webnovel

Enam puluh empat

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menginap. Karena Troy merasa sedikit kurang sehat setelah seharian berbasah-basahan. Untungnya Fenita tidak keberatan dengan usulan Troy itu.

Segera, keduanya beristirahat di kamar hotel. Tidak, hanya Troy seorang yang beristirahat karena dia langsung terlelap ketika mencapai tempat tidur. Berusaha membuat dirinya senyaman mungkin karena tenggorokan dan kepalanya terasa sakit.

Troy membuka matanya ketika waktu sudah hampir malam. Semburat langit senja menampakkam cahaya kemerahan yang mempesona. Tampaknya dia merasa puas memilih lokasi menginap, karena dari sini dia bisa melihat matahari terbenam dengan sempurna.

"Kamu udah bangun." suara Fenita membuyarkan lamunan Troy.

Dengan senyum manis, Troy menganggukkan kepalanya. Lalu dengan sekonyongnya, dia menarik tangan Fenita, membuat gadis itu duduk didepannya. Keduanya menikmati matahari tenggelam bersama, dalam keheningan yang intim.

"Indah ya matahari tenggelam itu." ucap Troy lirih. Dia membisikkan kalimatnya ditelinga Fenita.

"Iya." jawaban singkat Fenita terasa membuainya.

Seketika Troy teringat akan sesuatu. Dengan terburu-buru Troy langsung berlari ke kamar mandi. Mengecek setiap bagian celana yang tadi dia kenakan di pantai. Seperti mencari sesuatu.

"Kamu cari apa?" tanya Fenita ketika melihat Troy yang sedikit panik.

"Hah? Nggak, nyari recehan di kantong." jawab Troy sekenanya. Menyembunyikan masalah yang tiba-tiba melandanya.

Tak ada. Jelas-jelas tadi dia menyimpan barang itu di kantong bagian depan celananya. Apa mungkin terjatuh? Kemungkinan terjatuh saat mereka sedang main di pantai tadi.

"Oh God. Kenapa aku bisa ceroboh sih? Padahal ini waktu yang tepat buat mengungkapkannya." dengan kesalnya Troy mengutuk dirinya sendiri.

Dia benar-benar tidak percaya telah melakukan kebodohan seperti ini. Padahal dia sudah lama menyiapkan segalanya, termasuk barang berharga itu. Oke, harganya memang lumayan, tapi yang lebih menyebalkan kalau barang itu hilang adalah momennya.

Sekali lagi Troy memeriksa celananya, berharap dia menemukan barang kecil berkilau itu.

"Are you looking for something?" kali ini Fenita menatap Troy dengan serius.

Berjalan dengan langkah lesunya, troy menghampiri Fenita. Rasanya dia tidak tega memberitahu apa yang telah terjadi. Tapi kalau tidak diberitahu, tentu saja gadis itu akan terus menuntut jawaban.

Oke, itu hanya formalitas. Aku bisa beli lagi dan ngasih barang itu nanti, batin Troy menyemangati dirinya.

Lalu Troy menarik tangan Fenita, mendudukkannya di tepi tempat tidur yang disinari cahaya matahari. Dia berlutut dihadapan Fenita sembari menggenggam tangan istrinya.

"I'm sorry, seharusnya ini menjadi hari yang spesial. Tapi aku mengacaukannya." nada kecewa jelas terdengar dari suara Troy.

"Kenapa? Ini hari yang indah dan berkesan menurutku."

Tentu saja Fenita tidak menyadari apa maksud troy.

"Fe, aku tahu aku egois, aku selalu memikirkan diri sendiri bahkan setelah kita menikah. Tapi akhirnya aku sadar, apa yang aku lakuin selama ini salah. Yang aku butuhkan bukan lagi kesempurnaan, tapi kamu. Kamu yang membuat hidupku sempurna." Troy mengamati wajah Fenita, mencoba mencari sesuatu yang tak nampak di wajah itu. Reaksi yang mungkin dibayangkan oleh Troy.

"Terima kasih karena terus setia disampingku, bahkan ketika aku memperlakukan kamu dengan buruk. Terima kasih karena sudah mengajarkan aku pelajaran yang berharga tentang menyayangi seseorang."

Mata yang selalu menatap tajam itu kini terlihat melembut. Bahkan Troy merasa seperti ada genangan yang menghalangi pandangannya.

"Maaf, aku selalu membuat kamu menderita. Maaf karena mengabaikanmu. Maaf karena aku egois. Maaf karena aku melukaimu. Maaf karena aku hadir dihidupmu. Maaf karena aku nggak bisa hidup tanpamu."

Air mata itu jatuh tak terbendung. Semua perasaan itu terluapkan begitu saja, padahal Troy dengan susah payah menahannya selama ini. Membuat Troy tampak bodoh dengan air mata itu. Tapi inilah perasaan Troy sesungguhnya, bahwa dia benar-benar tidak bisa hidup tanpa Fenita. Semuanya terasa kacau saat perempuan itu tidak ada disisinya.

Ya ampun, seharusnya Troy mengucapkan kata-kata manis yang sudah disiapkannya, karena rencana dia adalah melamar Fenita dengan baik. Seperti janjinya beberapa tahun yang lalu ketika kontrak pernikahan mereka akan berakhir. Tapi Troy malah mengacaukannua dengan menghilangkan cincin yang telah disiapkannya.

