh Huang Nan Yu dan Rou Yi. Tetapi sosok Li Yun tak ia temukan.
Di halaman latihan, dimana para murid berkumpul sedang berlatih sendiri-sendiri pun sosoknya pun tak terlihat.
"Apakah kalian melihat kakak Li Yun?" ia bertanya dengan suara keras agar terdengar oleh para murid.
Mendengar itu, mereka saling berpandangan kemudian menggeleng.
"Dari tadi kami latihan tidak melihat kakak Li Yun," kali ini Ranu yang menyahut.
Suro langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mulai panik.
"Kenapa, kakak?" Ranu balik bertanya.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Suro, "Kalian lanjutkan saja latihannya.
Usai mengatakan itu, Suro bersama yang lainnya langsung pergi meninggalkan halaman latihan. Tinggal satu tempat yang belum ia periksa. Halaman tempat penjemuran!
Ketika sampai di halaman tempat penjemuran, betapa terkejutnya mereka ketika melihat salah satu rak beserta isinya terlihat berhamburan di tanah. Lalu sama-sama memandang berkeliling barangkali ada sesuatu hal yang mencurigakan.
Sambil menelusuri tempat sekitar rak itu berhamburan, Suro melihat ada banyak jejak kaki tipis tercetak di tanah. Posisinya membentuk lingkaran.
Tak mungkin ada banyak jejak tapak kaki ditempat ini.
Tak ada kata lain, semua itu menjadikan sebuah kesimpulan, bahwa telah terjadi sesuatu pada Yang Li Yun! Fikir Suro.
Suro menatap ke arah Huang Nan Yu yang berjalan mendekat padanya bersama Rou Yi.
"Bibi Nan Yu," Suro berkata pada Huang Nan Yu dengan nada bergetar, "Sepertinya Li Yun diculik."
Rou Yi langsung tersimpuh di tanah begitu merasa lututnya lemas, mukanya nampak pucat dengan bibir bergetar dan tak sanggup mengeluarkan kata-kata begitu mendengar kalimat Suro. Huang Nan Yu buru-buru menahan tubuhnya dan membantunya untuk kembali berdiri.
"Kakak Luo yakin?" tanya Rou Yi, ia merasa tak percaya.
Suro mengangguk pelan, tubuhnya mulai terlihat gemetar.
"Meskipun tak ada jejak perkelahian, tetapi rak yang berhamburan ini terjadi pasti karena tertimpa sesuatu. Dan jejak tapak kaki ini menunjukkan ada orang yang berdiri mengeliling posisi rak yang terjatuh ini. Sepertinya, Li Yun di kepung dan tak bisa melawan," Suro menerangkan hasil pengamatannya.
"Benar-benar keterlaluan!" Huang Nan Yu berkata geram dengan menggemeretakkan giginya, wajahnya menampakkan kemarahan yang meluap-luap dengan tangan mengepal.
Suro memegangi kepalanya, mulutnya mendesis menahan emosi. Bayangan Wulung yang tak pernah ia lihat rupa dan bentuk tubuhnya langsung menjadi tersangka utama.
Buat apa menculik Li Yun kalau tidak menjadikannya sebagai sandera? Barangkali pengalaman kelompok Wulung yang tidak bisa meruntuhkan padepokan Cempaka Putih secara terang-terangan membuat mereka melakukan cara-cara licik dan pengecut seperti ini, seperti beberapa tahun yang lalu.
"Aku akan pergi menyusulnya sebelum kehilangan jejak. Tolong sampaikan kepada kakak Seno jika ia kemari. Aku mempercayakan Rou Yi pada bibi," ucap Suro.
Huang Nan Yu mengangguk, "Pergilah. Selamatkan Li Yun. Jangan fikirkan kondisi disini, aku akan menjaga Rou Yi!"
Suro tersenyum, kemudian memandang Rou Yi lekat-lekat. Rasa khawatir juga dirasakannya pada isteri keduanya itu. Khawatir kalau-kalau ada orang lain lagi yang akan datang kemudian juga menculiknya.
"Adik Yi," katanya, "Kakak pergi dulu. Jangan pernah keluar dari dalam rumah. Tetaplah berada dalam pengawasan bibi dan murid-murid lainnya."
