webnovel

Dua

Ketika membuka matanya, matahari sudah tinggi. Begitu melirik ke arah jam dinding di hadapannya, Fenita segera bangun. Pukul setengah sembilan pagi. Setelah berpikir untuk sejenak, dia langsung menjatuhkan badannya kembali ke kasur dan menarik selimut. Ini hari liburnya.

Saat memikirkan bagaimana dia akan menikmati hari liburnya, tiba-tiba Fenita teringat akan sebuah janji yang dibuatnya beberapa hari yang lalu. Janji untuk bertemu dengan seseorang yang nampaknya adalah orang penting. Itu bisa terlihat dari gaya bicaranya yang penuh wibawa dan juga pemilihan tempat pertemuan mereka.

Beberapa hari yang lalu Fenita menerima sebuah telepon. Entah dari mana beliau mendapatkan nomor teleponnya, dan apa maksud tujuannya mengajak Fenita bertemu, jelas ada yang mencurigakan disini. Apalagi bagaimana cara beliau membujuk yang seolah memaksa. Tapi kan, semua orang kaya yang punya kuasa selalu memaksakan kehendaknya. Iya kan?

Entah lah. Itu hanya pemikiran Fenita yang singkat.

Setelah merapikan tempat tidurnya, Fenita segera menuju kamar mandi dan membasuh wajahnya. Wajahnya terlihat makin kusam karena dia jarang membersihkan, terlebih saat dia mendapat shift kerja siang.

"Eh budak kita ternyata di kosan aja nih." Suara sindiran yang akrab di telinga Fenita terdengar.

Kalau saja mereka tidak menjadi sahabat untuk waktu yang lama, tentu Fenita akan langsung menerkam Yura dan mencabik-cabik tubuhnya. Membayangkannya saja membuat Fenita merasa puas.

"Libur, Ra." Jawab Fenita, berusaha sabar dan memberikan senyum terbaiknya.

"Kalo gitu, gimana kalo kita jalan-jalan?" tiba-tiba saja Yura menjadi bersemangat.

"Nggak bisa, nanti ada janji ketemuan sama orang." Fenita segera menolaknya.

"Ketemuan? Kencan buta lagi?"

Tatapan tajam Fenita segera menghujam Yura. "Nggak. Kali ini ketemu orang penting kayanya."

"Kok kayanya?" Yura terheran mendengar perkataan sahabatnya itu.

"Soalnya nggak tau orangnya kaya apa. Gimana bentuknya. Apa maksud dan tujuannya."

"Apa kamu melamar kerjaan lagi?"

"Nggak lah. Kerjaan yang ini aja udah kewalahan capeknya, masa mau nyari kerja lagi."

Yura yang keheranan masih memikirkan maksud perkataan Fenita. Dia tahu persis bahwa sahabatnya itu bukan tipe orang yang senang bergaul dengan orang baru. Tapi ada apa dengan dia hari ini? Sampai-sampai dia mau menemui orang asing yang bahkan belum pernah ditemui sebelumnya?

Sadar Fenita sudah kembali ke kamarnya, Yura segera menyusul Fenita ke kamarnya.

"Ta, yakin mau ketemu sama orang asing itu?" Yura memastikan sekali lagi.

"Mau gimana? Udah terlanjut bilang iya."

"Kalo ternyata om-om genit gimana? Atau orang yang punya niat nggak baik."

Terkadang Fenita tidak tahu bagaimana alur otak Yura memroses informasi. Yura bisa sangat berpikiran lebih dan selalu mengarah ke hal yang negatif. Yang tentu saja membuat Yura menjadi orang yang curigaan. Belum lagi dengan spekulasi-spekulasi yang tidak jelasnya itu.

"Kalo emang gitu, nanti aku langsung kabur setelah tau niatnya. Lagian tempatnya rame kok." Fenita mencoba menenangkan Yura.

Setelah berhasil menenangkan Yura, keduanya lalu pergi untuk mencari sarapan. Fenita sudah sangat kelaparan karena dari kemarin malam dia belum makan. Padahal kemarin malam, dia mendapati banyak menu enak yang disediakan untuk tamu jamuan.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Karena janji dengan orang asing itu pukul dua belas siang, mau tak mau Fenita harus bersiap-siap dari sekarang. Bukan agar penampilannya terlihat wah dan memukau, melainkan karena dia harus mengejar bus agar tepat waktu sampai di tempat janjian.

Sebuah kaos polos berwarna cerah yang dipadukan dengan celana jeans membalut tubuh mungil Fenita. Tak lupa jaket ditambahkan untuk membantunya menahan sengatan matahari. Diakhiri dengan sepatu kanvas yang masih terlihat bagus untuk dikenakan di tempat yang sedikit bagus. Bisa dibilang itu sepatu terbagus yang dia punyai.

Pamit dan meminta doa kepada Yura, Fenita langsung bergegas menuju halte bus. Perjalanan dari kosnya menuju restoran berbintang itu diperkirakan akan memakan waktu lama. Ditambah lagi ini akhir pekan, tentu jalanan akan sedikit macet. Siapapun orang yang akan dia temui nanti, dia tidak ingin meninggalkan kesan tidak sopan dengan datang terlambat.

...

