Di pagi hari, suara dering ponsel memecah keheningan di kamar itu. Narendra yang masih tertidur pulas segera terbangun, menyadari dering itu dari ponselnya. Ia mengambil ponsel dari atas nakas, lalu melihat nama yang tertera di sana.
"Ayah!" Ia segera bangun, duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.
Lalu menekan tombol hijau. "Halo!"
"Narendra! Bukanlah semalam sudah pulang? Sekarang kau di mana? Ayah khawatir, takut terjadi sesuatu kepadamu!"
"Oh, ya, aku baik-baik saja. Semalam tidur di rumah Joshua, tidak sempat memberitahumu!" jawabnya dengan berbohong. Ia menatap wanita yang masih tertidur di sampingnya. Mengelus rambutnya dengan lembut.
"Syukurlah! Bagaimana dengan kondisinya?"
"Sudah jauh lebih baik. Kemarin, dia baru menjalani operasi. Mungkin hari ini sudah sadar."
"Hemm! Dia belum sadar, tapi sudah kau tinggal!"
"Tidak apa-apa, Yah! Aku sudah membayar seseorang untuk menjaganya."
"Oh, baiklah! Kita bicarakan lagi nanti di kantor."
"Oke!"
Klik!
Sambungan terputus.
Narendra segera menyimpan ponselnya di atas nakas. Turun dari tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian, Narendra keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggang, rambutnya masih basah, dan tubuh kekarnya masih meneteskan air.
Ia berjalan mendekati wanita yang masih tertidur pulas di bawah selimut putih. Senyumnya tidak pernah hilang dari bibir tipis itu.
Baru mau duduk di samping tempat tidur, tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk. Narendra segera melihatnya.
Ketika pintu kamar dibuka, terlihat seorang pria berdiri di depan pintu. "Joshua!"
Semalam, Narendra memang meminta Joshua untuk datang ke hotel Antik. Tapi, tidak memberitahu kamar nomor berapa.
"Nih, pesananmu!" ucap Joshua sambil melempar kantong belanjaannya ke arah Narendra. Narendra segera menangkapnya.
"Satu set pakaian wanita, lengkap dengan pakaian dalamnya juga. Totalnya jadi dua juta lima ratus ribu," tambahnya dengan tegas.
"Oke! Nanti, aku akan mentransfernya ke rekeningmu." Narendra bersiap menutup pintu kamar.
"Berapa?" Joshua menahan tangan Narendra. Ingin memastikan jumlah uang yang akan di kirimnya ke rekening.
"Dua juta lima ratus ribu!" jawab Narendra, dengan lantang. Itu membuat Joshua terkejut.
"Apa kau tidak salah? Bukankah, katamu, uang gantinya dua kali lipat. Harusnya jadi lima juta, kan!"
"Hah, pakaian seharga lima ratus ribu rupiah saja, harus diganti menjadi lima juta! Itu namanya sepuluh kali lipat, bukan dua kali lipat," jawab Narendra, tidak mau kalah. Ia sudah tahu, akal bulus sahabatnya ini. "Mau untung dari enteng!"
"Sudah, nanti uangnya aku transfer!" Narendra bersiap menutup pintu lagi.
Sebelum pintu benar-benar ditutup, Joshua bertanya sambil menunjuk wanita yang ada di tempat tidur, "Siapa dia?"
Joshua menatap Narendra dari ujung kaki hingga ujung kepala. Keningnya tiba-tiba mengkerut. "Apa yang kal—"
Bruk!
Tiba-tiba pintu ditutup, tidak membiarkan Joshua menyelesaikan ucapannya. Karena Narendra bisa menebak, kata-kata apa yamg akan selanjutnya keluar dari mulut pria itu.
Narendra membuka semua isi di dalam kantong belanjaan itu. Ada atasan dan rok jeans untuk wanita, berikut dengan pakaian dalamnya. Lalu, ada juga ....
"Satu kota alat pengaman?"
"Aisshhh! Joshua ... kau memang sengaja ingin membuatku malu, ya!" Narendra segera mengambil satu kotak alat pengaman—berisi empat buah—dari dalam kantong. Lalu menyembunyikannya di dalam saku jas yang menggantung di dalam lemari.
Semalam, karena mereka sudah sepakat untuk baikan, Narendra melepas semua pakaiannya dan digantung di lemari. Sedangkan Nastya, pakaiannya sudah kotor dan tidak bisa dipakai lagi. Jadi, ia membutuhkan baju baru untuk dipakai sekarang.