Rou Yi langsung mengangguk disertai air mata yang sudah mengalir dipipinya
"Hati-hati kakak," pesannya.
Dengan senyuman tipis, Suro mengangguk dan berbalik.
Tak lama kemudian, tubuh Suro sudah menghilang bersama kuda tunggangannya dari pandangan mata mereka.
***
Malam menjelang, Suro merasakan putus asa ketika akan melewati hutan. Nampak ragu apakah ia harus masuk atau tidak. Dalam hatinya bertanya-tanya kemungkinan para penculik Li Yun itu masuk melewati jalan setapak yang membelah hutan ini. Ia benar-benar tak tahu jalan, dan merasakan tersesat.
Selama di pulau Jawa, ia memang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, hingga tidak mengenal daerah itu. Berbeda dengan Seno yang memang sudah sering melakukan perjalanan dalam rangka mencari orang yang telah membakar padepokannya.
Tak ada jejak yang bisa ia jadikan petunjuk, terutama pada malam hari. Maka, ia memutuskan untuk berhenti dan beristirahat sebelum masuk ke dalam hutan itu. Tak ada yang dapat ia lakukan melainkan melaksanakan sholat yang ia tinggalkan beberapa waktu, bermunajat memohon agar diberikan petunjuk.
Ditengah asyiknya ia bermunajat, dari dalam hutan sudut matanya menangkap cahaya api yang sangat kecil dan nyaris tidak bisa ditemukan jika tidak benar-benar mengamatinya.
Ia pun segera berdiri, dan menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. Setelah yakin kalau itu adalah nyala api, ia memutuskan menaiki kudanya kembali dan berjalan menyusuri jalan setapak memasuki hutan itu lebih dalam.
Semakin mendekat, ia turun dari kuda dan mengikatnya pada sebatang pohon kecil, lalu berjalan kaki perlahan dan bersembunyi dibalik pohon besar ketika dilihatnya ada 3 orang lelaki berpakaian hitam-hitam sedang duduk mengelilingi api unggun, masing-masing memegang ranting yang menusuk daging panggang.
Mereka sesekali berbicara satu sama lain dan tertawa-tawa keras.
Dalam hati, Suro berharap kalau mereka adalah orang-orang yang ia kejar. Tetapi setelah beberapa saat mengamati dari persembunyiannya, ia tak melihat tanda-tanda keberadaan Li Yun, dan itu membuatnya kecewa. Jika tidak, pastilah mereka akan selesai ditangan Suro.
"Ah, perampok biasa!" keluhnya dalam hati.
Dari tempatnya bersembunyi, ia bisa melihat dan mendengar cukup jelas pembicaraan mereka.
"Apakah besok kita akan beraksi lagi, kang?" tanya salah satunya.
Yang ditanya seperti berfikir sebentar, kemudian mengatakan dengan santai sambil memutar-mutar ranting ditangannya, "Aku fikir satu dua hari ini kita istirahat dulu. Desa selanjutnya lumayan jauh dari sini."
Dua orang kawannya yang lain mengangguk.
"Kurasa, hasil rampokan kita hari ini sudah sangat banyak. Istirahat agak lama juga tidak masalah," berkata salah satu dari penanya pertama.
Mendengar kalimat itu, orang yang tadi ditanya menoleh lalu terlihat mendengus dengan sudut bibir mengejek, "Rebo, apa yang bisa kau lakukan dengan harta segini? Mana cukup untuk bersenang-senang!"
"Bukan begitu, kang Sarji. Aku berfikir untuk modal membuka usaha," jawab orang yang bernama Rebo polos.
Jawaban dari Rebo membuat yang lainnya saling pandang, lalu tertawa keras hingga tubuh mereka berguncang-guncang seolah mereka baru mendengarkan kalimat lawakan.
"Kamu mau berhenti merampok?" tanya Sarji disela-sela tawanya yang belum berhenti.
Rebo menarik nafas, ia merasa kalimatnya tadi serius tetapi ditanggapi sebagai candaan oleh kedua rekannya. Wajahnya agak terlihat kesal.