Vanesa sudah berusaha membujuk Troy untuk menemaninya makan siang. Apalagi hari ini dia akan bertemu dengan orang yang telah lama dicarinya itu. Dengan penuh semangat, Vanesa melancarkan serangan untuk membujuk putranya. Segala cara.

"Ma, aku mau istirahat aja. Besok aku udah harus ke luar negeri buat ngurus kerjaan."

Mendengar Troy menyebutkan tentang pekerjaan, Vanesa tidak bisa berkutik lagi. Dia akan mengalah bila menyangkut urusan kerja. Karena setelah ayah Troy meninggal, otomatis tanggung jawab perusahaan sepenuhnya berada di pundak Troy. Bukan hal yang mudah bagi putranya itu untuk beradaptasi dengan segala permasalahan yang ada di perusahaan.

"Berapa hari?" tanya Vanesa sedikit lesu.

"Cuma tiga hari kok, Ma. Apa Mama mau ikut aja?"

"Nggak ah, ikut juga cuma ditinggal sendirian. Mending disini aja Mama, hemat tiket dan akomodasi."

"Oke deh." Troy lalu memeluk mamanya dan mengecup kening sang mama. "Emang Mama mau ngapain ngajakin Troy keluar?"

"Mama mau makan siang. Ada orang yang pengen Mama kenalin ke kamu." Vanesa segera bersemangat kembali.

"Apa ini perjodohan lagi?" tanya Troy penuh selidik.

Vanesa diam sejenak. "Ayolah Troy, kamu udah bukan ABG lagi. Bentar lagi kamu udah 35 tahun lho, Sayang."

Mendengar perkataan mamanya, Troy jelas hilang semangat. Perjodohan? Apa dia sebegitu mengenaskannya sampai harus dijodohkan? Bukan karena dia tidak laku sehingga tidak memiliki kekasih. Ini lebih karena Troy masih belum membuka dirinya untuk perempuan lain. Belle masih berada di singgasana hatinya sampai kapanpun. Atau minimal sampai Troy benar-benar yakin bahwa ada perempuan yang layak menggantikan posisi Belle.

"Mama tahu alasannya. Jadi nggak usah bikin perjodohan konyol kek gini. It just waste your time."

Dan Troy masih belum bisa membuat ibunya mengerti dan menerima keputusannya ini. Tapi disisi lain, Troy merasa kasihan dengan ibunya. Disaat beberapa temannya sudah memiliki menantu, bahkan menimang cucu, Troy masih betah melajang diumurnya yang hampir 35 tahun ini. Andai saja Belle tidak pergi meninggalkan dia, tentu saat ini sudah ada menantu di rumah ini. Atau bahkan cucu kecil yang lucu untuk ibunya.

Andai.

"Troy, Mama nggak pernah punya permintaan yang aneh-aneh ke kamu. Mama cuma pengen kamu bahagia, Sayang."

"Mama pengen aku bahagia atau Mama pengen menyelamatkan muka Mama dihadapan teman-teman Mama?" Troy memandang wajah ibunya yang sudah sedikit berkeriput. "Ma, bahagiaku cuma sama Mama untuk saat ini. Jangan mikir yang terlalu jauh ataupun yang nggak-nggak. Itu udah bikin aku bahagia. Oke?"

Air mata mengembang dipelupuk mata Vanesa. Tidak tidak tahu harus bagaimana menghadapi keras kepala anak semata wayangnya itu. Tapi dia juga tidak mau membuat Troy merasa terbebani dengan berbagai tuntutan yang ditujukan kepadanya.

"Gimana kalo Mama janji ini yang terakhir? Terserah kamu mau gimana kedepannya." Vanesa masih berusaha membujuk Troy.

Menghela napas dengan perlahan, Troy langsung menatap mata ibunya. Itu adalah mata favoritnya yang selalu memberinya semangat. Mata yang selalu terlihat penuh dengan semangat.

"Oke, tapi nggak ada drama ditinggal atau apalah itu."

Sesinggung senyum terlukis diwajah Vanesa. Tidak sia-sia dia menggunakan segala cara untuk membujuk. Pada akhirnya, Troy akan selalu kalah setelah melihat matanya yang tergenang air mata. Dan tak sia-sia pula dia melatih aktingnya sejak semalam.

"Kalo gitu, ayo kita siap-siap. Nggak baik telat datang saat kita yang membuat janji." Vanesa berjalan ke kamarnya dengan penuh semangat.

Rencananya kali ini akan berhasil. Yah walaupun nanti hasil akhir tetap Troy yang akan menentukan. Tapi paling tidak dia sudah berusaha menyiapkan calon yang tepat untuk Troy.

Di kamarnya, Troy mengganti pakaiannya dengan malas. Seketika mengutuk dirinya sendiri karena berhasil luluh setelah menatap mata Mamanya.

Arrk, harusnya tadi nggak usah ngeliat mata Mama, batin Troy menyesalinya.

Setengah jam kemudian, pasangan ibu dan anak itu sampai di restoran tempat mereka membuat janji dengan gadis asing. Anehnya, meja yang sudah dipesan oleh Vanesa masih kosong. Mungkinkah dia belum sampai? Atau jangan-jangan gadis itu berubah pikiran untuk tidak menemuinya?

Vanesa segera menghalau semua pemikiran negatif yang hinggap diotaknya. Meski sedikit gugup, Vanesa dengan anggun berjalan menuju meja yang sudah dipersiapkan.