Dan malam tadi ... menjadi malam yang penuh gairah bagi mereka berdua. Melakukannya karena suka sama suka, bukan karena paksaan, seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Senyum manis kembali terlihat di wajah tampan itu. Kejadian semalam, sungguh membuatnya bahagia.
Setelah selesai memakai pakaiannya, Narendra menghampiri Nastya, membuka selimutnya sedikit, lalu mulai menggodanya.
"Sayang, bangunlah! Ayo kita pulang!" Narendra mencolek hidung Nastya. Mengganggunya agar wanita itu segera bangun.
"Emmhhhh!" Nastya menggeliat. Kepalanya terasa pusing.
"Kita pulang! Nanti, kau bisa lanjutkan tidurmu di rumah," ucap Narendra dengan lembut.
Nastya mulai membuka matanya, melihat Narendra sudah rapi dan sangat tampan.
"Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Jam delapan pagi!" jawab Narendra. "Mandilah! Joshua sudah membawakan satu set pakaian untukmu."
Dengan enggan, Nastya segera bangun, dan duduk di tempat tidur. Ia menunduk, melihat tubuhnya sendiri yang tidak berpakaian. Ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Menjauhlah!" Nasya memegang selimutnya dengan erat, sedikit menunduk karena malu.
"Kenapa ditutup?" goda Narendra. "Aku sudah melihat semuanya. Dari mulai—"
"Stop! Jangan katakan lagi!" Nastya mengangkat tangan untuk menghentikan ucapan Narendra. "Sekarang ... berbaliklah!"
"Hem, kenapa?" Narendra bingung. Mengapa dirinya harus berbalik?
"Cepat, berbaliklah!"
Tidak ingin membuat Nastya marah, Narendra segera menurut. Ia berbalik badan, dan memunggungi wanita itu.
Dengan cepat Nastya melepas selimut, dan berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Bruk!
Pintu ditutup dengan keras.
*
Siang hari, setelah mengganti pakaiannya di rumah, Narendra pergi ke kantor Raja Grup untuk menemui ayahnya. Ketika baru tiba di ruang kerjanya, Narendra melihat seorang wanita berpakaian rapi berdiri di depan meja Hindra. Wanita itu sedang memperkenalkan diri sebagai karyawan baru di kantor ini.
"Narendra!" panggil Hindra ketika melihat putranya baru masuk ke dalam ruangan. "Sini! Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu!"
Narendra segera mendekat. Ia berdiri di samping wanita itu.
"Ini ... temanmu, kan?" tunjuknya pada wanita yang ada di depannya. "Dia yang akan menggantikan Martha, selama tiga bulan."
"Hah! Ra-Ralin?" Narendra terkejut melihatnya. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya tiba-tiba.
Narendra tidak menyangka, wanita ini akan melamar kerja di perusahaan ayahnya, dan akan menjadi asisten pribadinya selama tiga bulan untuk menggantikan Martha yang sedang cuti melahirkan.
Bagaimana bisa?
"Halo, Narenda!" Ralin membungkuk hormat. "Kebetulan, aku melihat lowongan pekerjaan di internet. Jadi, aku segera menanyakannya langsung pada ayahmu."
"Kalian teman dekat, kan?" tanya Hindra. Ia bangkit berdiri, berjalan menghampiri putranya.
Ia menepuk bahu Narendra. "Akan lebih nyaman kau bekerja dengan teman sendiri. Sebagai asisten pribadimu, kau bebas meminta apapun pada Ralin tanpa merasa canggung. Benar, bukan?"
Ya, itulah yang Hindra pikirkan. Mempekerjakan temannya, agar mempermudah dalam membantu pekerjaan Narendra.
"Mohon bimbingannya!" ucap Ralin, sopan.
"Baiklah. Ajak dia ke ruang kerjamu. Ajari dia beberapa hal, yang bersangkutan dengan pekerjaannya. Ayah tinggal dulu!" Hindra mengambil jas yang tergantung di belakang kursi.
"Ada rapat penting. Ayah harus segera pergi!" Lalu, Hindra berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan Ralin dan Narendra di ruangannya.
Setelah memastikan Hindra pergi, Ralin segera mendekati Narendra, lalu memeluknya.
"Pergi ke mana, kau? Sudah beberapa hari aku tidak melihatmu. Tidak pula menerima kabar darimu. Ditelepon pun, ponselmu tidak aktif! Aku sangat merindukanmu, Sayang!"
Ralin begitu cemas beberapa hari ini. Jadi, ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di perusahaan Raja Grup, sekalian memastikan keberadaan Narendra.
Dan ternyata ... pekerjaan yang Ralin dapatka sebagai asisten pribadi Narendra. Ia sangat senang dengan hal itu.