"Apa yang kita lakukan ini beresiko. Salah-salah taruhannya nyawa jika kita ternyata bertemu orang yang akan kita rampok itu mempunyai kesaktian," katanya.
"Wengi!" Sarji menoleh pada kawannya yang lain, "Kau ingin berhenti juga?"
Orang yang bernama Wengi tertawa kecil, tapi tertawa seperti mengejek, "Ini adalah pekerjaan mudah, dan aku sangat menikmatinya. Mana mungkin aku berhenti. Makanya, sebelum kita merampok, korban yang akan kita rampok harus kita teliti dulu."
"Bukankah lebih baik apa yang kita dapat ini digunakan sebagai modal, dari modal itu kita akan mendapatkan hasil yang terus-menerus. Tak beresiko seperti merampok!" Rebo mengatakannya dengan kalimat ketus.
Dua orang itu kembali tertawa dan masih menganggap ucapan Rebo masih sebagai gurauan.
"Mudahan apa yang kau impikan itu berhasil, kemudian setelah kau kaya raya, kami akan datang," berkata Wengi serius.
Mendengar kalimat Wengi membuat wajah Rebo yang diterangi cahaya api unggun nampak berbinar-binar dengan senyuman mengembang. Hatinya merasa senang.
"Tentu saja, kalian adalah kawan-kawanku. Aku pasti akan menerima kalian dan menjamu kalian dengan baik," sambut Rebo.
"Iya," Sarji langsung menanggapi cepat, "Kami akan datang untuk merampokmu...Ha.ha.ha!"
Wengi langsung ikut tertawa mendengar ucapan Sarji. Sampai-sampai ia memegangi perutnya yang terasa keram dengan satu tangan saking tidak bisa lagi menahan tawanya.
Spontan wajah Rebo berubah kecut, ia tak menyangka kalau kawan-kawannya akan mengatakan kalimat itu. Hingga Ia tak bisa berkata-kata lagi.
Setelah puas tertawa, Sarji memegang pundak Rebo dan meremas-remasnya beberapa kali.
"Hai, Rebo. Apa yang kita dapatkan ini adalah dari hasil merampok. Kata kyai-kyai, ini adalah harta yang haram. Bakal menguap seperti asap, mudah didapat dan mudah pula hilang. Artinya, jika kau gunakan untuk modal dari harta ini, pasti tak akan bisa," katanya menasehati.
"Wah, kang Sarji percaya dengan ucapan-ucapan kyai itu, ya?" Wengi bertanya dengan tampang tak percaya.
Sarji langsung menoleh pada Wengi dengan pandangan marah.
"Kamu ini! Tentu saja tidak!" bentaknya, "Aku mengatakannya supaya ia tetap bersama kita! Dasar tolol!"
Wengi langsung meringis mendengar bentakan Sarji, tadinya ia tak faham apa maksud kalimat lelaki itu menasehati Rebo. Ia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya sambil cengengesan.
"Aku tadi sempat heran waktu kang Sarji menasehatiku seperti itu. Ternyata....hmmm!" Rebo menggeleng-gelengkan kepalanya, mukanya kembali masam.
Dari balik persembunyiannya, Suro berfikir untuk keluar menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan para penculik Yang Li Yun, meskipun untuk mendapatkan jawabannya ia musti bertarung terlebih dahulu.
Mereka adalah tiga orang perampok yang dari hasil percakapan mereka, mereka habis panen besar seusai melakukan perampokan yang entah dimana.
Bagi Suro, dari pengamatannya ketiga orang ini bukanlah lawan yang susah untuk dilumpuhkan.
"Kata-kata kang Sarji memang benar!" Suro tiba-tiba menampakkan dirinya.
Kemunculan Suro yang tidak disangka di tempat itu tentu saja membuat mereka nyaris membuat jantung mereka copot. Semuanya langsung berdiri setelah membuang ranting tempat menusuk makanannya, lalu berganti dengan meraih dan menghunuskan golok kepada Suro.
"Setan alas!" Sarji membentak keras, ia sangat kesal dan marah dengan kehadiran Suro yang tiba-tiba dan membuat mereka seperti melihat hantu. Apalagi didalam hutan yang sangat ditakuti oleh orang-orang penakut.