"Ayo kita hidup bersama, menikmati waktu bersama sampai tua." dengan mantapnya Troy mengenggam tangam Fenita, juga menatap mata bulat nan cemerlang itu yang kini juga basah oleh air mata.

Satu buliran air mata menetes di punggung tangan Troy, tapi itu bukan air mata Troy. Ketika dia mendongak, didapatinya Fenita juga menangis. Air matanya turun tak kalah deras dengan air mata Troy.

Tak ada kata yang terucap. Dan keheningan itu terus berlangsung sampai matahari benar-benar tenggelam, meninggalkan kegelapan malam.

Apa yang dilakukan Fenita diluar bayangan Troy. Perlahan gadis itu memegang pipi Troy, memandangi Troy lekat di mata. Lalu senyum itu tampak, menghiasi bibir Fenita dan mulai maju, mencium bibir Troy dengan lembut.

Demi apapun yang ada di bumi ini, Troy adalah manusia paling bahagia yang pernah ada di bumi. Hatinya dipenuhi dengan kepakan kupu-kupu tak terlihat. Tak ada tindakan yang tepat untuk mengungkapkan kebahagiaannya, kecuali membalas ciuman Fenita. Perlahan dan lembut. Yang lama kelamaan menjadi penuh gairah dan mendebarkan.

Keduanya hanyut dalam kebahagiaan, hingga akhirnya Troy terhanyut. Tangan kirinya mulai bergerilya, menyusuri punggung Fenita yang tertutup kaos longgar yang tipis. Sedangkan tangan kanannya menahan tengkuk Fenita, seolah takut bahwa gadisnya akan berubah pikiran dan menjauh.

Keheningan yang tercipta tak membuat mereka canggung. Justru keduanya menikmati keheningan ini, hanya terdengar desahan yang keluar dari mulut mereka saling bertautan. Menandakan aktifitas yang mereka lakukan membuat keduanya puas.

...

Matahari belum menampakkan dirinya ketika Freya membuka mata, baru pukul 5 pagi.

Perlahan Freya bangun, mengambil ponsel milik Troy yang tergeletak di meja. Mengutak-atik ponsel itu sebentar sebelum meletakkan kembali ke meja. Tanpa membuang waktu lagi, Freya segera bangun dan mengenakan pakaian. Ketika sudah siap, dia hanya mengambil barang miliknya dan segera keluar kamar hotel.

Sebelum melangkah keluar, dia menatap pemuda yang masih tertidur dengan lelapnya di tempat tidur. Ingin rasanya dia memeluk dan membelai wajahnya, untuk terakhir kalinya. Tapi dengan penuh keyakinan Freya mengurungkan niatnya dan segera melangkah keluar. Lebih cepat dia pergi, itu lebih baik.

Di bawah, mobil yang akan mengantar Freya kembali ke Canberra sudah siap beserta Paul sang supir. Dia segera melaju meninggalkan hotel dan kekasihnya. Tak terasa air mata itu turun membasahi pipinya. Baru saja kemarin dia menjadi orang yang paling bahagia karena akhirnya Troy mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Kenyataan bahwa Troy mencintai dirinya. Tapi dengan berat hati dia harus merelakan semua ini, kembali ke niat awalnya meninggalkan Troy.

Bukan karena dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan Troy, tapi karena dia sudah menentukan masa depannya sejak dia kembali ke keluarga Mayer. Tanpa paksaan dan juga tanpa ancaman.

Seperti biasa, Paul mengendarai mobil dengan baik dan tanpa banyak pertanyaan. Suasana hening seperti ini memang yang dibutuhkan Freya sekarang, agar dia bisa menenangkan hati dan pikirannya. Dua jam perjalanan tak terasa berlalu sangat cepat, karena Freya benar-benar tidak bisa fokus. Ketika pintu gerbang kediaman keluarga Mayer terbuka, barulah Freya menyadari bahwa dia sudah sampai di rumahnya.

"Tunggu disini, aku nggak akan lama." kata Freya sembari turun dari mobil.

"Yes, Ma'am." jawab Paul sopan.

Memasuki rumah, dia meminta dua orang asisten untuk mengikuti Freya kedalam kamar. Dia harus berkemas secepat mungkin dan segera meninggalkan rumah ini. Karena ini sangat mendadak, Freya hanya bisa membawa beberapa baju, ditambah beberapa barang yang dibutuhkan untuk keperluan kuliah dan bekerja. Entahlah, Freya merasa dia sangat diburu waktu. Takut sewaktu--waktu ada orang yang datang dan memergoki dia mengemasi barang-barangnya. Padahal itu barang miliknya sendiri dan ini adalah rumah keluarganya.

"Antar aku ke apartemen. Tapi jangan pakai mobil ini." kata Freya ketika dia sudah berhasil membawa dua koper besar yang berisi barang-barang pribadinya.

Paul hanya mengangguk dan segera mengeluarkan mobil lain yang terparkir rapi di garasi, memasukkan koper-koper Freya dan melajukan mobil menuju apartemen yang menjadi tujuan majikannya.